Teluk Dalam, Nias Selatan -
Memang benar, kita bisa belajar bersyukur jika melihat ke bawah. Ketika melihat di luar sana ada orang-orang yang hidupnya nggak seberuntung kita, jadi pengingat supaya diri ini nggak kufur nikmat.
Dalam perjalanan bersama Tango Peduli
Gizi Anak Indonesia ke Nias, saya bertemu dengan beberapa anak yang seumuran anak saya di rumah. Mereka bahagia banget saat mendapat pembagian wafer. Mereka senang sekali saat difoto-foto.
Beberapa dari anak-anak itu dulunya merupakan anak dengan status
gizi buruk. Kemiskinan membuat orang tuanya nggak bisa memberikan makanan dengan nutrisi yang cukup.
"Beberapa kali kami temukan keluarga yang makannya cuma nasi sama air. Nggak ada lauk apa-apa karena memang nggak punya," tutur dr Carla Riupassa, koordinator medis Posko Obor Berkat Indonesia (OBI) Nias.
Kemiskinan membuat beberapa pasangan suami istri di Nias tidak tahu bagaimana mendapatkan hiburan, sehingga hiburan yang dipilih adalah dengan berhubungan intim bersama pasangannya, tanpa pengaman. Alhasil istrinya hamil berkali-kali tanpa perencanaan.
"Masih banyak yang percaya KB itu bikin sakit, bikin nggak bisa kerja. Makanya dulu masih banyak yang nggak mau KB," tambah dr Carla.
 Belajar Bersyukur dari Anak-anak yang Mengalami Gizi Buruk/ Foto: Nurvita Indarini |
Kata dr Carla, saat menikah, pihak laki-laki di Nias memberi mahar untuk istrinya. Nah, biasanya mahar itu didapat dari utang, sehingga selama bertahun-tahun mereka dijerat utang. Belum lagi anggapan bahwa istri yang harus mengerjakan semua dari mencari uang hingga mengurus rumah, membuat posisi perempuan menjadi sangat berat.
"Anak meninggal bahkan dianggap sudah biasa, karena saking banyaknya anaknya," sambung dr Carla.
Karena ibunya harus mencari uang, sering kali balita-balitanya ditinggal di rumah tanpa makanan. Ketika tim OBI datang dan memberi biskuit, hanya dalam waktu lima menit, sebungkus besar biskuit sudah licin tandas oleh balita-balita di dalam rumah tersebut. Ya ampun, sedih banget dengernya.
Ada juga nih, Bun, anak dengan gizi buruk yang dibantu diperbaiki gizinya dengan perawatan intensif oleh Tim OBI, namun ketika dikembalikan ke keluarganya, kembali mengalami
gizi buruk. Yang lebih miris, bocah itu kemudian meninggal.
Cerita-cerita dari Nias ini menjadi pengingat bagi saya yang merupakan seorang ibu untuk lebih memperhatikan gizi anak, seenggaknya gizi anak saya dulu deh. Karena makan itu nggak cuma asal kenyang tapi juga harua bernutrisi.
Cerita anak-anak ini juga jadi pengingat untuk mensyukuri semua nikmat yang sudah diberikan Tuhan. Dengan tidak mengeluh di antara gelimang nikmat adalah cara terbaik untuk bersyukur.
(Nurvita Indarini/rdn)