Jakarta -
Ani Yudhoyono tengah menjalani pengobatan kanker di National University Hospital Singapura. Istri Presiden ke-6 RI,
Susilo Bambang Yudhoyono (SBY), ini pun banyak mendapat dukungan serta doa dari berbagai pihak untuk kesembuhannya.
Meski demikian, Ani memiliki tekad kuat untuk melawan penyakitnya, agar lekas sembuh dan bisa kembali beraktivitas. Semangatnya ini dia tunjukkan lewat postingan di akun Instagram miliknya, @aniyudhoyono.
Dalam unggahan tersebut, awalnya Ani mengakui bahwa terkena kanker darah membuatnya merasa seperti dihantam palu godam. Ia kaget, tak menyangka sama sekali.
Melihat tak ada riwayat keluarga yang pernah kena penyakit ini, namun lambat laun, wanita yang dinikahi SBY pada 1976 itu mulai bisa menerima keadaan. Ani juga bercerita, setiap hari dia mencatat pengobatan apa saja yang harus dijalani. Ia pun mengaku melewatinya dengan tabah, tegar, dan penuh disiplin.
"I can fight this Cancer. With strong supports from everyone in Indonesia and in the world. Thank you very much for your love and care, dear my husband and family. Bismillahirrahmanirrahim I can do this!" tulis wanita 66 tahun ini.
[Gambas:Instagram]
Ketika seseorang divonis kanker, pasti dia akan sangat sedih bahkan rasa tidak percaya, Bun. Dilansir
Psychology Today, para ahli mengatakan, selain harus mengendalikan pikiran mereka, orang-orang dengan kanker kronis didorong untuk aktif dalam mengendalikan kesehatan dan fisik mereka. Manajemen diri yang kuat adalah salah satu kunci bertahan melawan kanker.
Executive Director of Supportive-care Medicine di City of Hope
, pusat penelitian kanker di California Selatan, Matthew Loscalzo, memaparkan konsekuensi paling umum dirasakan penyintas kanker adalah kecemasan dan depresi, yang dapat menjadi kronis ketika kanker tidak hilang. Hal ini karena kurangnya kontrol atau tidak terprediksinya penyakit tersebut sehingga memunculkan stres.
"Bagi mereka yang menderita penyakit kronis, jauh lebih sulit. Mereka lebih mungkin mengalami kecemasan dan depresi kronis karena mereka begitu lelah dengan perawatan, kesulitan mempertahankan pekerjaan, kesulitan dalam hubungan, dan hidup dengan ketidakpastian," tutur Matthew.
Tantangan lain bagi
penyintas kanker adalah apa yang disebut 'toksisitas finansial', sebuah istilah yang baru-baru ini diciptakan para ahli onkologi untuk menjelaskan soal biaya pengobatan, ketika mereka mesti berhadapan dengan pengeluaran yang mahal. Ini menjadi masalah, terutama bagi pasien yang pengobatannya tidak ada batas waktu.
Pasien yang tak mampu menanggung mahalnya biaya pengobatan mungkin akan dihadapkan pada pilihan yang sangat menyakitkan, seperti penghentian pengobatan, berserah pada alam, atau keluarga dapat menjual aset yang dimiliki. Bahkan mungkin mengorbankan biaya pendidikan anak-anak agar pengobatan dapat dilanjutkan.
[Gambas:Video 20detik]
(yun)