Terpopuler
Aktifkan notifikasi untuk dapat info terkini, Bun!
Bunda dapat menonaktifkan kapanpun melalui pengaturan browser.
Nanti saja
Aktifkan

moms-life

Quiet Quitting Hits di Kalangan Milenial dan Gen Z, Benarkah Bikin Karier Aman?

Tim HaiBunda   |   HaiBunda

Jumat, 02 Sep 2022 15:36 WIB

Thinking asian woman.
Quiet Quitting Hits di Kalangan Milenial dan Gen Z, Benarkah Bikin Karier Aman?/Foto: Getty Images/iStockphoto/metamorworks
Jakarta -

Bunda, lagi ada istilah yang hits nih di kalangan para pekerja millenial dan Gen Z. Istilah itu dikenal dengan 'quiet quitting' yang berarti menetapkan batasan dan tidak melakukan pekerjaan tambahan bagi orang lain.

Ada juga yang mengartikan 'quiet quitting' sebagai sikap yang tidak ambisius, tapi bukan berarti meninggalkan pekerjaan.

Maggie Perkins, seorang guru berusia 30 tahun, mengaku sudah melakukan 'quiet quitting' sejak 2018, bahkan sebelum itu menjadi tren TikTok.

"Tidak ada alasan bagi saya untuk bekerja ambisius karena sebagai guru, tidak ada kesempatan promosi. Jika Anda memenangkan penghargaan sebagai teacher of the year, [Anda akan] mendapatkan gaji yang sama dengan guru lain yang tidak dapat penghargaan," kata Bunda berusia 30 tahun itu, dikutip dari CNBC Maket It.

Lewat video TikTok, Perkins berbagi kisahnya melakukan quiet quitting sebagai seorang guru.

"Saya tidak menjadi sukarelawan untuk komite. Saya tidak lembur dan melakukan pekerjaan tambahan. Saya hanya mengajar kelas saya, dan saya adalah guru yang baik," katanya, dalam sebuah wawancara virtual.

Lalu, bagaimana pendapat para ahli soal tren quiet quitting? Apakah baik untuk karier?

Jaya Dass, Direktur Pelaksana Randstad untuk Singapura dan Malaysia, memandang bahwa quiet quitting adalah 'dampak sisa' dari COVID-19 dan fenomena resign massal.

"Apa yang dulunya dianggap tindakan pasif agresif dari work-life balance sekarang menjadi permintaan yang sangat tegas," katanya.

Kelsey Wat, seorang pelatih karier setuju dengan pendapat Dass. Dia mengatakan quiet quitting sekarang merupakan cara bagi pekerja untuk 'bertahan' di perusahaan yang melihat mereka sebagai 'roda penggerak dalam mesin', sementara mereka belum bisa menemukan pekerjaan baru yang lebih cocok.

Namun, quiet quitting secara teori dan praktik dapat berbeda-beda untuk setiap individu.

Para ahli mengatakan konsep ini mengkhawatirkan karena dapat melampaui tujuan mendapatkan work-life balance.

"Sebagian besar dari kita ingin merasa bangga dengan pekerjaan yang kita lakukan dan kontribusi yang kita buat. Kami ingin melihat dampak kami dan merasa senang dengan hal itu. Quiet quitting tidak memungkinkan untuk itu."

Dia lebih menyarankan agar pekerja menetapkan batasan yang sehat dan tetap berinvestasi secara emosional di tempat kerja mereka.

Perlu diingat, ada juga hal negatif dari quiet quitting, seperti kurangnya motivasi, kurangnya fleksibilitas dan ketidakmampuan untuk bekerja dalam tim.

BACA ARTIKEL LENGKAPNYA DI SINI.

Bunda, yuk download aplikasi digital Allo Bank di sini. Dapatkan diskon 10 persen dan cashback 5 persen.

Saksikan juga yuk video tentang kisah Bunda berprestasi yang bangga jadi IRT:

[Gambas:Video Haibunda]



(pri/pri)

TOPIK TERKAIT

HIGHLIGHT

Temukan lebih banyak tentang
Fase Bunda