Terpopuler
Aktifkan notifikasi untuk dapat info terkini, Bun!
Bunda dapat menonaktifkan kapanpun melalui pengaturan browser.
Nanti saja
Aktifkan

moms-life

Kisah Lika-liku Hidup Raden Dewi Sartika, Dibuang hingga Jadi Pahlawan Pendidikan Wanita

Annisa Afani   |   HaiBunda

Jumat, 03 Nov 2023 18:07 WIB

Dewi Sartika, salah satu pahlawan perempuan asal Jawa Barat.
Kisah Lika-liku Hidup Raden Dewi Sartika, Dibuang hingga Jadi Pahlawan Pendidikan Wanita/Foto: Istimewa
Daftar Isi
Jakarta -

Ada banyak nama pahlawan perempuan di Tanah Air. Salah satu yang tak boleh dilupakan yakni Raden Dewi Sartika.

Putri kedua dari R. Rangga Somanagara dan R.A. Rajapermas ini menjadi sosok yang amat berjasa dalam memperjuangkan hak perempuan. Sejak zaman penjajahan Belanda hingga hari ini, kita masih bisa merasakan buah dari hasil kerja kerasnya, Bunda.

Raden Dewi Sartika merupakan satu dari deretan Pahlawan Nasional Indonesia dari Jawa Barat. Ia hidup dan dibesarkan di Jalan Kepatihan yang terletak di tengah Kota Bandung. Bangunan rumahnya besar, dengan konsep kediaman kaum priyayi.

Ya, keluarga Dewi Sartika memang terhitung orang berada karena orang tuanya memiliki jabatan pemerintahan. Singkatnya, keluarga mereka punya kondisi pendidikan yang lebih tinggi dari masyarakat pada umumnya.

Masa remaja Dewi Sartika

Menukil buku bertajuk Dewi Sartika karya Rochiati Wiriaatmadja, perempuan yang lahir pada 4 Desember 1884 ini juga mengalami masa kelam. Tepatnya pada Juli 1893, sang ayah dituduh jadi bagian peristiwa pemasangan dinamit.

Fitnah ini membuat keluarga mereka terpecah belah. Ayah dan ibunda Dewi Sarike dibuang ke Ternate, semua harta benda keluarga mereka pun turut disita negara.

Keempat saudara Dewi Sartika menetap bersama beberapa keluarga di Bandung. Sedangkan ia dibawa oleh Raden Demang Suria Kartahadiningrat, bapak tuanya, ke Cicalengka.

Di rumah tersebut, Dewi Sartika tinggal bersama banyak gadis remaja seusianya. Meski begitu, ia mendapat perlakuan yang dingin, mengingat reputasi keluarganya yang sudah memburuk.

Di sana Dewi Sartika dianggap sebagai pelayan, alih-alih putri sendiri. Tak sampai di sana, ia juga ruang tidur di rumah bagian paling belakang.

Berjuang untuk diri sendiri

Kondisi tersebut tak membuat Dewi Sartika meratapi nasib berkepanjangan. Di tengah perasaan tersebut, ia tetap menjalani hidup dengan belajar memasak, melayani orang tua makan, tata cara makan, menjahit, memasang meja, hingga menyulam.

Bukan tanpa alasan, kegiatan tersebut menjadi karakter dari keluarga priyayi. Dewi Sartika ingin agar karakter yang sudah terbentuk sejak ia kecil ini tetap bertahan.

Mendirikan sekolah istri

Dahulu, pendidikan bagi perempuan merupakan hal yang sangat mahal. Bahkan, tak sedikit yang menganggap perempuan tak pantas untuk berpendidikan atau bersekolah.

Tepatnya pada masa pemerintahan Hindia Belanda. Kala itu, pemerintahan menganggap pendidikan masih terpaku pada peran gender. Dalam artian, pendidikan yang diberi pada para gadis remaja bertujuan untuk menyiapkan mereka sebagai istri dan ibu rumah tangga nantinya.

Menyaksikan hal ini, Dewi Sartika merasa prihatin. Terlebih, ia sudah pernah melihat bagaimana kesulitan yang dialami sang ibunda saat sang ayah menjalani hukuman di pembuangan Ternate.

Dari pengalaman inilah, Dewi Sartikel mulai menumbuhkan rasa semangat. Harapannya, ia ingin memberdayakan kaum perempuan.

Dewi Sartikel bahkan memiliki slogan yang berbunyi, 'Ari jadi awewe kudu segala bisa, ambeh bisa hirup!'. Slogan ini memiliki arti 'Menjadi perempuan harus memiliki banyak kecakapan agar bisa hidup'.

Tentunya, upaya Dewi Sartika tak semulus yang dibayangkan. Untuk mendirikan sekolah khusus anak perempuan awalnya tidak disetujui oleh Bupati Martanegara, Bunda.

Namun halangan ini tak membuat ia patah semangat. Masih dengan semangat dan kegigihan dalam diri, Dewi Sartika akhirnya bisa mewujudkan niat baiknya.

Tanggal 16 Januari 1904, Sekolah Istri resmi didirikan di Paseban Kabupaten Bandung. Dewi Sartika merintisnya dengan membagi sekolah menjadi dua kelas.

Setiap kelas yang tersedia berisi dua puluh murid. Adapun tiga pengajar yang terlibat dalam pendidikan tersebut yakni Dewi Sartika, Ibu Purma, dan Ibu Uwit.

Berbeda dengan kondisi pendidikan yang saat itu hanya memprioritaskan keturunan tinggi, Dewi Sartika berkomitmen untuk memberi ilmu bagi siapa saja yang membutuhkan, tak hanya dari kalangan priyayi

Prinsip yang Dewi Sartika bangun ini masih mendapat pandangan sebelah mata. Bahkan, ia juga mendapat tentangan dari kelompok perempuan priyayi.

Bagi Bunda yang mau sharing soal parenting dan bisa dapat banyak giveaway, yuk join komunitas HaiBunda Squad. Daftar klik di SINI. Gratis! 

(AFN/AFN)

TOPIK TERKAIT

HIGHLIGHT

Temukan lebih banyak tentang
Fase Bunda