Terpopuler
Aktifkan notifikasi untuk dapat info terkini, Bun!
Bunda dapat menonaktifkan kapanpun melalui pengaturan browser.
Nanti saja
Aktifkan

moms-life

Perempuan Masih Jadi Korban Kekerasan Berbasis Gender, Gender Equality di Indonesia Baru Terwujud 300 Tahun Lagi

Arsitta Dwi Pramesti   |   HaiBunda

Kamis, 07 Mar 2024 21:35 WIB

Asian Malay female is raising hand during a seminar in board room.
Ilustrasi perempuan berdaya/Foto: Getty Images/KSChong

Tahukah Bunda, menurut data United Nations Population Fund (UNFPA), 1 dari 4 perempuan Indonesia pernah mengalami kekerasan seksual? Masalah kekerasan seksual berbasis gender memang masih menjadi problematika besar di Indonesia.

Pemerintah perlu berkolaborasi dengan berbagai elemen masyarakat dan lembaga sosial untuk mengupayakan penghapusan kekerasan seksual berbasis gender. Ini akan menjadi satu upaya penting untuk mencapai kesetaraan gender yang dicita-citakan. 

Gender Analyst United Nation Development Programme Indonesia, Agnes Gurning menjelaskan dengan perkembangan proses saat ini, kesetaraan gender di Indonesia dapat dicapai dalam 300 tahun mendatang.

"Jadi kalau progress kita tidak dipercepat, kesetaraan gender di Indonesia dapat tercapai 300 tahun lagi," kata Agnes Gurning.

Berdasarkan data Global Gender Gap Index tahun 2023, Indonesia menempati ranking 87 dari 146 negara dalam hal kesetaraan gender. Kesenjangan ini masih menjadi tanggung jawab besar. Meski kesenjangan antara laki-laki dan perempuan dalam akses pendidikan dan kesehatan hampir setara, namun dalam aspek ekonomi masih sangat jauh.

Aspek ekonomi yang tertinggal jauh ini dibuktikan oleh Tingkat Partisipasi Angkatan Kerja (TPAK) yang menyatakan partisipasi laki-laki sebesar 83,87 persen, sedangkan perempuan hanya sebesar 53,41 persen. Agnes menambahkan bahwa jika gap pada kesetaraan gender ini dikurangi minimal seperempat persen, kenaikan perekonomian dapat mencapai 0,7 kali lipat.

Perempuan Indonesia dirugikan karena kekerasan berbasis gender

UNFPA Indonesia menjelaskan situasi perempuan Indonesia yang belum aman dari kekerasan berbasis gender. Mengutip data yang dihimpun Survei Pengalaman Hidup Perempuan Nasional (SPHPN) tahun 2021, 1 dari 4 perempuan Indonesia dalam rentang usia 15-64 tahun pernah mengalami kekerasan fisik dan seksual dalam hidupnya.

Kemudian, dari data yang sama, menjelaskan bahwa 55% perempuan usia 15-49 tahun mengatakan anaknya mengalami Pemotongan dan Perlukaan Genitalia Perempuan (P2GP).

Selain itu, dari data Survei Sosial Ekonomi Nasional (Susenas) 2021, menyatakan bahwa 1 dari 9 anak perempuan Indonesia menikah sebelum usia 18 tahun. Hal ini sangat disayangkan karena pernikahan dini tak hanya berdampak secara biologis namun juga sosial dan ekonomi perempuan terkait.

"Kita tahu sendiri bahwa ketika seorang anak dikawinkan di usia sangat muda, secara kesehatan reproduksi mereka belum siap, secara sosial-ekonomi juga belum mampu. Bagaimana mereka bisa mengakses pendidikan dan karir kalau mereka sudah kawin di usia yang sangat muda?" ungkap Risya Kori.

Perempuan memiliki hak untuk merasa aman dan diberikan kesempatan berkembang dalam lingkungan masyarakat. Gender Programme Specialist UNFPA Indonesia Risya Kori, menjelaskan dengan adanya trauma pasca kekerasan seksual, perempuan terhambat dalam produktivitasnya.

"Kalau dalam hidup mengalami kekerasan (seksual), bisa dibayangkan bagaimana bisa menjadi orang yang produktif? Nggak mungkin," ujar Risya Kori dalam wawancara bersama HaiBunda dalam acara Press Briefing UN Indonesia, pada Jumat (1/3/2024).

Hal ini akan berpengaruh dalam kesetaraan gender di masyarakat. Perempuan yang tidak produktif akan kesulitan bersaing dengan laki-laki. Dampaknya dalam aspek ekonomi, kesehatan, dan pendidikan hanya didominasi oleh laki-laki.

"Ketika seorang perempuan sendiri nggak bisa mengakses layanan KB, dia punya anak setiap tahun, bagaimana bisa ikut berpartisipasi dalam dunia kerja? Hal ini terus menerus menciptakan kesenjangan kita untuk mencapai gender equality," ujar Risya.

Risya juga berpendapat dengan tidak seimbangnya angka partisipasi kerja antara perempuan dan laki-laki, kesetaraan gender akan sulit diraih. Lebih lanjut Risya menjelaskan dampak perkawinan anak. Anak perempuan yang menikah di usia dini, memiliki potensi putus sekolah yang besar.

"Sudah pasti siapa sih yang duluan putus sekolah kalau kawin anak? Laki-lakinya masih lanjut sekolah, kalo perempuan nggak bisa sekolah. Tidak akan bisa bekerja dengan baik, kalo masih muda kawin anak," kata Risya.

Kondisi dan solusi kekerasan seksual berbasis gender di Indonesia

Dipaparkan Risya, kekerasan seksual yang paling banyak tidak disadari adalah kekerasan seksual secara verbal seperti 'candaan' yang membuat tidak nyaman.

Risya menegaskan bahwa kekerasan seksual itu bermuara dari ketidaknyamanan. Jadi perempuan yang merasa tidak nyaman, meski tidak melalui kontak fisik, dapat tergolong kekerasan seksual.

"Kekerasan berbasis gender yang paling banyak orang nggak menyadari itu sexual harassment. Banyak orang nggak sadar bergurau dengan jorok. Itu sebenarnya yang sangat basic ya, (tapi) nggak ada yang sadar. Kita pun perempuan kadang nggak nyaman tapi kita tidak berani mengatakan itu," ujar Risya Kori.

"Kalau kita tidak nyaman, bisa kita laporkan secara pidana. Kelompok-kelompok perempuan atau ibu-ibu, jangan mau kalau ada gurauan-gurauan yang kita sendiri nggak nyaman. Apalagi kalo itu dilihat publik, (misalnya) di kantor," kata Risya Kori.

Upaya menghapus kekerasan seksual yang mendasar lainnya seperti praktik P2GP (sunat perempuan) dilakukan dengan mengedukasi dan melibatkan tokoh kunci yang memegang peranan besar, yakni tokoh agama, Lembaga Sosial Masyarakat (LSM), ibu-ibu dan nenek-nenek, generasi muda, dan tenaga kesehatan.

"Kami mendukung pemerintah untuk mengeluarkan pedoman-pedoman pencegahan (kekerasan berbasis gender) pada perempuan ini," ungkap Risya.

Risya juga menjelaskan bahwa tiap kelompok dalam masyarakat memiliki peran merubah norma sosial di lingkungan. Maka, sangat penting bagi kita untuk turun tangan dan untuk melibatkan tokoh penting dalam upaya pengurangan kekerasan berbasis gender.

Bagi Bunda yang mau sharing soal parenting dan bisa dapat banyak giveaway, yuk join komunitas HaiBunda Squad. Daftar klik di SINI. Gratis!

Simak perbincangan tentang Toxic Marriage bersama pakar berikut ini, banyak insight yang bisa didapat Bun:

[Gambas:Video Haibunda]



(fia/fia)

TOPIK TERKAIT

HIGHLIGHT

Temukan lebih banyak tentang
Fase Bunda