Terpopuler
Aktifkan notifikasi untuk dapat info terkini, Bun!
Bunda dapat menonaktifkan kapanpun melalui pengaturan browser.
Nanti saja
Aktifkan

moms-life

Ramai soal Ghosting Vs Closure dalam Hubungan, Mana Lebih Baik?

Arina Yulistara   |   HaiBunda

Kamis, 25 Sep 2025 23:20 WIB

Perempuan main gadget
Ilustrasi//Foto: Getty Images/chanakon laorob
Daftar Isi
Jakarta -

Pernah mengalami ghosting dalam hubungan Bunda? Bagaimana dengan closure? Mari pahami mengenai kedua makna ini dalam hubungan asmara.

Fenomena ghosting dan closure ramai diperbincangkan di kalangan masyarakat, terutama generasi muda yang aktif menggunakan aplikasi kencan dan media sosial. Ghosting atau mengakhiri hubungan dengan tiba-tiba tanpa penjelasan, sering kali meninggalkan luka psikologis mendalam bagi pihak yang ditinggalkan.

Di sisi lain, closure dianggap sebagai cara yang lebih sehat untuk mengakhiri hubungan karena memberikan penjelasan dan titik akhir jelas. Namun banyak pertanyaan muncul, mana sebenarnya yang lebih baik dalam hubungan?

Seiring meningkatnya penggunaan teknologi, ghosting semakin lazim terjadi. Tidak hanya dalam konteks percintaan, ghosting juga kerap dialami dalam hubungan pertemanan.

Pasalnya, ketidakjelasan membuat orang yang ditinggalkan terjebak dalam ketidakpastian dan kebingungan. Tanpa adanya penjelasan, seseorang lebih rentan mengalami stres, rendah diri, hingga merasa kehilangan kendali atas kehidupannya.

Ghosting menjadi strategi umum dan menciptakan situasi ambigu di mana satu pihak tidak benar-benar tahu apa yang sedang terjadi,” kata Leckfor, seorang mahasiswa doktoral di UGA Department of Psychology, mengutip UGA Today.

Hal tersebut kemudian membuat diskusi tentang ghosting versus closure. Lalu apa perbedaan keduanya?

Ghosting: Praktis Bagi Pelaku, Menyakitkan untuk Korban

Sebuah studi terbaru yang dilakukan oleh peneliti dan penulis korespondensi Christina Leckfor serta peneliti Natasha Wood dari University of Mississippi, menemukan hampir dua per tiga partisipan pernah di-ghosting. Dampak ghosting terhadap korban justru bisa lebih menyakitkan dibanding penolakan langsung.

Korban ghosting sering kali tidak tahu apa yang sebenarnya terjadi sehingga sulit melanjutkan hidup. Bagi korban yang memiliki kebutuhan tinggi akan closure, dampaknya bahkan lebih buruk.

Mereka bisa mengalami penurunan kepuasan psikologis, termasuk rasa memiliki, harga diri, kontrol, dan makna hidup. Ghosting bukan hanya memengaruhi perasaan sesaat, melainkan bisa menimbulkan trauma emosional berkepanjangan.

Ghosting dalam era digital: lebih dari sekadar pencitraan

Ghosting tidak lagi terbatas pada dunia percintaan. Studi menunjukkan lebih dari separuh partisipan justru mengaku pernah di-ghosting oleh seorang teman.

Fenomena ini menandakan bahwa ghosting bisa merusak berbagai jenis hubungan, termasuk pertemanan yang seharusnya menjadi sumber dukungan emosional. Perasaan kehilangan dan keterasingan yang ditimbulkan tidak kalah parah dengan ghosting dalam hubungan romantis.

Selain itu, peran teknologi menjadi faktor besar dalam meluasnya fenomena ghosting. Hubungan kini lebih banyak dijalankan melalui pesan singkat, aplikasi kencan, hingga media sosial.

Konektivitas digital memudahkan orang untuk menghindari konfrontasi langsung, tetapi di sisi lain juga memperbesar risiko ghosting. Psikolog menyebut pentingnya literasi emosional dalam menggunakan teknologi agar hubungan digital tidak berdampak buruk pada kesehatan mental.

"Hasil tersebut tidak definitif dalam studi kami, tapi memberikan peluang yang menarik untuk penelitian di masa mendatang," kata Leckfor.

Closure: Memberi Penjelasan dan Titik Akhir

Berbeda dengan ghosting, closure dianggap sebagai bentuk penghargaan terhadap pasangan atau teman. Dalam sebuah penelitian eksperimental yang dipublikasikan di jurnal Computers in Human Behavior (2025), penolakan langsung memang menimbulkan perasaan sedih dan sakit hati, tetapi efeknya lebih singkat dibanding ghosting.

Hal ini karena closure memberikan kejelasan alasan sehingga korban tidak lagi terjebak dalam kebingungan. Para peneliti menemukan bahwa setelah ditolak secara langsung, perasaan kebingungan cepat mereda, sementara pada ghosting kebingungan justru menetap.

Bunda yang menerima closure lebih cepat bangkit dan cenderung merasa positif setelah mendapatkan pengakuan, meskipun hasilnya tetap menyakitkan. Dengan kata lain, closure berfungsi sebagai 'penutup luka' yang membantu proses pemulihan emosional.

Ghosting vs Closure: Mana yang Lebih Baik?

Jika dibandingkan, ghosting memang memberikan kenyamanan instan bagi pelaku karena mereka tidak perlu menghadapi percakapan sulit. Namun kenyamanan itu dibayar mahal dengan luka emosional bagi korban.

Meskipun lebih sulit dilakukan, closure justru memberi jalan yang lebih sehat bagi kedua belah pihak untuk melanjutkan hidup. Pada akhirnya, baik ghosting maupun closure sama-sama menyakitkan bagi pihak yang ditinggalkan.

Hanya saja, closure terbukti lebih membantu dalam menjaga kesehatan mental dan mempercepat proses pemulihan. Para pakar menyarankan agar masyarakat berani memilih kejujuran dan komunikasi terbuka saat mengakhiri hubungan, demi menghargai diri sendiri dan orang lain.

Bagi Bunda yang mau sharing soal parenting dan bisa dapat banyak giveaway, yuk join komunitas HaiBunda Squad. Daftar klik di SINI. Gratis!

(fir/fir)

TOPIK TERKAIT

HIGHLIGHT

Temukan lebih banyak tentang
Fase Bunda