parenting
Menyikapi Pertanyaan Anak 'Santa Claus Beneran Ada Nggak?'
Jumat, 15 Dec 2017 13:01 WIB
Jakarta -
Jelang Natal, biasanya salah satu hal yang menarik buat anak adalah Santa Claus. Anak-anak berpikir kalau Santa Claus akan ngasih mereka hadiah padahal sebenarnya hadiah itu dari bunda atau ayahnya. Ya nggak, Bun?
"Kalau saya sih bilang aja hadiah itu memang dari Santa Claus ke anak saya yang umurnya 5 tahun. Tapi kalau ke si kakak yang umurnya 11 tahun nggak, dia udah tahu kalau hadiah itu dari orang tuanya," kata bunda dua anak, Pipit saat ditanya soal 'keberadaan' Santa Claus di keluarganya.
Pipit beralasan, dia ngasih tahu kalau hadiah buat si bungsu yang umur 5 tahun dari Santa Claus supaya si anak berperilaku baik aja. Sebenarnya soal ada atau nggaknya tokoh tertentu nggak cuma Santa Claus ya, Bun. Di dunia anak, banyak banget berbagai tokoh kayak superhero, tokoh kartun, bahkan karakter yang dibangun dari kepercayaan warga sekitar yang 'hidup' dalam keseharian anak.
Nah, profesor pediatri dan psikiater di Boston University School of Medicine, Dr Benjamin Siegel bilang di umur 3-7 anak lagi berada di tahun-tahun kehidupan penuh fantasi dan keajaiban. Ya, mereka dipengaruhi sama apa yang dilihat dan didengar di sekitarnya.
"Mereka akan sangat excited pada karakter yang punya arti spesial buat mereka termasuk tokoh kartun, monster, karakter hewan, bahkan Santa Claus," kata Benjamin dikutip dari PBS Parents.
Mitos soal Santa Claus misalnya, tergantung dari kebudayaan masing-masing keluarga. Kalau memang dirasa ini bisa memberi nilai positif misalnya supaya anak bertingkah baik dan belajar berbagi, ngasih tahu anak soal adanya Santa Claus boleh-boleh aja. Cuma kadang kita suka mikir gimana kalau nanti anak tahu apa yang dikatakan orang tuanya nggak bener alias kita dianggap bohong? Khawatir nggak sih, Bun?
Menanggapi hal ini, Benjamin bilang sebagian besar anak memang bisa merasa kecewa ketika mereka tahu kebenaran dari apa yang disampaikan orang tuanya, termasuk kalau Santa Claus nggak benar-benar ada. Tapi, di usia yang se makin besar mereka bisa ngerti kok kalau orang tuanya nggak selamanya powerful jadi anak-anak bisa maklum, Bun, sama kebohongan kita.
"Tapi kalau orang tua khawatir, sampaikan aja ke anak apa yang mereka rasakan saat tahu kebenarannya. Kemudian, katakan kalau Santa Claus adalah mitos yang memang ada di keluarga karena mengandung nilai positif di dalamnya seperti mengajak anak berperilaku baik dan berbagi," kata Benjamin.
Jangan lupa minta juga anak menyampaikan apa sih arti Santa Claus buat mereka ya, Bun. Dengan begini, akan ada proses diskusi kita sama anak soal mitos yang ada selama ini. Bahkan, kita bisa mengaitkannya sama mitos lain kayak keberadaan peri gigi atau tokoh lain terkait mitos yang ada di keluarga.
Nggak jarang juga, keberadaan tokoh tertentu sering kita jadikan alat supaya anak mau nurut. Contohnya di keluarga saya, Bun, tante saya selalu melarang cucunya keluar malam dengan alasan nanti bakal digondol alias dibawa wewe gombel. Dikasih tahu sosok wewe gombel yang menyeramkan, keponakan saya ini pun nggak berani keluar rumah tiap habis maghrib. Berhasil ya, Bun, tante saya melarang cucunya keluar rumah.
Tapi, sebenarnya ada sisi negatifnya juga kita melarang anak melakukan sesuatu dengan membawa-bawa sesuatu yang nyatanya cuma mitos. Kata psikolog anak dan keluarga Anna Surti Ariani atau Nina, saya tahu kebenarannnya anak bisa kecewa karena dia merasa dibohongi. Habis kalau nggak dibohongi gitu anak nggak akan nurut. Gimana dong?
"Lebih baik kasih tahu alasan yang sebenarnya kenapa mereka nggak boleh keluar rumah setelah maghrib. Contoh, kan di luar gelap kalau ayah atau ibu mau nyari anak, nggak keliatan, jadi lebih susah. Atau, karena suasananya gelap bisa ada bahaya kayak ular atau anak tersandung pas jalan," kata Nina yang berpraktik di Tiga Generasi ini.
(rdn)
"Kalau saya sih bilang aja hadiah itu memang dari Santa Claus ke anak saya yang umurnya 5 tahun. Tapi kalau ke si kakak yang umurnya 11 tahun nggak, dia udah tahu kalau hadiah itu dari orang tuanya," kata bunda dua anak, Pipit saat ditanya soal 'keberadaan' Santa Claus di keluarganya.
Pipit beralasan, dia ngasih tahu kalau hadiah buat si bungsu yang umur 5 tahun dari Santa Claus supaya si anak berperilaku baik aja. Sebenarnya soal ada atau nggaknya tokoh tertentu nggak cuma Santa Claus ya, Bun. Di dunia anak, banyak banget berbagai tokoh kayak superhero, tokoh kartun, bahkan karakter yang dibangun dari kepercayaan warga sekitar yang 'hidup' dalam keseharian anak.
Nah, profesor pediatri dan psikiater di Boston University School of Medicine, Dr Benjamin Siegel bilang di umur 3-7 anak lagi berada di tahun-tahun kehidupan penuh fantasi dan keajaiban. Ya, mereka dipengaruhi sama apa yang dilihat dan didengar di sekitarnya.
"Mereka akan sangat excited pada karakter yang punya arti spesial buat mereka termasuk tokoh kartun, monster, karakter hewan, bahkan Santa Claus," kata Benjamin dikutip dari PBS Parents.
Mitos soal Santa Claus misalnya, tergantung dari kebudayaan masing-masing keluarga. Kalau memang dirasa ini bisa memberi nilai positif misalnya supaya anak bertingkah baik dan belajar berbagi, ngasih tahu anak soal adanya Santa Claus boleh-boleh aja. Cuma kadang kita suka mikir gimana kalau nanti anak tahu apa yang dikatakan orang tuanya nggak bener alias kita dianggap bohong? Khawatir nggak sih, Bun?
Menanggapi hal ini, Benjamin bilang sebagian besar anak memang bisa merasa kecewa ketika mereka tahu kebenaran dari apa yang disampaikan orang tuanya, termasuk kalau Santa Claus nggak benar-benar ada. Tapi, di usia yang se makin besar mereka bisa ngerti kok kalau orang tuanya nggak selamanya powerful jadi anak-anak bisa maklum, Bun, sama kebohongan kita.
"Tapi kalau orang tua khawatir, sampaikan aja ke anak apa yang mereka rasakan saat tahu kebenarannya. Kemudian, katakan kalau Santa Claus adalah mitos yang memang ada di keluarga karena mengandung nilai positif di dalamnya seperti mengajak anak berperilaku baik dan berbagi," kata Benjamin.
Jangan lupa minta juga anak menyampaikan apa sih arti Santa Claus buat mereka ya, Bun. Dengan begini, akan ada proses diskusi kita sama anak soal mitos yang ada selama ini. Bahkan, kita bisa mengaitkannya sama mitos lain kayak keberadaan peri gigi atau tokoh lain terkait mitos yang ada di keluarga.
Nggak jarang juga, keberadaan tokoh tertentu sering kita jadikan alat supaya anak mau nurut. Contohnya di keluarga saya, Bun, tante saya selalu melarang cucunya keluar malam dengan alasan nanti bakal digondol alias dibawa wewe gombel. Dikasih tahu sosok wewe gombel yang menyeramkan, keponakan saya ini pun nggak berani keluar rumah tiap habis maghrib. Berhasil ya, Bun, tante saya melarang cucunya keluar rumah.
Tapi, sebenarnya ada sisi negatifnya juga kita melarang anak melakukan sesuatu dengan membawa-bawa sesuatu yang nyatanya cuma mitos. Kata psikolog anak dan keluarga Anna Surti Ariani atau Nina, saya tahu kebenarannnya anak bisa kecewa karena dia merasa dibohongi. Habis kalau nggak dibohongi gitu anak nggak akan nurut. Gimana dong?
"Lebih baik kasih tahu alasan yang sebenarnya kenapa mereka nggak boleh keluar rumah setelah maghrib. Contoh, kan di luar gelap kalau ayah atau ibu mau nyari anak, nggak keliatan, jadi lebih susah. Atau, karena suasananya gelap bisa ada bahaya kayak ular atau anak tersandung pas jalan," kata Nina yang berpraktik di Tiga Generasi ini.