Jakarta -
Orang tua mana yang mau anaknya terkena penyakit-penyakit berat? Pastinya segala cara dilakukan orang tua agar si kecil jauh dari penyakit. Ikhtiar yang bisa dilakukan misalnya membatasi konsumsi makanan tertentu yang kurang sehat, serta memberikan
imunisasi.
Menurut Dr Asrorun Ni'am Sholeh, MA, Deputi Pengembangan Pemuda Kemenpora sekaligus Sekretaris Komisi Fatwa MUI, sesuai dengan UU 23/2002 tentang perlindungan anak bahwa negara, pemerintah, keluarga, dan orang tua wajib mengusahakan agar anak yang lahir terhindar dari penyakit yang mengancam kelangsungan hidup dan atau menimbulkan kecacatan.
"Nah, salah satu implementasi usaha menghindarkan penyakit adalah melalui imunisasi yang artinya orang tua wajib membawa anaknya untuk imunisasi," kata pria yang akrab disapa Ni'am dalam seminar media 'Capai Imunisasi Lengkap: Bersama Melindungi dan Terlindungi', di Gedung IDAI, Salemba Jakarta Pusat beberapa waktu lalu.
Terkadang membawa anak imunisasi memang nggak mudah. Beberapa hambatannya seperti tempat imunisasi yang sulit dijangkau, kesadaran masyarakat yang masih rendah, juga keyakinan beberapa orang tua yang merasa, 'Ah anak gue tetap sehat aja tuh tanpa imunisasi', serta ketakutan lainnya yang bikin orang tua mundur duluan untuk imunisasi si kecil.
"Suka tidak suka, mau tidak mau, pemerintah harus dan selalu menjamin layanan kesehatan dasar bagi anak-anak Indonesia," kata Ni'am.
Menurut Ni'am, ada hambatan yang dikarenakan adat, hal itu bisa diakomodasi sepanjang bisa diselaraskan dengan prinsip perlindungan anak. Hambatan ini bisa diluruskan jika membahayakan kesehatan dan mengancam jiwa anak. Namun jika faktor hambatan tersebut berasal dari haram tidaknya vaksin, maka Ni'am membagi dua cara dalam pendekatannya.
 Imunisasi, Ikhtiar Hindarkan Anak dari Penyakit Berbahaya/ Foto: thinkstock |
"Di sini ada dua level hambatan, satu kelompok yang secara konseptual nggak mau nerima
imunisasi sebagai mekanisme preventif dalam melindungi kesehatan anak dan kedua, kelompok yang secara teknis nerima namun mempermasalahkan jenis vaksinnya," papar Ni'am.
Ketika menghadapi masalah pertama, yang harus dilakukan adalah melakukan pendekatan dan pemahaman melalu ahli agama. Sedangkan pada level kedua harus adanya komitmen untuk mewujudkan vaksin yang sesuai norma agama.
"Lewat pasal 153, pemerintah menjamin ketersediaan bahan imunisasi yang aman, bermutu, efektif, terjangkau dan merata bagi masyarakat untuk upaya pengendalian penyakit menular melalui imunisasi. Penyediaan vaksin yang aman dan halal adalah tanggung jawab negara dalam memenuhi hak anak," sambung Ni'am.
Ni'am menambahkan
imunisasi pada dasarnya diperbolehkan kok, Bun, atau bersifat mubah. Ini merupakan sebagai bentuk ikhtiar untuk mewujudkan kekebalan tubuh (imunitas) dan mencegah terjadinya suatu penyakit tertentu.
"Ada beberapa pengecualian vaksin haram atau najis diperbolehkan yaitu digunakan dalam kondisi darurat, belum ditemukan bahan vaksin yang halal dan suci serta adanya keterangan medis yang kompeten dan dipercaya bahwa tidak ada vaksin yang halal," ungkap Ni'am.
Adapun fatwa tentang penggunaan vaksin polio (IPV) tahun 2002 yang dijelaskan Ni'am yaitu, pada dasarnya penggunaan obat-obatan termasuk vaksin yang berasal dari atau mengandung benda najis adalah haram hukumnya dan pemberian vaksin IPV pada anak-anak yang menderita immunocompromise, pada saat ini diperbolehkan, sepanjang belum ada IPV jenis lain yang suci dan halal.
(aml)