Jakarta -
Bunda pasti tahu peristiwa ledakan bom di
Sibolga, Sumatera Utara, yang baru saja terjadi, kan? Setelah pada Selasa (12/3/2019) si pelaku terduga tindak pidana terorisme, Husain alias Abu Hamzah, meledakkan bom, dini hari tadi, istri Husain meledakkan diri bersama sang anak, Bun.
"Info dari lapangan, istri meledakkan diri sekitar pukul 02.00 WIB," kata Karo Penmas Divisi Humas Polri Brigjen Dedi Prasetyo, seperti dilansir
detikcom.
Sementara itu, Karo Penmas Divisi Humas Polri Brigjen Dedi Prasetyo mengatakan, hari ini tim sedang melaksanakan sterilisasi, olah tempat kejadian perkara (TKP), dan evakuasi terduga pelaku peledakan, yakni istri dan anak Husain.
Sedih ya, Bun, mendengar seorang anak terlibat dalam kasus seperti ini. Terlebih, seorang anak pastinya masih punya masa depan tapi dia harus mengakhiri hidupnya dengan cara mengenaskan. Menanggapi hal ini, Handoko Gani, selaku pelatih analisis emosi melalui Gestur dan Layered Voice Analysis (LVA) atau alat investigasi profesional untuk analisis suara dalam kasus terorisme, kriminal, dan korupsi, untuk penanganan terorisme sebetulnya tidak bisa dipakai cara untuk menangani kasus seseorang depresi atau sekadar ingin bunuh diri.
Kata Handoko, ini hal berbeda dan bagi si terduga
terorisme, mati adalah sebuah kemuliaan. Sehingga, butuh ahli untuk bernegosiasi atau sebuah alat guna memastikan si wanita tidak akan melakukan tindakan lain. Atau, perlu juga dikorek keterangan selama masa negosiasi berlangsung.
 Ilustrasi anak terlibat terorisme/ Foto: Thinkstock |
"Kalau dari sisi si ibu sendiri, sebetulnya kesiapan untuk mati sudah ada. Di kasus kali ini, uniknya si ibu melibatkan anak. Di sisi lain, ibu bisa jadi percaya saat anaknya ikut mati, si anak ikut mendapat kemuliaan," tutur Handoko saat berbincang dengan
HaiBunda, Rabu (14/3/2019).
Di sisi lain, menurut pandangan Handoko, sebagai seorang ibu, yang bersangkutan bisa juga hilang harapan. Seandainya dia membiarkan si anak hidup, siapa yang akan mengurus sang
anak dan gimana pandangan masyarakat terhadap si anak?
"Dan kita perlu mengesampingkan unsur-unsur manusiawi karena sudah masuk unsur spiritual. Itulah kepercayaan yang mereka yakini. Bagi mereka, mati adalah sebuah kemuliaan," tambah Handoko.
Handoko juga menyampaikan, penting menyadari bahwa apa yang dilakukan ibu dan anak ini bisa
dicopy-paste oleh kelompok lain yang masuk dalam kelompok kategori terduga teroris. Sehingga, perlu ada pendekatan pada ibu dan si anak melalui proses persuasi misalnya, yang dilakukan tokoh agama sekaligus negosiator.
"Atau mungkin saat penyergapan, si ibu dan anak dengan suaminya ini dipisahkan. Kalau sudah kadung terjadi seperti sekarang, dalam periode negosiasi, dalam beberapa jam, dikirim ahli sekaligus pakar spiritual yang memahami psikis dan spiritual dia," tambah Handoko.
Nah, sekilas tentang Layered Voice Analysis (LVA), alat ini sudah dipakai selama sekitar 20 tahun di 80 negara. Penggunaannya biasa digabungkan dengan alat sadap dan bekerja dengan cara menganalisis apakah ucapan terduga benar atau tidak.
Alat ini bisa menyaring telepon yang masuk dan keluar, juga kata yang dipakai misalnya 'apel' benar-benar merujuk arti sebenarnya atau merupakan kode. Sehingga, komunikasi antar teroris diharapkan bisa terputus.
 Lokasi bom Sibolga/ Foto: Antara Foto |
Sejak kecil anak sudah dicekoki terorismeBeberapa waktu lalu, pengamat terorisme Universitas Indonesia (UI), Solahudin, menduga saat anak dilibatkan dalam kasus terorisme, ini terkait upaya kelompok teroris untuk lebih menyebarkan rasa takut. Soalnya, kalau pelaku peledakan bom laki-laki dewasa itu sudah biasa.
Konon anak-anak terduga teroris diberi pemahaman terorisme, meski dengan istilah berbeda, oleh orang tuanya. Bisa jadi bukan hanya anak tersebut saja yang mendapatkan pemahaman terorisme sejak dini.
"Penanaman
karakter teroris yang sudah ditanamkan sejak dini memang tidak mudah untuk mengubahnya. Terlebih jika itu dilakukan oleh orang tua sendiri, yang langsung memberikan contoh dalam kehidupan sehari-hari," kata Solahudin.
[Gambas:Video 20detik]
(rdn/muf)