Terpopuler
Aktifkan notifikasi untuk dapat info terkini, Bun!
Bunda dapat menonaktifkan kapanpun melalui pengaturan browser.
Nanti saja
Aktifkan

parenting

Benarkah Otak Anak Remaja Jadi "Lebih Tua" setelah Pandemi COVID? Ini Penjelasannya

Kinan   |   HaiBunda

Jumat, 27 Sep 2024 10:20 WIB

Otak Anak Remaja Jadi
Ilustrasi/Foto: Getty Images/BongkarnThanyakij
Daftar Isi
Jakarta -

Otak anak saat pandemi COVID ditemukan memiliki beberapa perubahan, terutama berdampak pada mereka yang berusia remaja. Apa saja yang perlu jadi perhatian orang tua?

Dikutip dari CNN Health, dampak pandemi pada remaja sangat besar. Tak sedikit penelitian mendokumentasikan adanya laporan masalah kesehatan mental dan bahkan kehidupan sosial.

Kini sebuah penelitian terbaru menunjukkan fenomena tersebut menyebabkan otak beberapa remaja menua jauh lebih cepat daripada biasanya. Rata-rata mencapai 4 tahun lebih cepat pada anak perempuan dan 1,4 tahun lebih cepat pada anak laki-laki. Penelitian ini sudah diterbitkan dalam jurnal Proceedings of the National Academy of Sciences.

Perubahan pada otak anak saat pandemi COVID

Penelitian tersebut menambah pengetahuan yang ditemukan oleh dua penelitian sebelumnya tentang dampak pada otak anak saat pandemi COVID.

"Temuan ini merupakan peringatan penting tentang kerapuhan otak remaja. Dapat dikatakan bahwa remaja membutuhkan dukungan orang tua lebih dari sebelumnya," ungkap peneliti Institute for Learning and Brain Sciences di University of Washington, Patricia K. Kuhl.

Perkembangan sosial emosional yang signifikan terjadi selama masa remaja, bersamaan dengan perubahan substansial pada struktur dan fungsi otak. 

Ketebalan korteks serebral secara alami mencapai puncaknya selama masa kanak-kanak, terus menurun selama masa remaja dan terus menurun sepanjang hidup seseorang.

Hasil penelitian terkait lainnya

Meski hasil dari penelitian ini sebenarnya masih sangat terbatas, dikutip dari NBC News gangguan kesehatan mental mengalami peningkatan di kalangan anak-anak bahkan sebelum COVID. 

Penelitian tersebut juga menunjukkan bahwa penipisan korteks dapat dikaitkan dengan meningkatnya kecemasan, depresi, dan gangguan perilaku lainnya.

Studi lain tentang pemindaian otak oleh Stanford University menunjukkan perubahan serupa pada ketebalan korteks pada otak remaja selama pembatasan era pandemi COVID. 

Para peneliti Stanford membandingkan stres dan gangguan pandemi dengan trauma masa kanak-kanak seperti kekerasan, pengabaian, dan disfungsi keluarga.

Apakah ada risiko jangka panjang untuk masalah ini?

Kuhl mengungkapkan bahwa pandemi merupakan masa traumatis bagi semua orang. Terutama bagi anak remaja, mereka sudah mengalami masalah seperti perubahan intens dalam perkembangan emosional dan perilaku, maka dari itu adanya pandemi kemungkinan bisa lebih merusak kesehatan emosionalnya.

"Pandemi terjadi secara tidak terduga, dampaknya tidak hanya memengaruhi kesehatan fisik, tetapi juga kesehatan mental," ungkap Kuhl.

Profesor psikiatri dari Duke University School of Medicine, Jonathan Posner, menyebutkan bahwa dalam perkembangan otak terdapat periode waktu yang paling efektif. Misalnya, jauh lebih mudah untuk mempelajari bahasa saat masih anak-anak daripada saat dewasa.

"Masa remaja sangat penting untuk perkembangan sosial. Jika anak tidak memiliki interaksi sosial dengan optimal di waktu tersebut, kemungkinan tidak ada kesempatan lain untuk melakukan pembelajaran sosial tersebut," imbuh Posner.

Korteks tidak dapat tumbuh kembali dan terus menyusut sepanjang hidup. Kendati demikian, Kuhl menyebut bahwa otak anak saat pandemi COVID belum jelas turut memengaruhi risiko masalah lainnya.

Termasuk seperti risiko lebih tinggi terhadap gangguan seperti ADHD depresi, penyakit Alzheimer dan juga Parkinson.

Benarkah ini juga menghambat proses belajar anak?

Laporan dari UNICEF menyebutkan bahwa selama pandemi, sekitar 80 juta anak dan remaja di Indonesia mulai menghadapi dampak sekunder. Termasuk salah satunya pada proses belajar.

"Lebih dari setahun setelah pandemi, anak-anak dan remaja di seluruh Indonesia menghadapi tantangan new normal," ungkap UNICEF Representative, Debora Comini. 

Hampir seluruh sekolah dan kampus ditutup, sehingga rata-rata waktu yang dihabiskan untuk pembelajaran jarak jauh bervariasi dari hanya 2,2 hingga 3,5 jam per hari. Penutupan fasilitas pendidikan juga meningkatkan risiko putus sekolah.

Sulit beradaptasi dengan rutinitas sehari-hari juga telah memengaruhi perkembangan anak. Selama pandemi, dilaporkan beberapa masalah seperti sulit berkonsentrasi, menjadi lebih marah, dan sulit tidur.

Demikian ulasan tentang dampak otak anak saat pandemi COVID. Jika anak tampak memiliki perubahan proses belajar dan bahkan terganggu, jangan ragu untuk melakukan konsultasi dengan profesional ya, Bunda.

Bagi Bunda yang mau sharing soal parenting dan bisa dapat banyak giveaway, yuk join komunitas HaiBunda Squad. Daftar klik di SINI. Gratis!

(fir/fir)

TOPIK TERKAIT

HIGHLIGHT

Temukan lebih banyak tentang
Fase Bunda