Jakarta -
Bunda mungkin sering menghadapi seperti ini, si kecil yang berusia 7 tahun tak mau mendengarkan instruksi kita saat diminta belajar atau menunaikan ibadah. Gemas-gemas kesal ya rasanya.
Saya juga mengalaminya nih, Bun. Sudah berkali-kali meminta si kecil belajar, masih juga belum bergerak dari posisi sebelumnya.
Istilahnya mulut sampai berbusa-busa menjelaskan alasannya kenapa kita menyampaikan instruksi demikian, tapi tetap saja nggak membuat anak beranjak. Siapa yang nggak kesal kalau seperti ini? Sampai akhirnya kita memberikan batasan, mematikan televisi atau mengambil barang-barang kesukaannya dalam jangka waktu tertentu.
Niat sebenarnya ingin mendisiplinkan anak dan belajar bertanggung jawab. Ya, kita ingin anak paham dan menghadapi dampaknya ketika mereka membuat pilihan yang buruk.
Tapi mematikan televisi atau mengambil barang kesukaan anak itu cara tepat mendisiplinkan mereka atau nggak ya? Bagi anak ini adalah hukuman. Tapi mungkin kita merasa ini adalah konsekuensi atas kebandelannya.
Yuk, kita simak bersama, Bun, beda konsekuensi dan hukuman.
Apa Itu Konsekuensi?Terapis dan Coaching Keluarga, Debbie Pincus, MS LMHC, menjelaskan konsekuensi adalah hal-hal yang mengalir secara alami dari pilihan, tindakan, dan keputusan seseorang. Nah, konsekuensi ini bisa "buruk" dan "baik". Contohnya, apabila kita makan berlebihan, konsekuensinya bisa jadi sakit perut. Tapi jika kita baik terhadap orang lain, mereka mungkin akan berlaku baik juga sebagai balasannya.
"Konsekuensi membantu kita semua belajar dan berkembang," tulis Debbie di Empoweringparents.
Dia menambahkan ketika anak-anak mengalami dampak dari tindakannya, mereka mendapat kesempatan untuk belajar dari kesalahan mereka. Akhirnya mereka membuat pilihan yang lebih baik dan memperbaiki perilakunya.
"Konsekuensi juga memberi kita kesempatan untuk menjadi orang tua dari prinsip kita, bukan dari tempat frustrasi, marah, atau kecewa," sambungnya.
 Ilustrasi beda hukuman dan konsekuensi/ Foto: thinkstock |
Konsekuensi Berbeda dengan HukumanBerbicara hukuman, Bunda mungkin sering mengatakan, "Karena sikapmu, Bunda terpaksa kasih hukuman". Kita berpikir hukuman adalah konsekuensi yang harus diterima anak. Tapi sebenarnya ini nggak pas. Sebab hukuman dan konsekuensi itu berbeda.
Hukuman sering kali tidak menghormati hak anak untuk mengambil keputusan, bahkan jika keputusan itu salah. Hukuman sering kali timbul karena kemarahan dan ketakutan. Sering kali hukuman terlihat seperti cara agar anak melakukan apa yang kita inginkan.
Pendekatan dengan cara ini ternyata tidak membantu anak-anak mengembangkan cara bertanggung jawab atas perilaku mereka. Hal itu juga bisa merusak hubungan kita dan anak-anak.
Berbeda dengan konsekuensi. Karena konsekuensi mensyaratkan komunikasi dengan anak mengenai pilihan dan tanggung jawabnya atas perilaku mereka. Tugas kita sebagai orang tua adalah membantu anak-anak belajar bagaimana menghadapi hasil pilihan mereka, betapapun sulit atau tidak menyenangkan.
Konsekuensi lebih menghormati hak anak untuk mengambil keputusan. Ini bukan penolakan. Ini adalah cara belajar dari pengalaman yang sebenarnya. Kita akan menjaga hubungan yang lebih baik dengan anak saat meminta pertanggungjawaban dari anak.
Suatu saat seorang teman bercerita anaknya yang berusia 13 tahun pergi tanpa kabar, bahkan menelepon untuk memberi tahu mau ke mana saja tidak. Kemudian anak itu dihukum tidak boleh memakai ponsel selama beberapa hari.
Ya, itu mungkin mengajarkan kepada anak untuk disiplin. Jadi bila tidak bertindak secara bertanggung jawab, maka anak dapat kehilangan hak istimewa. Tapi hukuman ini tidak mengajarkannya bagaimana bertindak lebih bertanggung jawab.
Lalu bagaimana jika menggunakan konsekuensi, apa memberikan perbedaan? Kita bisa ambil contoh kasus yang sama, tapi sebelum memutuskan merespons tindakan anak, kita bisa menanyakan ke diri sendiri apa yang kita inginkan, yang bisa anak pelajari dan perbaiki.
Kita mungkin ingin anak belajar mengikuti instruksi dan melakukan apa yang diperintahkan, yang dalam kasus ini adalah untuk menelepon dan memberi kabar akan pergi ke mana. Untuk memotivasi dan membimbing anak ke perilaku yang lebih baik, konsekuensinya adalah ke depannya anak hanya akan diizinkan pergi bersama teman-teman di akhir pekan dan hanya satu jam.
Selama waktu itu dia harus ingat untuk menghubungi kita agar kita tahu di mana dia berada. Apabila anak sukes melakukannya pada hari Sabtu dan Minggu, dia bisa keluar untuk jangka waktu yang lebih lama.
Konsekuensi ini membuat anak belajar bahwa hak istimewa (bergaul dengan teman) hadir dengan tanggung jawab (menelepon mengabarkan keberadaannya). Apa yang dia dapatkan adalah kesempatan untuk berlatih dan menunjukkan kepada orang tua bahwa dia dapat dipercaya untuk melakukan apa yang seharusnya.
Tahan Godaan untuk MenghukumBunda, konsekuensi hanya efektif jika anak memutuskan untuk berubah. Saat Bunda merasa jengkel pada anak sehingga menerapkan konsekuensi menjadi susah, cobalah mengendalikan kemarahan lebih dahulu. Ambil jarak dan jangan menyerah.
Tahan godaan untuk marah dan menghukum anak secara membabi buta ya, Bun. Maksud saya di sini, karena marah kita jadi memberi hukuman yang nggak nyambung dengan kesalahan yang dilakukan anak.
Yuk, kita ingat alasan mendasar mengapa kita berusaha sekuat tenaga ingin membantu anak untuk berdisiplin. Dengan menunjukkan kepada anak apa yang dapat mereka harapkan dalam hidup saat membuat pilihan yang buruk, konsekuensi bisa berjalan baik, terlepas dari bagaimana anak Anda merespons.
Beberapa orang tua beranggapan semakin keras hukuman diberikan akan membuat anak jera atau kapok melakukan perbuatan negatif. Menanggapi hal ini, psikolog anak dan remaja dari RaQQi - Human Development & Learning Centre, Ratih Zulhaqqi, menuturkan perbuatan yang dianggap tidak baik perlu mendapatkan konsekuensi. Untuk memberikan konsekuensi, tentunya harus nyambung dengan apa yang dilakukan anak.
"Misalnya anak melakukan kesalahan di sekolah, katakanlah lupa membuat PR, kemudian diminta untuk menulis sebanyak-banyaknya 'saya tidak akan lupa mengerjakan PR'. Kalau menurut saya ini nggak efektif karena nggak nyambung," tutur Ratih seperti dikutip dari detikhealth.
Ketimbang menerapkan hukuman yang seperti itu, menurut Ratih, lebih efektif jika anak tidak mengerjakan PR membuat karangan tulisan maka anak diminta membuat karangan dan selanjutnya dibacakan di depan kelas. Konsekuensi seperti ini sekaligus bisa memupuk rasa percaya diri anak untuk berbicara di depan banyak orang.
"Jadi bukan membuat anak ketakutan, tapi membuat anak belajar sebab akibat yang logis. Menurut saya konsekuensi logis akan lebih efektif," imbuhnya.
(Nurvita Indarini)