Jakarta -
Ini cerita tentang teman saya, Bun, anaknya sejak masuk ke SD jadi makin sering
melawan orang tuanya. Segala hal, dia merasa benar, sehingga nggak mau mendengar kata orang tuanya.
Sampai nangis-nangis itu teman saya ngomong sama anaknya tetap saja nggak digubris. Katanya sering kali hampir hilang kesabaran, rasanya ingin marah-marah atau main tangan ke anak saat
melawan, tapi untungnya masih bisa mengendalikan diri.
"Kenapa ya sama anakku?" ujarnya saat bertemu saya beberapa waktu lalu. Berkesempatan diskusi sama psikolog Aurora Lumban Toruan, saya pun membahas masalah teman saya ini dengannya.
Aurora bilang mengacu pada anak usia pra remaja, kira-kira anak SD umur 10 -12 tahun), secara kognitif kemampuan anak semakin berkembang. Selain itu rasa ingin tahu anak juga berkembang, sehingga kadangkala ingin mencoba hal-hal baru, yang terkadang berisiko.
Umumnya anak-anak usia ini lebih jeli mencari hubungan sebab akibat, yang mana sesuatu bisa berakibat dalam jangka panjang, bukan hanya saat ini. Mereka juga mulai menalar tentang alasan, bahwa segala sesuatu bukan saja hitam-putih, tapi bisa diinterpretasikan berbeda mempertimbangkan berbagai faktor. Atau juga segala sesuatu bisa dilihat dari sudut pandang berbeda.
"Mulai bisa mengantisipasi konsekuensi, meskipun belum sepenuhnya matang (lebih luas pemahamannya dibandingkan waktu kecil, tapi masih belum sepenuhnya mampu
mengantisipasi konsekuensi dari keputusan atau tindakannya)," tutur Aurora.
Nah, Bun, hal-hal itu bisa membuat anak merasa sudah tahu akan hal-hal tertentu sehingga merasa tidak perlu diberi tahu lagi. Karena kalau diberita tahu membuatnya merasa diperlakukan seperti anak yang masih kecil.
Lalu apa yang harus dilakukan? "Pada saat-saat seperti ini, orangtua perlu bersikap tetap tenang, dan tidak memancing konflik atau berargumentasi," saran Aurora.
 Tentang Anak SD yang Berubah Jadi Sering Melawan Orang Tuanya/ Foto: Thinkstock |
Ketimbang mengeluarkan kalimat yang bisa memancing konflik, sebaliknya kita sebagai orang tua sedikit demi sedikit lebih terbuka terhadap pendapat anak. Nggak ada salahnya juga mendukung pemikiran-pemikiran anak yang memang sudah logis atau tepat, Bun. Yang nggak kalah penting, kita perlu menanamkan keyakinan bahwa anak sedang berkembang untuk jadi lebih dewasa dalam mengambil keputusan.
"Tapi tetap diberi pengertian bahwa pengalaman mereka belum sebanyak orang dewasa, dan masih membutuhkan bimbingan-bimbingan untuk mengambil keputusan. Dan jangan terlalu terpaku atau membesar-besarkan kesalahan atau kekurangan anak dalam keputusan yang diambil," tambah Aurora.
Kadang anak mungkin mengabaikan saran kita dan memilih melakukan apa yang diyakini, tapi ternyata salah perhitungan. Hmm, ingin banget deh bilang, "Nah, kan, makanya kamu jangan ngeyel. Kan bunda sudah kasih tahu sebelumnya,".
Sabar, Bun. Tahan diri yuk untuk nggak mengeluarkan kalimat yang malah jadi bikin anak kesal sama kita dan membuatnya merasa diserang dan disalahkan. Kalau ini sudah terjadi bisa-bisa kita bisa perang mulut sama dia.
Aurora menyarankan saat ternyata keputusan anak salah, sebaiknya kita ajak anak untuk mengevaluasi hal tersebut. Sebaliknya kalau berhasil atau mengambil sikap tepat saat ada masalah, kita memberikan pengakuan atau apresiasi pada anak.
(Nurvita Indarini)