Jakarta -
Suatu kali saya pernah menemukan percakapan dengan anak yang bikin geleng-geleng kepala dan nggak tahu harus menjawab apa. Ketika mendapati pertanyaan anak yang 'sulit', biasanya saya akan tersenyum lebar dan meminta waktu untuk menjawabnya.
Nah, ternyata nggak cuma saya yang mengalami hal ini. Saya temui hal ini juga dalam broadcast di grup chat. Kurang lebih begini isi broadcast-nya, Bun.
Percakapan
anak dan ayah di sebuah mobil.
Anak : Ayah, gunungnya ngejar kita.
Ayah : Nak, gunung gak bisa ngejar kita.
Anak : Itu gunungnya lari.
Ayah : Gunung itu benda mati, Nak, dia nggak bisa berlari.
Anak : Yah kasihan, siapa yang membunuh gunung sampai mati ayah. Jahat sekali dia.
Ayah : Bukan begitu, Nak. Gunung itu memang benda mati. Tuhan nggak kasih nyawa ke gunung.
Anak : Siapa itu Tuhan ayah?
Gimana? Pasti bunda atau ayah pernah dong merasakan mendapat pertanyaan-pertanyaan 'sulit' dari si kecil. Iya, pertanyaan yang bikin kening berkerut karena bingung gimana menjelaskannya pada anak.
Kata psikolog klinis, Christina Tedja, sesungguhnya setiap pertanyaan anak-anak itu hanya sekilas dari rasa penasarannya. Biasanya pertanyaan seperti itu diajukan anak-anak berusia 3-5 tahun.
Di usia tiga hingga lima tahun, anak sedang berkembang proses logika berpikirnya. Itulah yang membuat mereka sangat terbatas pola pikirnya. Karena itu ada hal-hal yang perlu dihindari orang tua yaitu membahas atau menjawab dengan istilah seperti benda mati, gravitasi, maupun rotasi, karena itu akan membingungkan anak.
 Kita memang harus berhati-hati dalam menjawab pertanyaan anak. Foto: thinkstock |
Menanggapi broadcast tentang pertanyaan sulit anak, ini tips yang diberikan psikolog yang akrab disapa Tina. "Jawaban singkat dan ringkas yang bisa kita berikan adalah, 'Bukan pohon yang mengejar kita, tapi kita yang berjalan sehingga kita merasa seperti dikejar pohon'. Kurang lebih bisa kita jawab begitu," tutur Tina.
Tina melanjutkan apabila
anak melanjutkan pertanyaannya, maka orang tua harus memberikan praktik mudah untuk mengajarkan prinsip ini. "Kita bisa belajar dari parenting Barat yang biasanya mereka menggunakan cara montesori. Misal, anak diajak main sepeda melewati jajaran bunga. Nanti konsepnya bisa diadopsi dari situ," sambung Tina.
Sedangkan untuk soal kematian, bisa dijelaskan ke anak bahwa seseorang yang mati atau meninggal berarti tidak akan kembali lagi. Sedangkan untuk soal membunuh, sebaiknya tidak dijelaskan pada anak yang masih terlalu kecil.
"Sebab anak akan menginput konsep menyakiti seperti membunuh," imbuh Tina.
(Nurvita Indarini)