Jakarta -
Bicara kekuatan pendidikan, bisa jadi yang terlintas adalah standar pelajaran atau fasilitas sekolah. Namun, Bunda perlu tahu kekuatan utama pendidikan adalah relasi dan interaksi antara murid dengan guru atau orang tua dan
anak. Dengan pendidikan kuat, peluang masa depan anak cemerlang makin besar.
Banyak yang salah kaprah, karena dalam proses belajar-mengajar seringkali melupakan pendekatan kemanusiaan sehingga keunikan yang anak miliki berubah menjadi kelemahan alih-alih jadi kekuatan.
"Guru atau pengajar lebih merasa 'bertanggung jawab' pada benda seperti dokumen (kurikulum) atau kebijakan tertulis dibanding manusia kecil yang hidup di depan mata mereka alias anak-anak kita," papar pendidik, psikolog sekaligus inisiator Kampus Guru Cikal, Najelaa Shihab di tengah acara Temu Pendidik Nusantara (TPN) 2018, 'Memanusiakan Hubungan, Mendorong Perubahan Pendidikan Berkelanjutan' di Sekolah Cikal, Cilandak, Jakarta Selatan pada beberapa waktu lalu.
Karena itulah, wanita yang kerap disapa Ela ini berkata butuh adanya perubahan jika ingin anak berhasil masa depannya. Berikut 3 formula khusus dari Ela untuk meningkatkan kualitas belajar-mengajar secara signifikan seperti dilansir dalam bukunya, 'Memanusiakan Hubungan'.
1. Berpusat pada anak Foto: Istock |
Perilaku yang muncul dari siapapun yang terlibat dalam pendidikan harus berfokus pada kebutuhan anak. Kalau guru, orang tua atau pengajar pola pikirnya 'yang penting kurikulum atau kebijakan' selesai, tapi anak tidak beradaptasi terhadap kebutuhannya, misal anak nggak bisa bersosialisasi dengan teman dan lingkungannya pada akhirnya tujuan pendidikan anak pun nggak tercapai.
"Coba berangkat dari pengenalan karakteristik anak dan menyesuaikan dengan kesiapan anak. Berikan anak kesempatan didengarkan. Mendukung keberhasilan anak dengan tujuan yang dipilihnya akan membuat anak lebih mudah bekerja sama dalam menyukseskan tujuan guru dan orang tua," ungkap Ela.
Anak merupakan 'sekutu' utama kita dalam proses belajar-mengajar. Semakin cepat kita memberdayakannya, semakin mudah pencapaian kita. Ya, karena kualitas proses belajar-mengajar juga ditentukan pilihan dan keterlibatan anak.
2. Tunjukkan empati Foto: Istock |
Dengan empati, pendidik seperti guru dan orang tua lebih peka pada perilaku anak dan perubahannya. Sehingga, memahami sudut pandang anak yang beragam bisa dilakukan. Mendengarkan dan mengamati secara aktif bisa membantu
anak memahami relasi belajar dan bekerja saat dewasa.
"Kami percaya kekuatan pendidikan bukan hanya dari data jawaban ujian, tetapi dari setiap sentuhan dan percakapan dengan anak-anak yang membutuhkan dukungan. Itu juga bantu anak dalam proses tumbuh dan belajarnya," tutur Ela.
Dengan semua stakeholder berempati, nggak ada lagi saling menyalahkan antara berbagai pihak.
3. Membangun relasi Foto: Istock |
Mencari kesempatan, menemukan kesamaan tujuan, dan melakukan tindakan yang disepakati untuk membangun hubungan saling percaya dan mendukung harus diupayakan semua pihak dalam proses belajar-mengajar anak. Riset menunjukkan keterampilan membina relasi merupakan salah satu karakteristik utama orang yang memilih profesi guru atau tenaga kependidikan.
"Yang namanya membangun relasi harus menjadi bagian dari program setiap sekolah dan jadi tanggung jawab setiap guru, orang tua dan pihak yang terkait. Ketika ada empati, kemudian ditambah relasi maka akan terbangun proses belajar-mengajar dengan program terencana," imbuh Ela.
Bayangkan, Bun, ketika rasa saling percaya, kehangatan, dan kepedulian di kelas kemudian diterapkan juga oleh
anak di rumah dan ditularkan ke anggota keluarga lain pasti kondisinya lebih baik. Begitupun sebaliknya, akan jadi hal yang baik saat hal positif di rumah disebarkan anak di sekolah.
(aml/aml)