Terpopuler
Aktifkan notifikasi untuk dapat info terkini, Bun!
Bunda dapat menonaktifkan kapanpun melalui pengaturan browser.
Nanti saja
Aktifkan

trending

Istilah PDP, ODP, dan OTG Kasus Corona Dihapus, Apa Konsekuensinya?

Yuni Ayu Amida   |   HaiBunda

Kamis, 16 Jul 2020 18:51 WIB

Menteri Kesehatan Terawan Agus Putranto mengatakan pemerintah yang akan menanggung biaya perawatan terkait virus corona.
Istilah PDP, ODP, dan OTG Kasus Corona Dihapus, Apa Konsekuensinya?/ Foto: Imam Kurniawan
Jakarta -

Baru-baru ini, Kementerian Kesehatan (Kemenkes) menghapus istilah terkait COVID-19, di antaranya istilah orang dalam pemantauan (ODP), pasien dalam pengawasan (PDP), dan orang tanpa gejala (OTG). Sebagai gantinya, muncul istilah baru seperti kasus suspek, kasus probable, kasus konfirmasi, dan kontak erat.

Pergantian istilah ini tertuang dalam Keputusan Menteri Kesehatan Republik Indonesia NoHK.01.07/MENKES/413/2020 tentang Pedoman Pencegahan dan Pengendalian Coronavirus Disease 2019 (COVID-19). Keputusan ini ditandatangani Menteri Kesehatan (Menkes) Terawan pada 13 Juli 2020.

Lalu, apa konsekuensi dari perubahan tersebut ya, Bunda?

Dikatakan Kepala Departemen Epidemiologi Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia (FKM UI) Dr dr.Tri Yunis Miko Wahyono, M.Sc, pergantian istilah ini hanya berdampak pada data yang selama ini mencatat kasus ODP dan PDP secara terpisah. Saat ini, kasus ODP dan PDP disatukan menjadi kasus suspek.

"Jadi suspek adalah kontak yang dekat dengan kasus dan mengalami gejala-gejala. Mau ringan dan berat itu namanya suspek. Kalau kemarin kan dibedakan ODP yang ringan, yang sedang atau berat itu PDP, nah sekarang disatukan semuanya namanya suspek," jelas Miko.

"Iya ke data, artinya semua PDP-ODP harus disatukan menjadi suspek, kemudian tinggal yang suspek jadi itu disatukan aja, tapi tidak segampang menyatukan dua hal," sambungnya.

Pendapat lain diungkapkan Guru Besar FKM UI, Prof dr.Ascobat Gani, MPH, DrPH. Menurutnya, perubahan istilah ini bisa memastikan penanganan kasus Corona jadi lebih baik. Misalnya pada kasus konfirmasi positif oleh rapid test, yang sebenarnya belum tentu positif karena hanya memeriksa antibodi.

"Kita periksa rapid test orang dinyatakan OTG belum tentu positif, bisa jadi dia sudah sembuh kan, jadi mengacaukan, yang sudah sembuh perlu di-treatment enggak? Enggak kan?" kata Prof. Ascobat.

"Sehingga, kita sebut kasus yang mungkin sakit atau kita curigai probable mungkin berarti orangnya harus dites PCR, harus dipastikan itu saja karena kita punya dua test, rapid test dan PCR," lanjut Prof. Ascobat.

Hanya saja, Prof. Ascobat menilai, perubahan istilah ini akan jadi tantangan pemerintah untuk melakukan lebih banyak tes Corona, terutama dengan menggunakan tes PCR.

PosterPoster/ Foto: Edi Wahyono

Sementara itu, pakar bahasa punya pandangan sendiri soal perubahan istilah tersebut. Pakar Bahasa Universitas Negeri Surabaya (Unesa) Autar Abdillah mengatakan, penggantian istilah baru saat ini tidak jelas dan menakutkan.

"Dari segi bahasa semakin tidak jelas dan menakutkan. Dikatakan tidak jelas, karena pendekatan dan istilah medis (suspek) dikaitkan dengan riwayat perjalanan," ujar Autar Abdillah.

"Tidak semua riwayat perjalanan seseorang mempengaruhi masuknya virus. Istilah baru ini juga menjadi menakutkan. Orang yang ISPA, tiba-tiba masuk golongan suspek."

Autar menilai, istilah ODP dan PDP lebih tepat dibandingkan istilah terbaru. Seseorang pun akan merasa lebih tenang dengan istilah yang lama dibandingkan dengan istilah baru.

"Lebih bersahaja (istilah ODP dan PDP). Orang tidak merasa langsung berada dalam situasi penyakit, tapi masih punya peluang dan keyakinan terhindar dari keadaan terburuk," ucapnya, dikutip dari detikcom.

Simak pula fakta dan data Corona dalam video ini:


[Gambas:Video Haibunda]



(yun/muf)

TOPIK TERKAIT

HIGHLIGHT

Temukan lebih banyak tentang
Fase Bunda