Jakarta -
'Sudah mau pulang?', pesan singkat yang ku kirim lewat WhatsApp belum dibacanya. Hampir tengah malam, ku telepon pun tak diangkat. Ku lihat siaran langsung di TV,
kerusuhan di tengah Ibu Kota belum juga reda. Suamiku masih di sana.
Hari itu, 22 Mei 2019, sedari siang dia meninggalkan rumah. Pamit kerja ke lokasi aksi demonstrasi di kawasan Sarinah, Jakarta Pusat. Ia memilih naik sepeda lantaran khawatir tak ada angkutan umum atau ojek
online, bila harus pulang larut malam.
"Hati-hati ya," ucapku tenang, seraya mendoakan agar dia diberi keselamatan.
Pakai kacamata hitam, masker penutup muka, celana
blue jean dia gulung hingga ke bawah lutut, sepatu boot hitam, dan helm tentunya. Ia pun mengayuh sepeda ke lokasi aksi unjuk rasa di depan Gedung Bawaslu, Jakarta Pusat.
Tak lama, via WhatsApp ku kirimkan link berita
online tentang saran dokter jika terkena paparan gas air mata. Memang, beberapa kali 'mengawal' demonstrasi, dia kerap terkena imbas gas air mata yang ditembakkan aparat keamanan.
Tuntutan pekerjaan sebagai jurnalis foto membuatnya harus berada di antara barikade petugas kepolisian dan para demonstran. Ya, hanya doa yang bisa ku panjatkan setiap dia berpamitan.
Aksi demonstran/ Foto: Rifkianto Nugroho |
Sore sampai malamEntah kenapa, pesan WhatsApp tak bisa terkirim. Media sosial pun sulit diakses. Sepanjang sore, ku lihat
update berita di TV. Bagaimana situasi terkini di lokasi unjuk rasa.
Hingga malam pun datang, pesanku tak juga sampai. Suara dering telepon terdengar, langsung ku tengok. Ternyata, kakak suamiku. "Di mana dia? Dia di sana? Kok enggak bisa ditelepon?" pertanyaan bertubi dari kakak perempuannya.
Ku berusaha tenang dan menenangkan. Ku coba menelpon dia lagi, tapi tak diangkat. Sementara di TV terlihat suasana
kerusuhan semakin mencekam. 'Ya, Allah, ku berserah pada-Mu,' batinku.
Satu dua jam berlalu, waktu sudah menunjukkan pukul 10 malam. Hingga akhirnya, dering telepon terdengar lagi. Betapa hati ini lega karena nama dia yang terbaca di layar ponsel.
"Kamu di mana?" tanyaku tanpa basa-basi. Dan tiba-tiba, "Dor... Dor... Dor..." suara itu bertubi-tubi terdengar dari ujung telepon.
Dia pun memastikan, dirinya dalam keadaan selamat. Riuh suara tembakan gas air mata rupanya.
Lewat tengah malamHampir tengah malam, dia belum juga pulang. Ku tanya lagi lewat pesan singkat, "Sudah mau pulang?". Dia balas menelepon dan ternyata tugasnya belum selesai. Tapi, dia berjanji tak lama lagi akan pulang.
Masih ku pantengi TV.
Alhamdulillah, situasi beranjak kondusif. Gelombang massa demonstran berangsur berkurang. Anak-anak di rumah pun sudah terlelap sedari tadi.
Lewat jam 12 malam, dia belum memberi kabar lagi. Tapi, pasti ku tunggu untuk membukakan pintu. Tak ku tanya lewat pesan singkat, karena mungkin dia dalam perjalanan pulang.
Ku tengok kembali jam di dinding, sudah hampir jam dua dini hari. Dan tak lama, telepon berbunyi. "Tolong bukakan pintu," ucapnya dari luar.
Alhamdulillah, dia pulang dalam keadaan selamat. "Tadi kena
gas air mata, pas banget di depan mata meledaknya," curhatnya.
(Kisah Bunda Icut - Jakarta)Bunda punya cerita yang sama? Deg-degan menunggu orang tercinta yang terjebak di tengah kerusuhan. Berbagi ya di kolom komentar.
[Gambas:Video 20detik]
(muf/rap)