cerita-bunda
Aku Depresi di Kantor, Tapi Kami Jadi Melarat Saat Aku Resign
Jumat, 25 Nov 2022 17:00 WIB
HaiBunda, saya ibu dari dua orang anak usia empat tahun dan dua tahun. Sebelumnya saya Bunda pekerja sejak awal menikah. Sampai akhirnya awal November 2022 ini saya resign dari pekerjaan untuk fokus mengurus anak-anak.
Saya berhenti bekerja tanpa tabungan, tanpa pesangon. Sebelum saya resign, sudah tahu apa saja yang akan saya hadapi jika berhenti bekerja tanpa apapun. Saya siap!
Saya serahkan semuanya sama Allah SWT. Karena menurut saya, bekerja atau tidak sama saja. Saya masih harus mengencangkan ikat pinggang menahan segalanya. Alasan berhenti bekerja juga karena saya sudah tidak menemukan kenyamanan di tempat bekerja.
Mereka butuh saya tapi saya merasa tidak dihargai. Selama bekerja tiga tahun tapi setahun saya bertahan dengan segala kegundahan. Sampai saya tiba-tiba terkena mental dan mengalami gangguan kecemasan. Berat sekali ketika saya mengalami itu. Anak-anak sampai sangat takut melihat saya.
Saya enggak mau terlalu terpuruk dan memaksakan untuk semua baik-baik saja. Saya sampai berkali-kali bilang dengan suami bahwa saya sudah enggak kuat. Saya harus berhenti bekerja!
Tapi suami seperti berat untuk saya berhenti bekerja. Saya tahu banyak tanggungan kami, terlebih pendapatan saya memang lebih besar dari suami. Saya bilang saya berhenti bekerja bukan berarti berhenti menghasilkan uang. Saya kan saya cari cara apapun untuk menghasilkan uang.
Saya katakan saya mau berjualan makanan. Tapi suami tidak pernah mendukung saya. Setiap saya buat makanan untuk tester pun, suami kurang antusias. Saya minta untuk modal juga selalu bilang belum ada.
Ya, memang belum ada, saya mengerti. Akhir-akhir ini kami benar-benar kesulitan, bahkan untuk makan. Saya sudah cukup malu minta dengan orang tua ataupun mertua. Apalagi pinjam sama teman. Saya sudah malu banget!
Saya hanya punya HP sebagai benda bernilai. Saya bilang sama suami untuk jual saja HP saya untuk makan dan modal berjualan. Tp dia enggan. Saya jadi bingung! FYI, suami saya bekerja di kantor dengan pendapatan UMR. Saya juga pernah minta suami cari pekerjaan lain yang bisa membayar dia lebih, tapi suami belum bisa keluar dari zona nyamannya. Suami juga sampingan jadi ojol tapi karena akunnya pinjam, jadi enggak selalu dapat orderan.
Seringkali mertua atau suami mencari pekerjaan untuk saya. Jujur saja, saya tersinggung seolah saya yang harus wajib bekerja. Padahal beban ketika saya bekerja lebih berat daripada saya tidak bekerja. Jika saya kerja, harus bayar pengasuh untuk dua orang anak. Ini belum ditambah makan dan jajan anak. Berapa gaji yang saya dapatkan cuma untuk bayar-bayar? Saya cuma kebagian capek aja.
Selain beban itu, saya juga kehilangan momen dengan anak, Saya dulu ditinggal ibu bekerja, jadi saya enggak mau anak merasakan apa yang saya rasakan dulu. Saat susah sampai di titik nol seperti ini saya selalu berpikir 'Apa salah saya berhenti bekerja? Apa saya salah membuat anak saya ikut susah?'.
Tapi saya pikir apalah arti sebuah karir kalo anak saya engak keurus. Anak pertama saya penuh takut jadi sering tidak mau ke pengasuh. Anak kedua tahun ini bolak-balik rumah sakit karena terkena TB (Tuberculosis) paru.
Saya enggak mau maksa kerja tapi anak saya tersiksa tiap pagi saya angkut ke rumah pengasuh, malam baru saya jemput ketika mereka ngantuk. Kadang saya ngerasa egois maksa resign demi menyehatkan mental tapi bikin anak-anak susah ikut menahan segalanya.
Sejauh saya lihat memang anak saya lebih happy saya di rumah. Cuma memang saya masih harus berjuang untuk ekonomi. Saya selalu berdoa agar semua ini cepat berlalu.
(Cerita Bunda A, Jakarta)
Mau berbagi cerita juga, Bun? Yuk cerita ke Bubun, kirimkan lewat email [email protected] Cerita terbaik akan mendapat hadiah menarik dari HaiBunda.
Simak juga video berikut mengenai omongan tetangga yang dirasakan salah satu Sahabat HaiBunda.
(ziz/ziz)