Terpopuler
Aktifkan notifikasi untuk dapat info terkini, Bun!
Bunda dapat menonaktifkan kapanpun melalui pengaturan browser.
Nanti saja
Aktifkan

cerita-bunda

Sedihnya Putriku Divonis Cacat Seumur Hidup, Kenapa Suami Selalu Menyalahkanku?

Sahabat HaiBunda   |   HaiBunda

Rabu, 04 Oct 2023 18:05 WIB

Asian couple arguing shouting blaming each other of problem, husband and wife fighting at home, relationship Problems concept
Ilustrasi Cerita Bunda: Putriku Divonis Cacat Seumur Hidup, Kenapa Suami Menyalahkanku?/ Foto: Getty Images/Filmstax
Jakarta -

#HaiBunda aku seorang guru pendidikan khusus yang mengajar secara penuh meskipun punya background pendidikan berbeda. Berawal mendengar doa seorang siswa berkebutuhan khusus, aku putuskan mengabdikan diri untuk mereka.

Aku sering menerima keluh kesah orang tua dan berbagai progress pembelajaran anak-anak mereka. Tahun demi tahun ku jalani, walau gaji yang didapat nggak seberapa. Tapi, ada kepuasan tersendiri saat berhasil membuat mereka belajar dan berkreasi.

Pengabdianku berbuah manis, saat inovasi yang ku buat ternyata dapat apresiasi dari Wali Kota, Gubernur, bahkan Kementerian Pendidikan, melalui kompetisi guru yang setiap tahun aku ikuti. Aku diberikan apresiasi ibadah umroh oleh Gubernur.

Aku juga diberi amanat oleh Kementerian untuk terlibat langsung dalam berbagai program pendidikan, baik sebagai tim penilai maupun narasumber. Ini semua membuatku makin bersyukur dan semangat mengajar murid-murid dengan lebih baik.

Sampai akhirnya di suatu hari, anakku terjatuh dan patah tulang di area siku. Bocah 7 tahun ini harus menjalani operasi. Tapi entah apa yang salah, bukan membaik malah saraf ulnar tangannya terganggu.

Selembar tisu atau bola kecil pun tak bisa dia ambil. Aktivitas sehari-hari hanya pakai satu tangan, bahkan membuka tutup botol minum pakai mulut atau gigi. Penyesalan dan air mataku tak terbendung, aku merasa tak mampu menjaga putriku.

Cacat seumur hidup?

Berbulan-bulan, prosedur pengobatan dan fisioterapi dilalui, tapi hasilnya tak kunjung membaik seperti yang kami harapkan. Berulang kali ku tanyakan ke dokter, dengan berharap secercah harapan, tapi jawabannya tetap sama.

"Ya sudah, berarti anak Ibu cacat."

Dengan entengnya, hanya itu yang dokter katakan. Padahal sebelum operasi, kesembuhan yang ia janjikan. Jemari anakku juga masih berfungsi sebelum menjalani operasi. Di titik ini, aku benar-benar merasakan apa yang orang tua murid rasakan.

Ada proses berat yang harus ku lalui untuk menerima takdir Allah untuk anak kami. Beribu pertanyaan dan kekhawatiran berkecamuk di dada, bagaimana dia bisa beraktivitas dengan kondisi seperti ini?

Bagaimana masa depan anak kami dengan satu tangan yang berfungsi? Ya Allah, kenapa ini harus terjadi padaku, apa salahku? Bukankah aku selalu bekerja dan menyayangi murid-muridku dengan sepenuh hati...

Kami berupaya ke mana saja demi kesembuhan gadis kecil ini. Badanku sudah sangat kurus, pikiran tak menentu, aku selalu terjaga di tengah malam sembari memeluk dan membelai anakku dengan derai air mata.

Tapi kenapa, suami seakan selalu menyalahkan aku atas semua yang terjadi. Ini sangat berat sampai aku berharap tak ada lagi hari esok bagi kami. Satu-satunya yang ku mau adalah segera kembali ke pelukan-Nya bersama-sama.

Putriku malaikat kecilku

Ternyata, ikhlas itu nggak mudah. Aku belum bisa menerima ketentuan yang Allah berikan untuk kami. Tapi, aku nggak menyerah dan tetap membawa putriku berobat ke rumah sakit ternama di Surakarta.

Dia harus menjalani 4 kali operasi dan 2 tahun fisioterapi. Operasi terakhir tepat di hari ulang tahunnya dan dia berkata, "Sakit, Bunda... Kakak nggak mau operasi lagi, ini yang terakhir ya. Kakak nggak apa-apa tangannya begini, Kakak ikhlas."

"Nanti di surga, tangan Kakak kan bagus lagi. Yang penting, Bunda jangan sedih terus ya..."

Ucapan itulah yang menyadarkan aku, dia bukan milikku walaupun dia anakku. Dia punya Allah! Aku hanya diberikan amanat untuk menjaganya. Kenapa aku nggak bisa ikhlas dengan ketentuan Tuhan dan malah menyakiti anakku dengan berobat ke sana kemari.

Akhirnya, aku turuti kemauan gadis kecil ini meskipun dokter menyarankan 1 kali operasi lagi. Beban terbesar adalah rasa penyesalan teramat dalam dan nggak ikhlas, jadi selalu menyalahkan diri sendiri.

Setelah berdamai, mulai memaafkan diri sendiri, dan memohon ampun pada Allah, aku merasakan proses panjang orang tua pilihan yang dititipkan malaikat-malaikat kecil istimewa. Aku juga makin semangat mengajar dan mendidik murid-murid di sekolah.

Putriku memang tak sempurna seperti dulu, tapi dia selalu jadi malaikat kecil istimewa yang membuatku tersenyum bahagia dan bangga dengan prestasinya. Semoga Allah selalu menjaganya, memberi kebahagiaan, dan semua yang terbaik untuknya. Aamiin...

-Bunda N, Tasikmalaya-

Mau berbagi cerita juga, Bun? Yuk cerita ke Bubun, kirimkan lewat email [email protected]. Cerita terbaik akan mendapat hadiah menarik dari HaiBunda.

(muf/muf)

TOPIK TERKAIT

HIGHLIGHT

Temukan lebih banyak tentang
Fase Bunda