kehamilan

Perbedaan IUD Hormonal & Non Hormonal Serta Dampaknya pada Gangguan Menstruasi

dr. Adila Rossa Amanda Malik, Sp.OG   |   HaiBunda

Selasa, 04 Apr 2023 17:35 WIB

Dokter Sisipan
dr. Adila Rossa Amanda Malik, Sp.OG
Dokter Spesialis Kebidanan dan Kandungan Paruh Waktu di RS Hermina Jatinegara. Berpraktik di RS Hermina Jatinegara pada hari Selasa (15.00 - 18.00 WIB dan hari Jum'at (16.00 - 18.00 WIB).
Jakarta -

IUD adalah singkatan dari Intra Uterine Device atau Alat Kontrasepsi Dalam Rahim (AKDR). IUD dulu dikenal dengan KB spiral karena dahulu memiliki bentuk seperti spiral/per.

Saat ini IUD berbentuk seperti huruf "T". IUD adalah salah satu jenis kontrasepsi yang dapat menunda dan mencegah kehamilan. IUD memiliki efektivitas yang cukup tinggi dan bisa digunakan dalam waktu lama.

Jenis kontrasepsi ini menjadi andalan banyak bunda untuk mencegah kehamilan. Selain tingkat efektivitas tinggi, IUD juga lebih praktis untuk jangka waktu yang lebih lama.


Jenis Kontrasepsi IUD

Kontrasepsi IUD terbagi menjadi dua jenis, yakni:

1. IUD hormonal

IUD hormonal yang mengandung hormon levonorgestrel atau jenis sintetik progesteron. IUD jenis ini dikenal dengan nama IUD Mirena. Cara kerja IUD hormonal hampir sama dengan cara kontrasepsi suntik 3 bulan dan implan.

Cara kerjanya adalah membuat penipisan dinding dalam rahim (endometrium), sehingga haid berkurang atau sama sekali tidak haid. Penggunaan IUD hormonal biasanya disesuaikan dengan indikasi, yakni wanita yang mengalami gangguan haid (haid banyak atau sangat nyeri) seperti pada wanita dengan adenomiosis atau mioma.

Hormon pada IUD ini hanya bisa untuk tiga tahun (hormon habis). Setelah 3 tahun, pemakaiannya hanya bersifat kontrasepsi biasa.

Ketika hormon habis, IUD tidak lagi memiliki fungsi untuk menekan gangguan haid. Jadi, kemungkinan Bunda bisa kembali haid. Tapi, bila setelah tiga tahun pemasangan muncul masalah haid kembali, dokter biasanya akan melakukan evaluasi terkait masalah hormonal.

2. IUD non hormonal

IUD non hormonal atau IUD Copper T merupakan alat kontrasepsi yang berisi tembaga. Salah satu jenis KB IUD yang cukup populer adalah IUD Andalan atau Nova T, Bunda.

IUD non hormonal bekerja dengan cara membuat peradangan lokal di dinding dalam rahim (endometrium), sehingga sperma sulit naik untuk bertemu sel telur dan apabila sudah terjadi pembuahan, maka peradangan tersebut akan mempersulit hasil pembuahan untuk menempel dinding dalam rahim (endometrium). Nah, sifat peradangan pada suatu jaringan akan menyebabkan perdarahan karena membuat pembuluh darah lebih rapuh, sehingga pada saat haid bisa lebih lama dan panjang, atau keluar flek di luar siklus haid.

Penggunaan IUD non hormonal sebaiknya dikonsultasikan lagi ke dokter, bila panjang siklus haid lebih dari 9 hari atau lebih dari 5 kali mengganti pembalut dalam sehari karena darah yang keluar banyak.

Gangguan siklus haid karena IUD ini bisa terjadi karena ada masalah di tubuh pemakainya. Bila efek samping dibiarkan, Bunda dapat mengalami anemia dan iritasi di organ intim akibat sering mengganti pembalut.

Efektivitas IUD dalam mencegah kehamilan bisa mencapai 96 persen (angka kegagalan <0,05 persen) dalam satu tahun pertama, dan angka kegagalan akan bertambah menjadi 0,1 persen bila dipakai setelah 5 tahun.

Penyebab lain peradangan akibat IUD

Peradangan yang berujung infeksi bisa terjadi saat pemakaian IUD, Bunda. IUD terdiri dari filamen atau benang yang saat pemakaiannya akan sedikit dikeluarkan mulut rahim, sehingga berada di dalam vagina.

Vagina adalah tempat yang tidak steril, sementara rahim merupakan tempat steril. Jika terjadi infeksi di area vagina, maka bisa menjalar ke benang IUD dan berbahaya untuk kesehatan reproduksi.

Untuk itu, Bunda yang menggunakan IUD harus ekstra memerhatikan kebersihan dan setidaknya kontrol rutin setahun sekali.

Apa bisa langsung ganti IUD hormonal ke IUD non hormonal?

Penggunaan IUD lebih dari lima tahun tidak akan mengganggu, kecuali Bunda pernah mengalami infeksi yang menjalar dari vagina dan masuk ke rahim.

Ketika memutuskan melepas IUD hormonal, Bunda bisa langsung memasang IUD non hormonal. Namun, Bunda perlu menjalani evaluasi terlebih dulu, bisa atau tidaknya menggunakan IUD non hormonal. Salah satu yang ditakutkan adalah haid kembali menjadi banyak karena sudah tidak menggunakan hormon lagi.

Kapan waktu tepat pasang IUD

IUD hormonal dan IUD non hormonal dapat dipasang saat haid atau di luar siklus haid. Namun, dokter lebih menyarankan pemasangannya saat haid karena untuk meyakinkan tidak adanya kehamilan.

Selain itu, pemasangan IUD akan melewati canalis cervicalis, yakni bagian sempit dari leher rahim. Pada saat haid, canalis cervicalis akan sedikit terbuka, sehingga tidak akan menyebabkan peregangan berlebihan yang berefek pada rasa ngilu/ sedikit nyeri saat dipasang IUD

Efek samping pemasangan IUD adalah mulas atau kram seperti haid hari pertama. Namun, efek ini seharusnya tidak sampai menimbulkan nyeri hebat.

Bila menggunakan skala nyeri, Visual Analogue Scale (VAS) dari 0 (tidak nyeri) sampai 10 (sangat nyeri), efek nyeri IUD tidak boleh lebih dari 2 atau 3.

Kalau merasa nyeri (2 atau 3), Bunda dibolehkan untuk minum obat anti nyeri, dan nyeri harus hilang setelah minum obat.

Pemasangan IUD setelah melahirkan

Selain saat haid, IUD juga dapat dipasang setelah melahirkan. Ada dua pemasangan IUD pasca persalinan, yakni segera setelah plasenta lahir dan setelah masa nifas.

Pemasangan IUD setelah plasenta lahir dapat dilakukan, namun bisa menyebabkan risiko infeksi lebih tinggi dan IUD dislokasi atau turun. Pemasangan IUD yang tidak tepat bisa meningkatkan risiko kegagalan.

Bila memilih waktu ini, Bunda disarankan untuk melakukan pemasangan IUD setelah masa nifas. Sebab, bentuk rahim sudah kembali seperti semula dan minim infeksi.

Langkah-langkah pemasangan IUD

Pemasangan IUD biasanya dilakukan di poliklinik. Berikut langkah-langkah pemasangan IUD:

  1. Pasien buang air kecil dan sudah membersihkan daerah kewanitaan, lalu duduk di kursi ginekologi.
  2. Dokter mengenakan sarung tangan steril membersihkan daerah kewanitaan luar.
  3. Dokter lalu memasang alat spekulum atau cocor bebek dan menjepit mulut rahim (portio) agar rahim lurus saat pemasangan IUD.
  4. Setelah itu, dokter akan mengukur kedalaman dan arah rahim menggunakan sonde.
  5. Ukuran ini disamakan dengan selongsong IUD yang akan dimasukkan.
  6. Setelah mencapai ukuran tertentu dan IUD dirasa sudah mentok di ujung rahim, lalu dorong menggunakan pusher.
  7. Setelah dipastikan posisi tepat, selongsong IUD dikeluarkan dan filamen IUD digunting sesuai kenyamanan pasien.
  8. Dokter biasanya akan langsung USG untuk evaluasi penempatan IUD sudah benar atau tidak.

Pemberian antibiotik dan obat anti nyeri setelah pemasangan IUD dapat diberikan. Antibiotik bermanfaat untuk pencegahan infeksi, sedangkan anti nyeri untuk mengurangi nyeri.

Bila tidak ada keluhan nyeri berlebihan, Bunda bisa langsung pulang usai pemasangan IUD. Tapi, Bunda tetap disarankan untuk waspada dengan tanda bahaya, seperti nyeri parah, keputihan tidak normal, atau perdarahan berat di luar waktu haid.

Bila tidak ada keluhan, Bunda dapat kembali ke dokter untuk evaluasi keluhan dan posisi IUD setelah 3 bulan. Bila semua baik, kontrol dapat dilakukan setahun sekali.

Evaluasi lebih awal perlu dilakukan bila pemasangan IUD hormonal tidak mengurangi darah haid yang keluar atau pada IUD non hormonal, haid lebih panjang atau perdarahan berat di luar siklus haid.

Pada beberapa pasien yang dipasang pasca persalinan, filamen atau benang IUD bisa ke atas atau masuk ke mulut rahim. Kondisi ini bisa menyulitkan untuk evaluasi IUD tanpa USG ataupun pada saat ingin melepas.

Cara melepas IUD

Cara melepas IUD lebih mudah dan cepat dibandingkan pemasangannya. Bunda duduk di kursi ginekologi, lalu dokter akan menjepit mulut rahim dan menarik filamen atau benang IUD sampai IUD ini keluar.

IUD hormonal vs IUD non hormonal, mana yang lebih baik?

Tidak ada yang lebih baik di antara IUD hormonal atau IUD non hormonal. Keduanya sama-sama memiliki keuntungan dan risiko.

Namun, dari segi penggunaan, IUD hormonal biasanya dipilih bila Bunda memiliki indikasi medis. IUD hormonal juga memiliki harga yang lebih mahal bila dibandingkan IUD non hormonal.

Sementara itu, efek hormon di IUD hormonal juga hanya bisa bertahan sampai tiga tahun. Tapi efek kontrasepsinya untuk mencegah kehamilan sama dengan IUD non hormonal, yakni bisa sampai lima tahun.

Penyebab IUD bergeser atau pindah posisi

IUD bergeser atau pindah posisi seringkali dikaitkan sebagai akibat berhubungan seks atau melakukan kerja berat. Benarkah demikian?

Semua itu hanya mitos ya, Bunda. IUD bergeser dapat disebabkan karena kontraksi rahim dan perdarahan saat haid. Risiko darah haid yang banyak dapat membuat rahim mengkompensasinya dengan cara kontraksi lebih hebat.

Selain kontraksi dan perdarahan haid, IUD bergeser juga bisa terjadi karena filamen atau benang IUD yang panjang ditarik secara tidak sengaja. IUD yang bergeser perlu segera diperiksa dan ditangani agar efektivitasnya tidak berkurang.

Lalu apakah IUD bisa keluar karena bergeser?

IUD tidak bisa keluar begitu saja meski berpindah posisi karena kontraksi atau perdarahan haid. IUD akan tetap berada di dalam rahim.

Pada saat rahim tidak ada isinya (hamil), apa yang ada di dalamnya seharusnya tidak akan keluar. Sebab, rongga rahim (kavum uteri) dan cervix tanpa atau dengan kehamilan akan tertutup sangat rapat.

Sampai saat ini masih ditemukan pasien tetap bisa hamil meski sudah menggunakan IUD. Kebanyakan disebabkan karena IUD bergeser.

Simak cerita liya Rajasa mengenai IUD yang sempat ia pakai dalam video di bawah ini:

[Gambas:Video Haibunda]



(rap/rap)

TOPIK TERKAIT

HIGHLIGHT

ADVERTISEMENT

ADVERTISEMENT