HaiBunda

MENYUSUI

Angka Kanker Payudara di Indonesia Tertinggi, Ini Penyebab dan Faktornya

Dwi Indah Nurcahyani   |   HaiBunda

Rabu, 15 Oct 2025 08:30 WIB
Angka Kanker Payudara di Indonesia Tertinggi, Ini Penyebab dan Faktornya/Foto: Getty Images/Drazen Zigic
Jakarta -

Kasus kanker payudara di Indonesia menjadi masalah serius yang perlu mendapatkan perhatian lebih. Apalagi, angka kanker payudara di Indonesia tertinggi. Ketahui lebih lanjut penyebab dan faktornya.

Kanker payudara adalah kanker yang paling umum didiagnosis pada perempuan di AS. Setiap tahun, sekitar 32 persen dari semua kanker yang baru didiagnosis pada perempuan adalah kanker payudara. Pada 2025, sekitar 316.950 perempuan akan didiagnosis kanker payudara invasif, dengan 59.080 kasus baru ductal carcinoma in situ (DCIS), yang bersifat non invasif.

Sekitar 16 persen perempuan penderita kanker payudara berusia di bawah 50 tahun. Dan, sekitar 66 persen kasus kanker payudara didiagnosis pada stadium lokal, sebelum kanker menyebar ke luar payudara, saat pengobatan cenderung lebih efektif.


Faktanya, tingkat kejadian kanker payudara pada perempuan telah meningkat perlahan sejak pertengahan tahun 2000-an di mana sebagian besar didorong oleh diagnosis stadium lokal dan penyakit reseptor hormon positif.

Saat ini terdapat lebih dari empat juta perempuan dengan riwayat kanker payudara di AS. Ini termasuk perempuan yang sedang menjalani pengobatan dan perempuan yang telah menyelesaikan pengobatan. Sekitar 42.170 perempuan akan meninggal dunia akibat kanker payudara pada tahun 2025.

Kasus kanker payudara di Indonesia

Di Indonesia, penemuan kasus kanker payudara juga cukup agresif dan bahkan banyak ditemukan pada stadium lanjut sebanyak 70 persen di antara kasus yang ada. Hal ini tentunya membuat peluang kesembuhan jadi lebih sulit yakni hanya di bawah 50 persen mengingat banyak pasien yang ditemukan tersebut terlambat ditangani.

Padahal, jika ditemukan lebih dini, peluang kesembuhan dari pasien lebih tinggi. Sayangnya, kesadaran di masyarakat untuk melakukan deteksi dini masih relatif rendah. Kurang dari 30 persen perempuan di Indonesia memilih tidak menjalani skrining dengan berbagai alasan.

Salah satunya yakni karena rasa 'denial' imbas takut atau cemas dengan hasil skrining. Karenanya, banyak pasien memilih tidak mengetahui kondisi sebenarnya. Termasuk enggan melakukan pengobatan pasca diagnosis kanker karena kekhawatiran efek samping seperti rambut rontok saat kemoterapi, seperti dikutip dari laman Detikhealth.

Anggapan seperti itulah yang kemudian membuat banyak kasus ditemukan dalam stadium lanjut. Hal ini tentunya justru merugikan pasien. Padahal, jika ditemukan lebih awal, kasus kanker yang ada memiliki peluang kesembuhan hingga 90 persen pada stadium 1 dan 2.

"Bahwa kalau pasien kanker itu di atas 40 tahun, itu data Cancer Information & Support Center (CISC) menemukan sudah banyak pasien kanker payudara usia 18 tahun, jadi bergeser ke usia muda, jadi kita juga belum tahu lebih pasti apakah trennya turun karena perubahan perilaku atau pola hidup atau kesadaran yang lebih baik," ujar Direktur Pencegahan dan Pengendalian Penyakit Tidak Menular dr Siti Nadia Tarmizi, saat ditemui pasca Forum Jurnalis Kesehatan Menurunkan Kematian akibat Kanker Payudara di Indonesia, belum lama ini.

"Tapi memang kenyataannya terkait kanker payudara itu bukan cuma 40 tahun ke atas tapi juga bergerak di usia 18 tahun, 25 tahun, 23 tahun," sambung dr Nadia.

Tips Cegah Kanker Payudara/ Foto: HaiBunda/Mia

Mengenal faktor risiko kanker payudara

Risiko kanker payudara memang bisa dialami perempuan dan juga laki-laki. Namun, sebagian di antaranya memang memiliki peluang yang lebih tinggi karena memiliki faktor risiko tertentu. 

Menurut dr Nadia, faktor risiko terkait pola perilaku dan pola hidup berkaitan dengan perubahan gaya hidup di era digitalisasi. Akses makanan serba instan, tidak mengutamakan real food.

Belum lagi, keterpaparan terhadap zat kimia yang meningkatkan risiko kanker pada seseorang. "Perubahan gaya hidup serba instan, risiko kanker makin besar, keterpaparan terhadap zat kimia, itu otomatis akan meningkatkan risiko kanker meskipun secara nggak langsung," sambung dr Nadia.

Pentingnya deteksi dini untuk kurangi risiko

Dikatakan Ketua Perhimpunan Pusat Perhimpunan Onkologi Indonesia (POI) Jaya Cosphiadi Irawan bahwa kanker stadium awal umumnya tidak bergejala. Untuk itu, ia mengingatkan pentingnya untuk melakukan skrining guna mengetahui risiko tersebut.

"Kanker di tahapan dini tidak memberi gejala dan tidak ada satu pemeriksaan tunggal yang bisa mengcover semua jenis kanker. Kanker bisa disembuhkan saat ditemukan lebih awal,"katanya.

Fakta penanganan kasus kanker payudara di Indonesia

Selain rendahnya kesadaran skrining atau deteksi dini di masyarakat, beberapa faktor lain menjadi fakta kesuraman penanganan kasus kanker payudara di Indonesia.

Seperti diketahui bahwa berdasarkan data dari Kemenkes RI terdapat 66.271 kasus baru kanker payudara setiap tahun, dengan 22.598 kematian. Angka ini menempatkan jenis kanker tersebut menjadi yang terbanyak dan paling mematikan pada perempuan di Tanah Air, disusul kanker leher rahim atau kanker serviks, hingga kanker ovarium.

Mirisnya, ada juga sengkarut permasalahan lainnya yang membuat penanganan kasus kanker di Indonesia tidak sekilat penanganan di negara lain.

Persoalan tersebut dimulai dari keterlambatan diagnosis, akses layanan yang masih timpang, hingga rendahnya angka kesintasan dibandingkan negara lain. Hal ini yang juga disebut Kemenkes RI menjadi salah satu alasan di balik banyaknya pasien memilih berobat ke luar negeri.

"Karena keterbatasan alat, itu antrenya bisa berapa bulan, bahkan sampai hitungan tahun. Saat pasien-nya didiagnosis masih stadium dini, nunggu tatalaksana-nya sudah stadium lanjut," beber dr Nadia.

Hal tersebut sejalan dengan catatan 70 persen kasus kanker payudara baru ditemukan pada stadium lanjut. Sementara, saat kasus kanker berada di stadium lanjut, peluang sembuh berkurang di bawah 50 persen.

Sementara di negara tetangga, Malaysia, angka survival-nya jauh lebih baik, seperti dikatakan dr Cosphiadi. Ia pun menekankan agar investasi deteksi dini dilakukan. Bila investasi deteksi dini serta pengobatan di Indonesia tak diperkuat, risiko beban penyakit dan biaya yang dihadapi semakin besar, bebernya.

Faktor lainnya yang menjadi sumber permasalahan yakni antrean berobat hingga berbulan-bulan sehingga keterlambatan tersebut berdampak langsung pada hasil pengobatan. Di Indonesia, rata-rata waktu tunggu pengobatan kanker bisa mencapai 9 hingga 15 bulan sejak diagnosis ditegakkan hingga terapi definitif dimulai.

"Kalau pasien menunggu enam minggu saja, tumor sudah bisa berkembang. Apalagi kalau sampai 12 minggu atau lebih, hasil terapinya tentu berbeda. Di Indonesia, keterlambatan seperti ini masih sangat tinggi," jelas dr Cosphiadi.

Angka kesintasan lima tahun kanker payudara di Indonesia hanya 54,5 hingga 56 persen, sementara di negara maju rata-rata 90 persen. India, dengan populasi terbanyak di dunia, juga memiliki rata-rata kesintasan lima tahun yang lebih baik yakni 66 persen. Yang lebih rendah lagi tercatat berada di Afrika Selatan dengan rata-rata 40 persen.

Selain masa tunggu pengobatan yang lama, pasien juga merasakan kekhawatiran dan cemas saat diperiksa. Realitanya, masalah kanker di Indonesia tidak hanya menyentuh sisi medis semata tetapi juga ranah psikologis. 

Banyak pasien menolak melakukan biopsi atau menunda pemeriksaan karena khawatir dengan hasil diagnosis. Tak sedikit pula yang beralih ke pengobatan alternatif, menghindari kemungkinan menjalani operasi dan kemoterapi, tetapi kemudian tidak berhasil dan kembali datang ke rumah sakit dalam kondisi stadium lanjut.

Dengan opsi tersebut, beban finansial pasien jadi lebih berat. dr Cosphiadi menyebut pada beberapa kasus, 80 persen pendapatan pasien dalam setahun hilang karena biaya pengobatan, kehilangan pekerjaan, dan keterbatasan produktivitas.

Perlunya strategi tekan angka kasus kanker payudara

Kanker adalah penyakit kompleks dan heterogen. Penanganannya membutuhkan kolaborasi lintas sektor, termasuk pemerintah, akademisi, swasta, dan komunitas.

"Ini bukan hanya urusan dokter. Harus ada governance yang kuat, akademisi yang mengawal, serta partisipasi masyarakat untuk edukasi dan deteksi dini. Kalau tidak, kita akan terus tertinggal," beber dr Cosphiadi.

Belum lagi, layanan paliatif yang juga harus diperluas. Saat ini, hanya 1 persen dari kebutuhan yang terpenuhi, padahal 80 persen pasien kanker stadium lanjut memerlukannya.

Meski strategi nasional sudah disusun, tantangannya tetap besar. Tanpa percepatan deteksi dini, pemerataan layanan, serta edukasi publik yang konsisten, angka kematian akibat kanker payudara akan terus tinggi.

"Kalau kita tidak hati-hati berinvestasi sekarang, biaya sosial dan ekonomi di masa depan akan jauh lebih besar. Investasi pada deteksi dini bukan sekadar soal kesehatan, tapi juga penyelamatan generasi," imbuh dr Cosphiadi.

Terkait hal tersebut, dalam hal ini Kementerian Kesehatan kemudian merumuskan Rencana Aksi Nasional (RAN) Penanggulangan Kanker 2024 hingga 2027, yang mencakup:

1. Penurunan angka kematian hingga 2,5 persen.
2. Menemukan 60 persen kasus kanker pada stadium 1 sampai 2.
3. Memastikan diagnosis ditegakkan maksimal 60 hari sejak pasien pertama kali datang ke faskes. Setiap provinsi minimal memiliki 2 RS paripurna dan setiap kabupaten/kota minimal 1 RS madya untuk layanan kanker.

Selain itu, metode skrining payudara kini dikombinasikan, SADANIS (pemeriksaan klinis) ditambah USG, agar deteksi lebih akurat. Meskipun penanganan secara kilat tidaklah mudah, semoga langkah nyata tersebut bisa menekan angka kasus kanker di Indonesia lebih lanjut.

 

Bagi Bunda yang mau sharing soal parenting dan bisa dapat banyak giveaway, yuk join komunitas HaiBunda Squad. Daftar klik di SINI. Gratis!

(pri/pri)

Simak video di bawah ini, Bun:

Bunda Perlu Tahu, Ini Warna Areola yang Normal pada Perempuan

TOPIK TERKAIT

ARTIKEL TERKAIT

TERPOPULER

Menetap di Yogyakarta, Intip Hunian Rio Febrian & Sabria Kono Terinspirasi Rumah Gurun

Mom's Life Amira Salsabila

5 Manfaat Menyanyikan Lagu untuk Perkembangan Bayi

Parenting Ajeng Pratiwi & Sutan Muhammad Aqil

Victoria Beckham Beberkan Alasan Tak Pernah Senyum di Depan Publik Selama 25 Tahun

Mom's Life Amira Salsabila

Tips Menjaga Berat Badan Ideal untuk Bantu Sukseskan Promil Seperti Lesti Kejora

Kehamilan Annisa Karnesyia

Bersama Radio PPI Dunia, Donasi Buku untuk Anak Pelosok NTT

Parenting tim berbuatbaik

REKOMENDASI
PRODUK

TERBARU DARI HAIBUNDA

Alasan Jennifer Coppen Murka & Berhentikan Pengasuh Kamari, Beberkan Isi Chat

Tips Menjaga Berat Badan Ideal untuk Bantu Sukseskan Promil Seperti Lesti Kejora

Viral Kepsek di Banten Diduga Tampar Siswa yang Merokok, Dinonaktifkan hingga Dilaporkan ke Polisi

5 Manfaat Menyanyikan Lagu untuk Perkembangan Bayi

Bersama Radio PPI Dunia, Donasi Buku untuk Anak Pelosok NTT

FOTO

VIDEO

DETIK NETWORK