Jakarta -
Kekerasan dalam hubungan percintaan nyata terjadi ya, Bun. Baru-baru ini yang menjadi sorotan adalah kekerasan fisik yang dialami Dylan Sada.
Dalam keterangan di postingan Instagram-nya, model yang kini tinggal di New York itu menuliskan pengalaman pedihnya disiksa oleh pasangan. Dylan Sada pun berharap tak ada perempuan lain lagi yang mengalami kejadian serupa dengan dirinya.
Beberapa kali saya juga mendapati cerita orang yang berani meningkatkan tahap hubungannya, dari pacaran ke level
pernikahan, meski saat pacaran si pasangannya ini kerap melakukan kekerasan, baik verbal maupun fisik. Sering kali ada harapan saat menikah, hal-hal yang buruk ini bisa berubah. Tapi apakah benar bisa begitu?
"Sifat pacar saat masih pacaran akan menetap meski sudah menikah. Artinya, lebih baik tidak berharap orang akan berubah. Jika sejak pacaran sudah melakukan kekerasan, kemungkinan besar akan berlanjut di
pernikahan" ujar psikolog klinis dewasa dari Psychological Service Centre and Laboratory Bina Nusantara University, Pingkan Rumondor.
Hmm, penjelasan Pingkan ini sesuai sih dengan curhatan Dylan Sada. "Saya adalah orang bodoh yang sedang jatuh cinta yang mengira bisa berubah. Saya terluka dan sangat patah hati, tapi saya berhasil menyembunyikan rasa sakit ini. Pelecehan verbal kepada saya adalah yang terburuk daripada pelecehan fisik, bekas luka dan memar hilang tapi rasa sakit di dalamnya berlangsung selamanya," tuturnya.
Nah, kekerasan fisik dan kekerasan lainnya baik psikologis maupun seksual dalam rumah tangga, kata Pingkan, bisa dilihat dari level individual, relasional, dan komunitas atau masyarakat. Dari level individual, ada faktor risiko orang menjadi pelaku kekerasan antara lain: menyaksikan orangtua melakukan kekerasan, pernah menjadi korban kekerasan di masa kecil, rendahnya level pendidikan juga sering kali berpengaruh, dan penyalahgunaan alkohol.
Ya, jika kekerasan menjadi 'norma' dalam keluarga atau lingkungan, maka nggak heran ya, Bun, kalau seseorang jadi gampang banget melakukan kekerasan dalam bentuk apapun. Soalnya bagi dia sudah dianggap biasa.
Sementara di level relasional, faktor risiko kekerasan dalam rumah tangga umumnya ada beberapa hal. Dituturkan Pingkan, setidaknya ada lima nih, Bun:
1. Konflik dalam hubungan
2. Ketidakpuasan dalam pernikahan
3. Ketidakseimbangan pendidikan, di mana salah satu memiliki pendidikan yang jauh lebih tinggi dari pasangannya, contohnya suami SD dan istri S1.
4. Tekanan ekonomi.
5. Ketidakseimbangan kekuasaan dalam hubungan.
Menurut Pingkan, ketidakseimbangan kekuasaan dalam hubungan inilah yang paling menonjol.
"Ketidakseimbangan kekuasaan dalam hubungan di mana salah satu pihak, biasanya laki-laki, dianggap lebih berkuasa, memegang keuangan, dan keputusan dalam keluarga," tambahnya.
Sedangkan di level komunitas atau masyarakat, sambung Pingkan, yang sering kali menyumbang kasus kekerasan dalam rumah tangga antara lain norma yang memandang gender secara tidak seimbang, misalnya dianggap wajar jika laki-laki lebih dominan. Selain itu kemiskinan dan penegakkan hukum yang kurang kuat.
(Nurvita Indarini)