Jakarta -
#dearRiver,
Konon, salah satu momen horor dalam manajemen rumah tangga adalah ketika
pembantu pamit mudik, tanpa kejelasan akan balik lagi bekerja atau tidak setelah lebaran. Ada kawan bercerita, ia sedikit syok ketika melihat pembantunya berkemas untuk mudik.
"Dia memang nggak bilang akan mudik selamanya, tapi dia nggak menyisakan satu pun bajunya di lemari. Wah, saya mikir, ini pasti enggak balik lagi nih," katanya.
Jangankan tidak balik, berjanji akan balik pun tetap saja menyisakan kebingungan. Ada beberapa keluarga yang sangat tergantung pada
asisten rumah tangga (ART). Ketika peran itu hilang sejenak, mereka jadi timpang. Skenario penyelamatan pun harus segera disiapkan. Solusi instannya adalah mempekerjakan ART infal atau pengganti.
Biasanya ART infal ini lebih mahal bayarannya. Tentu saja karena mereka harus bekerja di saat orang lain malah mudik. Di masa-masa demikian, eksistensi pembantu tiba-tiba jadi sangat krusial. Terutama bagi keluarga kecil yang suami dan istri bekerja di luar rumah. Di masa ditinggal mudik pembantu seperti saat ini, baru terasa betapa ART adalah faktor penting dalam keluarga.
Di sisi lain, beberapa orang dengan mental jahat masih memperlakukan ART-nya dengan semena-mena hanya karena merasa sudah menggaji. Itu sebabnya, kita masih sering mendengar ada ART disiksa karena dianggap tidak becus bekerja. Yang terbaru adalah kasus Eka Febriyanti, pembantu di Bali yang disiram air mendidih oleh majikannya pada pertengahan Mei lalu. Majikan-majikan seperti itu jelas berupaya melanggengkan perbudakan modern.
Ilustrasi asisten rumah tangga/ Foto: istock |
Meski demikian, ada tren menarik belakangan, bahwa relasi antara pemberi kerja dan ART (termasuk
babysitter atau
nanny) bukan lagi relasi majikan dan pesuruh melainkan relasi profesional. Dalam hubungan itu, ada transaksi ekonomi dan psikologis yang saling menguntungkan. Pembantu atau pengasuh anak bukan lagi pekerjaan subordinat dengan keterampilan minim.
Jo Frost, bisa jadi adalah pengasuh anak atau
nanny paling terkenal di seluruh dunia. Saking terkenalnya, dia biasa mengasuh anak lintas negara. Klien
nanny asal London ini tersebar di Inggris dan Amerika Serikat. Jo sudah menulis setidaknya 6 buku tentang cara mengasuh anak. Di negaranya, ia bahkan punya acara televisi sendiri bernama Supernanny UK.
Membaca tentang Jo Frost, Ayah jadi teringat pada beberapa ART yang bekerja di rumah kerabat kita. Ada yang sudah puluhan tahun, dan sudah seperti keluarga sendiri. Tak terbayangkan bagaimana mereka merelakan masa-masa emas dalam hidupnya, membiarkan anaknya di kampung sementara ia sendiri mengasuh anak orang lain di kota sampai besar. Kadang ada keluarga yang cukup visioner, mencoba memutuskan "rantai kemiskinan" itu. Ada yang memberi beasiswa bagi anak-anak pembantunya. Ada juga teman ibumu yang menyekolahkan pembantunya sampai perguruan tinggi.
"Saya ikhlas kalau dia enggak lagi bekerja pada kami setelah sekolahnya beres. Setidaknya nanti dia biasa punya pekerjaan yang lebih baik. Masa mau jadi pembantu terus," begitu alasan kawan itu. Mulia sekali. Ia tak berhitung untung rugi.
Begitulah sedikit cerita tentang ART, Nak, yang sebenarnya Ayah tidak punya otoritas untuk menceritakannya kepadamu. Karena kita tidak pernah punya
Asisten Rumah Tangga, baik pembantu atau
babysitter. Tanpa mengecilkan peran keluarga besar kita, dari sejak kamu lahir sampai punya adik, semua kami berusaha urus sendiri. Ibumu, dengan bantuan dan supervisi dari member senior dalam keluarga, alhamdulillah bisa
meng-handle kalian berdua plus pekerjaan rumah tangga kita.
Lagipula, keluarga kita mungkin memang belum pantas pakai
ART. Ayah kadang masih sering bekoar-koar menyuarakan peningkatan kesejahteraan buruh, menuntut pemerintah menaikkan UMR. Nanti kalau misalnya pakai jasa ART, belum tentu Ayah bisa menggaji mereka sesuai UMR. Atau yang paling berat, melakukan seperti yang Rasulullah anjurkan terhadap orang yang berkhidmat pada kita. Memberi mereka pakaian seperti yang kita pakai, dan menyendok nasi dari tempat yang sama dengan yang kita makan.
(rap/rap)