Jakarta -
Gempa bumi dahsyat jadi kenangan tak terlepaskan dari ingatan Nh Dini, semasa akhir tinggal di Kota Yogyakarta. Pagi itu, 27 Mei 2006, Nh Dini merasakan kepanikan saudara-saudaranya di daerah lain.
Mereka mencemaskan nasib Nh Dini, termasuk putranya, Pierre Louis Padang Coffin. Padang, begitu Nh Dini memanggilnya. Berulangkali dia menelepon sang ibu tetapi gagal. Ternyata, menara antene Indosat di kawasan Yogyakarta mengalami kerusakan.
"
Maman! Comment vas-tu? Nous sommes tres in-quiets!" suara Padang menyapa sang ibu dalam Bahasa Prancis.
Ya, setelah seminggu lebih sinyal telepon menghilang di Yogyakarta, Nh Dini akhirnya lega bisa mendengar suara sang anak. Kata novelis kelahiran Semarang, 29 Februari 1936 ini, antara anak dan orangtua saling menyapa dengan aku-kau sudah biasa dalam budaya Prancis.
Setelah itu, ia pun berturut-turut menerima panggilan telepon dari saudara-saudara dan teman yang peduli terhadap kondisinya. Ia sangat bersyukur kepada Tuhan, masih banyak orang yang menunjukkan cinta kasih dan perhatian besar terhadapnya.
Gencar pemberitaan resmi, yang tersebar di media elektronik ataupun cetak, tentu menimbulkan kepanikan bagi semua orang di penjuru negeri. Gempa berkekuatan 5,9 pada skala Richter selama nyaris 60 detik itu juga menyisakan berbagai cerita.
Cerita Bu YemBu Yem adalah perempuan yang setiap hari datang ke tempat tinggal Nh Dini, untuk membersihkan rumah dan halaman, juga mencuci pakaian dua atau tiga hari sekali. Bu Yem bercerita, kakak lelakinya yang berusia hampir 70 tahun menjadi korban gempa.
Saat gempa terjadi, kakak Bu Yem sedang di sumur belakang rumah. Rumah yang bangunannya belum selesai, sekitar 10 persen lagi. Tanah berguncang sehingga tumpukan papan dan kayu di dekat sumur terlepas dari tali pengikat.
Kakak Bu Yem tertimpa, konon ujung salah satu kayu yang besar dan berat itu memukul kepalanya. Menurut surat keterangan dokter, kakak Bu Yem meninggal seketika.
"Tuhan sungguh Maha Kuasa. Dia sungguh Maha Bisa. Dia Yang ber-Wenang dan memiliki kemampuan mencipta atau kebalikannya, memusnahkan yang sudah hadir menjadi tiada," tulis Nh Dini dalam buku
Gunung Ungaran: Lerep di Lerengnya, Banyumanik di Kakinya.
 Nh Dini semasa hidup/ Foto: Silvia Galikano/CNN |
Setelah kematian kakak Bu Yem, omongan orang sekampung tak bisa ditahan. Beredar keusilan ditambah imajinasi yang mungkin berlebihan, terdengar mengusik dan semakin menyedihkan keluarga kakak Bu Yem.
Ada yang berujar, "Pak Anu dihukum Tuhan karena lebih mementingkan membangun rumah daripada naik Haji."
Yang lain bahkan berucap, "Jelas Rasulullah tersinggung karena amanah Beliau naik Haji dilecehkan."
Kematian bagi Nh DiniNh Dini menulis, kematian yang tidak datang di tempat tidur selalu digunjingkan orang. Seseorang meninggal dalam kebakaran dahsyat, atau kecelakaan di jalan atau di mana pun, selalu mendorong orang berpikir negatif.
Praduga buruk dan penuh dosa selalu 'dituduhkan' pada korban kecelakaan pesawat terbang, atau jenis musibah lain. Padahal, jika orang sungguh-sungguh beriman, menurut Nh Dini, pasti memercayai takdir, garis nasib semua makhluk di bumi ini.
"Ibu kami selalu mengulangi perkataannya bahwa takdir manusia tidak selalu lurus, juga tidak semuanya mulus," tulis novelis yang wafat di usia 82 tahun pada 4 Desember 2018.
Ya, tepat setahun lalu, Nh Dini meninggal dunia setelah mengalami kecelakaan di lalu lintas. Ia sempat dilarikan ke Rumah Sakit Elisabeth, Semarang, sebelum mengembuskan napas terakhir sekira pukul 16.00 WIB.
Meski sudah tiada, karya-karya pemilik nama lengkap
Nurhayati Sri Handini Siti Nukatin ini tetap dikenang. Novel
Gunung Ungaran: Lerep di Lerengnya, Banyumanik di Kakinya adalah karya ke-15 sekaligus goresan terakhirnya.
Buat Bunda yang ingin melihat keseruan liburan keluarga Raffi Ahmad, klik banner di bawah ini ya.
Simak juga cerita Juliana Moechtar tentang mimpi sang suami, Herman 'Seventeen' sebelum meninggal, dalam video berikut:
[Gambas:Video Haibunda]
(muf/muf)