Terpopuler
Aktifkan notifikasi untuk dapat info terkini, Bun!
Bunda dapat menonaktifkan kapanpun melalui pengaturan browser.
Nanti saja
Aktifkan

moms-life

Kisah Nissa, Wanita Garut Diapresiasi PBB karena Dirikan Pesantren Ekologi

Annisa A   |   HaiBunda

Selasa, 08 Mar 2022 08:15 WIB

Nissa Wargadipura, Pendiri Pesantren Ekologi Ath Thaariq
Nissa Wargadipura, Pendiri Pesantren Ekologi Ath Thaariq / Foto: Dok. Instagram @nissa_wargadipura

Hari Perempuan Internasional diperingati setiap tanggal 8 Maret. Pada tahun ini, PBB menetapkan tema Gender Equality Today for a Sustainable Tomorrow untuk menyerukan aksi pelestarian lingkungan oleh perempuan dan demi perempuan.

Wanita dan anak perempuan menjadi golongan terbesar yang mengalami dampak krisis iklim, Bunda. Hal ini meningkatkan ketidaksetaraan gender serta menempatkan kehidupan dan mata pencaharian perempuan dalam risiko.

Perempuan seringkali tak bisa mendapatkan bahan pangan berkualitas karena memiliki sedikit akses ke sumber daya alam. Banyak perempuan tak menyadari dari mana sumber makanan yang mereka konsumsi. Hal ini dapat berakibat ke tubuh kita sendiri, Bunda.

Nisya Saadah Wargadipura, seorang warga asal Garut, Jawa Barat, merasakan dampak besar dari bahan pangan yang dikonsumsi terhadap kesehatan tubuhnya. Hal itu dia rasakan ketika sedang mengandung anak ketiga.

Wanita yang akrab disapa Nissa ini mengalami kesulitan saat hendak melahirkan secara normal. Pengalaman yang sangat personal itu membuka mata Nissa terhadap pengaruh bahan pangan yang dikonsumsi oleh perempuan.

"Banyak perempuan Indonesia tidak bisa lahir secara normal karena masalah persalinan. Hal itu tidak mampu dilakukan karena konsumsi sehari-hari perempuan Indonesia sangat di luar ekspektasi hidup sehat," kata Nissa kepada HaiBunda, Senin (7/3/22).

"Tubuh perempuan butuh banyak sekali nutrisi dan vitamin, namun kita tidak tahu dari mana asal nasi, sayur, dan buah yang kita konsumsi dan ditanam dengan cara apa. Ditambah lagi perubahan iklim membuat petani panik sehingga pestisida diperbanyak," sambungnya.

Banner WNI Ukraina

Tak hanya sumber pangan nabati, sumber pangan hewani juga memiliki pengaruh kuat terhadap kesehatan tubuh. Hewan ternak pada umumnya dibesarkan dengan memakai hormon tertentu agar cepat besar. Hormon tersebut, papar Nissa, dapat ikut terkonsumsi oleh manusia.

Sumber pangan bukan hanya menjadi satu-satunya persoalan, Bunda. Menurut Nissa, masalah ini cukup mempersulit para perempuan dari kalangan ekonomi menengah ke bawah.

"Kalau ekonominya rendah, ibu hamil bisa-bisa cuma makan nasi dan mi saja. Bagaimana mau mengejan? Sedangkan kita yang menengah ke atas juga kurang bervariasi, paling hanya tahu tempe dengan sayur kangkung atau sayur sop," ujarnya.

Berkaca dari pengalaman yang dialaminya sendiri, Nissa bertekad untuk mendidik anak-anak di desanya agar memiliki wawasan di bidang ekologi. Nissa merangkul anak-anak muda untuk mempelajari ilmu tersebut di pesantren yang ia dirikan bersama sang suami, Ibang Lukmanurdin.

Mereka membangun Pesantren Ekologi Ath Thaariq pada 2008 silam di Kampung Cimurugul, Kelurahan Sukagalih, Kecamatan Tarogong Kidul, Kabupaten Garut, Jawa Barat. Pesantren itu berdiri di tengah sawah agar para santri dapat langsung berinteraksi dengan alam.

Penasaran seperti apa pesantren ekologi milik Nissa dan apa pengaruhnya terhadap lingkungan? Simak di halaman berikutnya yuk, Bunda.

Saksikan juga video tentang kisah sukses petani milenial yang bercocok tanam di masa pandemi:

[Gambas:Video Haibunda]


KEGIATAN PARA SANTRI ATH THAARIQ

Para Santri di Pesantren Ekologi Ath Thaariq

Para Santri di Pesantren Ekologi Ath Thaariq / Foto: Dok. Instagram @pp_ekologiaththaariq

Nissa Wargadipura telah menjalankan pesantren ekologi Ath Thaariq bersama suaminya lebih dari satu dekade. Tak seperti pesantren biasa, para santri tidak cuma mendapatkan ilmu keagamaan di tempat ini.

Pesantren Ath Thaariq juga menerapkan pendidikan berbasis kajian Teologi Ekologi dan Pertanian berbasis pemulihan ekologi. Selain mengaji, para santri juga diajarkan untuk hidup bersama dan mengelola lingkungan alam di sekitarnya.

Menurut Nissa, saat ini kurikulum di pesantren rata-rata hanya berfokus pada ajaran konsep hubungan manusia dengan Allah (Hablum Minallah) dan manusia dengan sesama manusia (Hablum Minannas).

"Kita tahu bahwa mayoritas penduduk Indonesia beragama Islam, tapi mengapa kerusakan ekologinya sangat tinggi? Ternyata paradigma keagamaan tidak dibicarakan sepenuhnya. Mereka tidak mengajarkan konsep Hablum Minal Alam, hubungan manusia dengan alam. Ternyata selama ini manusia masih mengesampingkan alam," tutur Nissa.

Wanita yang juga merupakan pendiri Serikat Petani Pasundan itu berupaya membentuk santri yang tidak hanya cerdas secara akademis dan memegang tinggi kaidah Islam, namun juga menghargai lingkungan yang diciptakan oleh Allah SWT, Bunda.

Para santri dididik sedemikian rupa untuk mengikuti aktivitas yang berhubungan dengan alam, mulai dari berkebun, bertani, hingga mengolah apa yang telah mereka kembangkan di lingkungan pesantren.

Santri yang belajar di Pesantren Ekologi Ath Thaariq sudah terbiasa terjun ke sawah dan perkebunan untuk bercocok tanam. Mereka juga dibiasakan untuk tidak mengusik hewan yang hidup di sekitar pesantren. Semua proses dijalankan secara tradisional untuk mempertahankan nilai alaminya, Bunda.

"Kita ajarkan untuk tidak membunuh ular, membiarkan sarang binatang, kepompong tidak harus dibantai dengan pestisida supaya tumbuh kupu-kupu cantik dan membuahkan benih yang bagus. Sistem kebun kami penyerbukan terbuka, semuanya tradisional dan alami," papar Nissa.

Saat ini Pesantren Ekologi Ath Thaariq memiliki 30 santri yang sebagian besar berasal dari penduduk sekitar. Selain itu, ada pula santri yang tidak menginap di pesantren dan datang dalam rombongan belajar sekitar 5-30 orang per gelombang.

Para santri terdiri dari siswa dan siswi SMP hingga mahasiswa. Setidaknya, ada lebih dari 750 orang yang pernah belajar di Pesantren Ekologi Ath Thaariq ini, Bunda.

"Saya dan Kyai jadi pengajar utama, lalu diturunkan ke anak mahasiswa sekitar sini untuk mendidik anak SMP dan SMA," ucapnya.

Berkat didikan tersebut, Pesantren Ath Thaariq melahirkan para santri yang mampu mengelola lingkungan dengan baik. Baca di halaman berikutnya, Bunda.

PARA SANTRI YANG MANDIRI

Nissa Wargadipura, Pendiri Pesantren Ekologi Ath Thaariq

Nissa Wargadipura, Pendiri Pesantren Ekologi Ath Thaariq / Foto: Dok. Instagram @nissa_wargadipura

Pesantren Ekologi Ath Thaariq tidak hanya menanamkan nilai keagamaan dan ekologi pada santri mereka. Para santri ini diharapkan mampu memenuhi kebutuhan hidup mereka dengan mengandalkan alam.

Tak sedikit yang sudah pandai menghasilkan uang dengan mengolah sayur, buah, dan aneka tanaman yang telah mereka besarkan. Bahkan menurut Nissa, para santri tersebut tidak mengalami kesulitan di masa pandemi.

"Di musim pandemi ketika semua orang tidak bisa keluar, anak santri saya ternyata bisa hidup tanpa kerepotan dan mampu bergerak dengan baik. Bahkan banyak yang membangun wirausaha selama pandemi berbasis lingkungan setempat," ungkap Nissa.

Wanita berusia 50 tahun ini berharap agar pesantrennya semakin besar dan bisa membangun pesantren serupa di seluruh Indonesia. Menurut Nissa, kesiapan anak muda dalam menghadapi perubahan iklim akan memberi dampak besar pada ketersediaan bahan pangan pada masa-masa sulit.

"Anak-anak ini diajarkan untuk siap menghadapi situasi perubahan iklim dan pandemi, dengan berbasis pada kelokalan. Ketika panen sedang sulit, cuaca sedang buruk, banyak petani memakai banyak pupuk kimiawi. Tapi kita tetap pakai yang alami dan terus mengembangkan benih lokal sehingga produksi pesantren tetap stabil ketika kondisi cabai kemarin sempat naik harganya," papar Nissa.

Pertanian dan kebun di Pesantren Ekologi Ath Thaariq tidak hanya dipenuhi dengan sayur-mayur. Mereka juga memiliki biodiversitas yang beragam hingga tanaman buah, tanaman pangan, kacang-kacangan, herbal, rempah-rempah, hingga aneka bunga, Bunda.

Aktivis kelahiran Garut, 23 Februari 1972 itu sudah mendapatkan sederet anugerah dari Indonesia dan luar negeri. Belum lama ini, ia juga mendapat apresiasi dari Organisasi Pangan dan Pertanian (FAO) PBB.

Tak hanya berfokus pada para santri, Nissa dan suaminya juga mendidik ketiga anak mereka dengan pendekatan yang sama. Ketiga anak Nissa mampu hidup berdampingan dengan alam tanpa merusak apa yang telah diberikan oleh Sang Pencipta.

"Kami berusaha mendekatkan anak kepada alam. Jadi kami terbiasa melibatkan ketiga anak kami untuk terus berkebun. Tidak hanya bekerja, tetapi penting untuk mengenal tanaman di sekitar mereka dan juga mampu mengolahnya," tuturnya.


(anm/som)
Loading...

TOPIK TERKAIT

HIGHLIGHT

Temukan lebih banyak tentang
Fase Bunda