Terpopuler
Aktifkan notifikasi untuk dapat info terkini, Bun!
Bunda dapat menonaktifkan kapanpun melalui pengaturan browser.
Nanti saja
Aktifkan

moms-life

Kisah Simalakama RA Kartini; Sembunyikan Status Ibu demi Selamatkan Wajah Ayah

Zika Zakiya   |   HaiBunda

Sabtu, 23 Apr 2022 06:02 WIB

RA Kartini dan suami
Foto: RA Kartini dan suami (Foto: Istimewa)

Ingatkah Bunda bahwa tanggal 21 April selalu diperingati sebagai Hari Kartini? Tidak sembarang negara ini menunjuk RA Kartini sebagai sosok yang harus dihormati sehingga harus dijadikan sebuah hari khusus.

Kartini diketahui sebagai revolusioner dalam mendobrak batas kaum perempuan yang terkekang pada masanya. Perlu diingat bahwa pada masa Kartini hidup (1879 - 1904) perempuan feodal dan golongan menengah dilarang ke luar rumah ketika menginjak usia tertentu. Sebaliknya, perempuan rakyat jelata justru diperbolehkan keluar rumah tapi hanya untuk membantu di sawah, ladang, atau di pasar.

Mengutip perkataan Ir.Soekarno,Kartini adalah orang pertama dalam sejarah bangsa Indonesia yang menutup zaman tengah, zaman feodalisme Pribumi yang "sakitan".Kartini menjadi pionir dalam menggodok aspirasi kaum perempuan yang hasilnya bisa kita nikmati sampai sekarang, Bun. 

Banner Tanda Janin LaparFoto: HaiBunda/ Novita Rizki

Namun, begitu sadarkah Bunda sedikit sekali terdapat literatur dan sumber yang menyebut Ibunda dari RA Kartini?

Dalam buku R.A.Kartini Biografi Singkat 1879- 1904 karya Imron Rosyadi memang disebutkan bahwa Kartini lahir dari ibu bernama M.A Ngasirah --anak dari Nyai Hajjah Siti Aminah dan Kyai Haji Madirono. Kedua orang disebut terakhir ini adalah kaum terpandang Islam di wilayah Jepara. Sedangkan Ayah Kartini sudah sering disebut dalam ragam literatur yaitu Bupati Jepara, Raden Mas Adipati Ario Sosroningrat. Sayangnya, Bun peraturan kolonial Belanda kala itu menyebut bahwa kaum ningrat haruslah menikah dengan sesamanya.

"Karena Ngasirah bukan kaum bangsawan, maka Sosroningrat pada 1875 menikah lagi dengan Raden Ayu Muryam yang masih keturunan raja-raja Madura. Istri kedua Sosroningrat inilah yang kemudian menjadi garwa padmi (istri pertama) dan Ngasirah menjadi garwa ampil (selir dalam istilah KBBI -Red)," demikian tulis Imron dalam buku tersebut.

Status kedua ibu ini akhirnya membuat Kartini tidak boleh diasuh oleh ibu kandungnya sendiri, Bun. Bahkan peraturan feodal dengan jelas menyebut bahwa Kartini tidak boleh memanggil 'Ibu' kepada perempuan yang melahirkannya. Kartini harus memanggil Ngasirah dengan sebutan 'Yu', sebaliknya Ngasirah memanggil Kartini selaku anak kandungnya sebagai 'Ndoro'.

Secara umum, Kartini diasuh oleh dua orang Ibu. Ditambah dengan bantuan seorang emban. Kartini pun sebenarnya mengenal ibu kandungnya, hanya saja status dan peraturan ketat membuatnya tak punya hubungan yang luwes dengan Ngasirah.

Mengapa tanggal 21 April diperingati sebagai Hari Kartini? Jawabannya  karena 21 April merupakan hari kelahiran Raden Ayu Kartini (RA Kartini).Ilustrasi peringatan Hari Kartini/ Foto: Agung Mardika

Bentuk keluarga yang penuh kekangan ini akhirnya membuat sudut pandang Kartini kritis dalam hubungan pernikahan istri dan suami. Hanya saja saat itu Kartini tidak berani mengeluarkan pemikiran tersebut karena rasa sayang kepada Ayahanda.

Hal ini dituangkan Pramoedya Ananta Toer dalam buku Panggil Aku Kartini Saja. "Kartini tidak pernah menyebut-nyebut ibu kandungnya. Apakah sebabnya? Padahal Kartini adalah seseorang yang jujur dan berani, tidak mungkin ia menyembunyikan kebenaran tentang asal-usul ibu kandungnya? Ataukah untuk melindungi nama ayahnya dari ejekan orang luar, Kartini harus menyembunyikannya?" tulis Pramoedya yang menyusun buku tersebut berdasarkan surat-menyurat Kartini dengan sahabat asal Belanda, Estella Zeehandelaar.

Apakah yang disebut buah simalakama: dimakan, ibu mati; tidak dimakan, ayah mati?

Lihat isi surat Kartini mengenai kecintaanya pada Ayahanda di halaman selanjutnya, Bun. 


Kartini Melindungi Status Ibu Kandung

Museum RA Kartini Jepara

Foto: Dian Utoro Aji/detikcom

Dugaan awal Pramoedya mengenai Kartini yang menyayangi amat sangat sang Ayah berakar dari surat yang tertera untuk Zeehandelaar di 23 Agustus 1900. Bunyinya seperti ini, Bun:

Kasihan Ayaku tercinta, ia telah begitu banyak menanggung dan hidup ini masih jua timpakaan kekecewaan-kekecewaan menyedihkan pula kepadanya. Stella, Ayah tiada mempunyai sesuatu terkecuali anak-anaknya, kami inilah segala-galanya baginya, kegembiraannya, penghiburku. Aku mencintai kebebasanku, o, dialah segala-galanya yang kumiliki, dan nasib saudari-saudariku sangat meminta perhatianku; aku rela membantu mereka kuat-kuat, dan siap sedia menyerahkan apapun korban yang dipintanya agar dapat memperbaiki nasib mereka. Aku pandang menjadi kebahagiaan hidup, bila dapat dan boleh menyerahkan diri seluruhnya buat pekerjaan ini. Namun, lebih baik dari semua itu seluruhnya ialah Ayahku.”

Surat ini berkelanjutan di 11 Oktober 1901 dengan kurang lebih pernyataan sayang kepada Ayah. Namun, di satu sisi Kartini masih berusaha menjalankan nilai-nilai yang mulai kuat tertanam dalam dirinya.

“Kewajibanku sebagai anak tidak boleh aku kurangi, tapi pun tidak kewajiban-kewajibanku terhadap diriku sendiri harus aku tunaikan, terutama sekali tidak kalau pabila perjuangan itu bukan saja berarti kebahagiaan sendiri, tapi pun berguna bagi yang lain-lain. Soalnya sekarang adalah memenuhi dua tugas besar yang bertentangan satu dengan yang lain, dan itu sedapat mungkin harus diserasikan. Pemecahan masalah ini ialah, bahwa untuk sementara aku membaktikan diri kepada Ayahku…”.

Pramoedya sebagai pengumpul surat dan penafsirnya menyebut bahwa terlihat dalam tulisan ini Kartini sudah memendam konflik nilai. Kartini tidak setuju dengan paham poligami dan aturan feodal yang melilit erat di dalamnya. Namun, ia tidak bisa tak menyayangi Ayah kandungnya.

Museum RA Kartini JeparaMuseum RA Kartini Jepara/ Foto: Dian Utoro Aji/detikcom

“Kartini tidak menyebut-nyebut ibu kandungnya terhadap sahabat penanya, tidaklah bisa dikatakan suatu penilaian sosial terhadap si ibu. Tapi justru mengandung motif moral yang tinggi. Tanpa menyebut ibu kandungnya, dia bisa selamatkan Ayahnya dari persoalan poligami,” tulis Pramoedya.

Selain itu, tambah Pramoedya, Kartini juga menghindari ibu kandungnya dari berbagai kerugian negatif. Bahkan ia bisa disebut berhasil dengan tidak semakin menyulitkan kedudukan ibunya sendiri.

Ternyata tinggi betul nilai kasih sayang Kartini kepada kedua orang tuanya, Bun. Ia melakukannya dengan menekan beberapa nilai prinsipil dan pada akhirnya mencoba menyelamatkan wajah keduanya. Semoga harkat cinta kasih ini bisa menjadi inspirasi untuk Bunda dan Si Kecil ya. Selamat Hari Kartini, Bun.


(ziz/ziz)
Loading...

TOPIK TERKAIT

HIGHLIGHT

Temukan lebih banyak tentang
Fase Bunda