Terpopuler
Aktifkan notifikasi untuk dapat info terkini, Bun!
Bunda dapat menonaktifkan kapanpun melalui pengaturan browser.
Nanti saja
Aktifkan

moms-life

Inspiratif! Waitatiri Mahasiswi S2 Harvard Bernama Unik Punya Misi untuk Anak Indonesia

Annisa A   |   HaiBunda

Kamis, 28 Mar 2024 08:00 WIB

Waitatiri, diaspora Indonesia yang lulus S2 di Harvard
Inspiratif! Waitatiri Mahasiswi S2 Harvard Bernama Unik Punya Misi untuk Anak Indonesia/ Foto: Instagram @waitatiri

Dibutuhkan banyak pertimbangan untuk melanjutkan kuliah S2. Oleh karena itu, tak sedikit yang memulai program magister beberapa tahun setelah lulus S1.

Salah satu yang melanjutkan program studi S2 adalah Waitatiri, mahasiswi Indonesia yang menimba ilmu di luar negeri. Perempuan yang akrab disapa Wai ini memulai S2 setelah 6 tahun lulus S1.

Wai menyelesaikan S1 Program Studi Jerman di Universitas Indonesia pada 2016. Setelah lulus, fokus utama Wai saat itu adalah bekerja.

Pada saat itu, Wai belum menaruh minat pada S2 karena belum dapat menentukan bidang apa yang akan ia tekuni. Ia pun mengisi waktu dengan mencari pengalaman di berbagai tempat kerja.

Selama 6 tahun, Wai bekerja di berbagai perusahaan dan mengambil pekerjaan mulai dari full-time, part-time, hingga freelance.

"Bidangnya kebanyakan di creative marketing, penulisan, dan pengajaran. Lulus kuliah aku kerja full-time di bidang creative marketing sambil part-time jadi guru bahasa Jerman dan penulis freelance," cerita Waitatiri kepada HaiBunda belum lama ini.

Menurut Wai, memilih jurusan S2 membutuhkan banyak sekali pertimbangan. Ia tidak berani mengambil keputusan sembarangan karena hal itu akan menentukan nasib masa depan.

"Aku pikir rasanya S2 tuh enggak bisa asal pilih atau 'sedapatnya' karena sudah pasti belajarnya lebih mendalam. Aku merasa masih butuh waktu untuk mencari tahu apa ketertarikan dan passion aku," ucapnya.

Tak hanya itu, Wai juga termotivasi untuk bekerja demi menghasilkan uang. Sebagai anak pertama, ia ingin membantu orang tua dan adik-adik di rumah.

Perjalanan karier Waitatiri berjalan lancar hingga datangnya pandemi. Kala itu, keluarganya mengalami kesulitan, terutama sang adik yang tidak memiliki perangkat untuk mengikuti Pembelajaran Jarak Jauh (PJJ).

"Aku lihat adik-adikku kesulitan ikut PJJ karena belum punya HP dan di rumah gak ada komputer atau laptop selain yang aku pakai buat kerja sehari-hari. Jadi untuk sekolah adikku pinjam HP ibuku yang juga tidak mumpuni untuk Zoom," kata Wai.

Meski pada akhirnya Wai berhasil menyediakan gadget untuk mereka, ia yakin bahwa ada banyak anak-anak sekolah lain yang kesulitan dan belum menemukan jalan keluar.

"Akhirnya aku mulai cari tahu dan ternyata benar, di Jakarta saja banyak adik-adik yang terpaksa putus sekolah karena tidak punya akses ke PJJ," kata Wai.

Hal itu membuat Wai menemukan tujuan hidupnya, Bunda. Demi membantu anak-anak sekolah di masa pandemi, Wai menggarap program Ponsel Untuk Sekolah dengan melakukan donasi ponsel dan paket data.

"Akhirnya aku menginisiasikan Ponsel untuk Sekolah, di mana aku mengumpulkan donasi dari teman-teman dan orang terdekat untuk menyediakan HP dan paket internet gratis bagi adik-adik yang kesulitan mengakses PJJ. Alhamdulillah dalam kurang lebih satu bulan pengumpulan dana, kami berhasil menyediakan HP dan paket internet gratis untuk 20 anak," papar Wai.

"Aku ingat salah satu ibu yang anaknya terpaksa putus sekolah bilang kurang lebih begini, 'Buat orang kayak kita, harus milih mbak duitnya buat sekolah apa buat makan, ya daripada enggak makan, mau enggak mau berhenti sekolah'. Dari situ aku langsung terpantik, ingin banget bisa kontribusi menyediakan pembelajaran informal gratis, seperti dari buku, TV show, dan film," imbuhnya.

Waitatiri yang semula tak mengetahui apa tujuan hidupnya, bertekad mendedikasikan sisa hidupnya untuk memperjuangkan pendidikan gratis dan mudah diakses anak-anak Indonesia.

Wai juga berusaha memperjuangkan ruang belajar yang aman bagi anak-anak dan bebas dari segala bentuk kekerasan, termasuk bullying, Bunda.

Dalam meraih tujuan hidupnya, Wai memutuskan untuk meneruskan kuliah S2. Ia berminat untuk mencari kampus sesuai bidang yang dia minati, yaitu pendidikan informal.

"Aku pun menemukan jurusan Learning Design, Innovation, and Technology (LDIT) di Harvard Graduate School of Education yang secara kurikulum sesuai dengan tujuanku. Karena merasa klop, aku memutuskan untuk daftar hanya ke satu kampus saja. Lalu aku cari tahu apa saja persyaratan dan dokumen yang perlu aku lengkapi," ia bercerita.

Bagaimana cara Wai berhasil masuk kampus idamannya? Baca kelanjutan kisahnya di halaman setelah ini, Bunda.

Bagi Bunda yang mau sharing soal parenting dan bisa dapat banyak giveaway, yuk join komunitas HaiBunda Squad. Daftar klik di SINI. Gratis!

Simak juga video tentang kisah Maura Munaf, adik Sherina yang sukses memenangkan kompetisi di AS:


MASUK HARVARD LEWAT BEASISWA

Waitatiri, diaspora Indonesia yang lulus S2 di Harvard

Inspiratif! Waitatiri Mahasiswi S2 Harvard Bernama Unik Punya Misi untuk Anak Indonesia/ Foto: Instagram @waitatiri

Wai yang pada saat itu masih bekerja harus membagi waktunya untuk mengasah kemampuan bahasa Inggris, menulis Statement of Purpose, dan mengurus dokumen. Ia juga berencana untuk mendaftar beasiswa.

"Setelah akhirnya diterima di Harvard, aku baru mendaftar beasiswa LPDP. Karena dokumen yang dibutuhkan tidak jauh berbeda dengan dokumen untuk daftar kuliah, jadi persiapannya lebih mudah. Aku cuma fokus mempersiapkan esai kontribusi dan latihan wawancara. Alhamdulillah juga, aku berhasil lolos seleksi beasiswa LPDP," ungkapnya.

Kuliah S2 di Harvard menjadi pengalaman pertama Waitatiri dalam merantau ke luar negeri. Ia sempat mengalami panik saat berusaha menyesuaikan diri di Amerika Serikat.

"Aku sering banget nangis malam-malam karena takut, takut kalau ada apa-apa atau butuh pertolongan aku enggak punya siapa-siapa yang bisa aku andalkan. Mau explore sekitar juga jadi takut, padahal enggak ada apa-apa," ucapnya.

Banner Resep Ibu Sisca

Tak hanya itu, Wai memiliki ketakutan tersendiri untuk memulai kuliah. Ia merasa tidak terbiasa dengan proses belajar setelah 6 tahun lulus S1.

Beruntung, Wai mulai berkenalan dengan komunitas sesama mahasiswa Indonesia di sana. Ia merasa seperti memiliki keluarga baru. Wai juga memiliki bekal ilmu yang ia dapatkan sebelum memulai S2.

"Lumayan terbantu karena sebelum lanjut S2, aku beberapa kali ikut short course online, jadi kayak kuliah mini tapi online. Awal-awal takut untuk banyak partisipasi di kelas, masih observasi dulu, tapi cuma seminggu dua minggu, habis itu udah bisa mengikuti seperti biasa," paparnya.

Pada 2023, Wai menyelesaikan S2 hanya dalam waktu setahun. Prestasi itu ia pakai sebagai bekal untuk melanjutkan pekerjaannya di bidang marketing dan menggarap program sosial yang baru.

Selain Ponsel untuk Sekolah, Wai kemudian membuat gerakan baru di bidang pendidikan informal. Kali ini ia berfokus pada penekanan literasi, Bunda.

"Setahun terakhir ini menjalankan Buku Buat Semua, gerakan non profit berbasis komunitas di mana aku mengajak para penulis dan ilustrator untuk sama-sama membuat buku anak yang kemudian didistribusikan gratis dalam bentuk e-book maupun cetak," bebernya.

"Aku berharap kontribusiku bisa terus berkembang dan mencakup skala yang semakin besar. Aamiin," tutur Wai.


(anm)
Loading...

TOPIK TERKAIT

HIGHLIGHT

Temukan lebih banyak tentang
Fase Bunda