Jakarta -
Memutuskan sesuatu terkadang nggak gampang. Karena itu beberapa orang butuh waktu, mempertimbangkan berbagai hal sebelum mengambil keputusan. Selain itu, perlu disadari atas keputusan yang diambil ada konsekuensi yang menyertai
Nah, hal ini disadari benar oleh CEO Hijup, Diajeng Lestari. Karena itu dia pun sejak dini membiasakan memberikan pilihan-pilihan untuk
anaknya. Dengan begitu anak akan mempertimbangkan mana yang akan dipilih dan apa konsekuensi dari pilihannya.
"Bisa dari setelah mandi pakai baju yang mana. Juga mainan apa yang akan dia mainkan saat itu. Jadi anak nggak terbiasa dipilihkan.
Anak akan merasa ikut bertanggung jawab atas keputusannya memilih sesuatu," tutur Ajeng, panggilan akrabnya, beberapa waktu lalu.
Wajar ya, Bun, kalau anak banyak maunya. Awalnya memutuskan ingin memainkan mainan A, tapi kemudian nggak lama ingin mainan yang lainnya, itu wajar kok. Karena kata Ajeng yang paling penting adalah menumbuhkan mindset pentingnya untuk nggak selalu dipilihkan orang lain, pemahaman bahwa kita berhak mengambil keputusan.
"Sejak anak bisa berkomunikasi kita bisa kasih pilihan-piihan sehingga anak bisa belajar decide. Kalau terus diarahin, nantinya anak nggak tahu apa pilihannya, nggak bisa memutuskan," sambung Ajeng.
Ajeng mencontohkan hal sederhana untuk memberikan pilihan pada anak misalnya mau minum apa, mau warna apa, mau lewat mana, sikat gigi warna apa, dan sebagainya. Dari sini anak juga bisa belajar konsekuensi, misalnya kalau kebanyakan makan cokelat maka akan jadi batuk, maka nantinya dia tidak akan memilih makan cokelat terlalu banyak.
Yang nggak kalah penting, kita juga perlu, Bun, menciptakan tantangan untuk anak. Misalnya saja anak memberi tahu bahwa dirinya berhasil mewarnai gambar badut sampai selesai. Nah, kita bisa menantangnya dengan mengatakan, "Wah bagus nih, mewarnainya selesai. Tapi biar baju badutnya lebih bagus, bisa ditambahin apa ya?".
"Jadi anak nggak berpuas diri, pelan-pelan menambah kira-kira dirinya bisa apa lagi," tambah Ajeng.
Jean Ispa, peneliti sekaligus profesor dari University of Missouri mengatakan orang tua yang terlalu banyak memberikan kontrol terhadap anaknya, misalnya ketika bermain dapat menimbulkan perasaan negatif pada anak. Anak akan merasa ruang geraknya terbatas.
"Perasaan negatif dapat membuat anak kesulitan mengembangkan kreativitasnya. Ibu yang selalu memberikan batasan ini-itu pada anaknya cenderung memiliki anak yang kurang kreatif dibandingkan dengan ibu yang sedikit melonggarkan aturan ketika anak bermain," ujar Ispa dikutip dari Health India.
Selain itu, Bun, penting juga untuk mengembangkan potensi anak. Ajeng meyakini di masa depan saat anak-anak kita dewasa, di dunia kerja yang dibutuhkan bukan orang yang pas dengan kompetensi yang dibutuhkan semata, tapi lebih dicari orang yang berpotensi.
"Seseorang boleh jadi dokter, tapi juga bisa adaptasi ke IT, dan sebagainya," sambung ibu dua anak ini.
Tantangan menjadi ibu dewasa ini memang cukup berat. Kadang beberapa ibu ada yang merasa waktunya bersama anak begitu sedikit karena punya kesibukan yang lain. Belum lagi muncul perasaan bersalah jika harus menitipkan pengasuhan anak pada orang lain, sementara si ibu baru bisa pulang menjelang malam. Belum lagi jika saat libur pun waktunya terkikis untuk hal lain yang nggak bisa ditinggalkan.
"Sekolah utama anak adalah ibunya. Yang nentuin anak dapat kurikulum apa itu ibunya. Meski kita mungkin punya kesibukan, tapi yuk kita siapkan kurikulumnya," ajak Ajeng.
(Nurvita Indarini)