Jakarta -
Melihat anak
ngerjain PR dan nggak selesai-selesai bikin gemas ya, Bun. Alhasil, kita kerjain aja deh PR-nya si kecil.
Hal tersebut bisa jadi sepele dan nggak sadar sering dilakukan orang tua. Padahal ini kesalahan yang bisa dianggap sepele, tapi kalau terus-terusan dilakukan bisa berefek nggak bagus buat anak.
"Itu dilakukan karena orang tua merasa bahwa yang diinginkan adalah hasilnya bukan prosesnya yang dihargai," ungkap Ajeng Raviando, psikolog anak dan keluarga.
Memang ada beberapa orang tua yang berorientasi pada hasil yang dicapai anak. Namun, mindset kayak gitu harus diubah nih, Bun. Ajeng bilang kalau anak terus-terusan dibantu dan PR-nya selalu dikerjakan orang tuanya, kapan mereka bisa belajar mandiri? Ingat, Bun, sebagai orang tua kita hanya perlu mendampingi bukan membantu mengerjakan PR anak.
"Sesekali boleh sih dibantu. Misal, anak nanya cara kerjain soalnya gimana, nah di situ bisa kok kita kasih jeda dulu sebelum langsung jawab. Karena kalau kita lama jawab, akhirnya anak pasti akan cari tahu sendiri jawabannya," papar Ajeng di sela-sela acara Kuasai 'Homework Resque' dengan Printer HP Deskjet Ink Advantage di Tanamera Coffee, Jakarta Selatan, beberapa waktu lalu.
Sebenarnya anak nanya ke orang tuanya karena dia ingin buru-buru selesai
mengerjakan PR. Tapi, kalau kita berikan waktu anak dia punya kesempatan menjalani proses sampai akhirnya mencapai tujuannya yaitu mengerjakan PR.
"Guru kasih PR itu untuk mengukur kemampuan anak sampai mana. Kalau kita yang jawab dan semuanya benar, jadi yang diukur kompetensinya kita dong bukan anak?" tutur wanita yang sudah menjadi psikolog 15 tahun ini.
Ajeng pun memberi beberapa tips nih, Bun, buat orang tua ketika membantu anak mengerjakan PR.
1. Interogasi Vs Observasi
Lebih baik observasi anak daripada menginterogasi. Foto: Joko Supriyanto |
Daripada menginterogasi anak ketika pulang sekolah dengan berbagai macam pertanyaan dari mulai ada PR nggak, tadi ulangan bisa nggak dan sebagainya, lebih baik kita observasi dulu, gimana sih keadaan anak.
"Ya kan kita bisa lihat dia capekkah, dia lesukah, atau misal dia bawa-bawa karton dari sekolah ya berarti kan dia ada tugas dari sekolah tuh. Kita bisa tanya nanti, yang penting kita jamu aja dulu anak," tutur Ajeng.
2. Nasihat Vs Refleksi Pengalaman Dibanding menasihati anak yang gagal ujian, kalah dalam pertandingan, dan dapat nilai jelek mending kita semangatin dia, bahkan dengan sesederhana menceritakan kisah kita.
"Kita bisa bilang,'Dulu nih, Nak, mama juga begitu. Pernah dapat nilai jelek terus dihukum nenekmu'. Itu akan lebih memotivasi anak," kata Ajeng.
3. Menolak Perasaan Vs EmpatiBunda, kita nggak bisa lho menyamakan tugas-tugas atau PR kita zaman dulu dengan berbagai tugas anak di zaman sekarang. Karena itu, kita juga nggak bisa menyamakan cara kerja kita dulu dengan cara mengerjakan mereka sekarang.
"Tugas anak-anak sekarang dituntut untuk lebih kreatif. Jadi, ada baiknya daripada 'Ah mama nggak gitu dulu kerjain PR'. Lebih baik kita sama-sama belajar sama si kecil," ungkap Ajeng
4. Perintah Vs Pilihan dan Antisipasi
Berikan anak pilihan dalam mengerjakan tugas. Foto: Hasan Al Habsy |
Daripada memerintah anak yang notabene belum tentu mau nurut lebih baik beri anak pilihan dan juga jelaskan konsekuensi dari pilihannya.
"Misal, anak mau
kerjain PR sekarang apa nanti sebelum tidur. Kalau sekarang, sisa waktu anak udah enak dipakai leha-leha. Kalau nanti malam, suka ngantuk. Sesimpel itu, kalau udah kasih pilihan kasih tahu juga konsekuensinya biar anak belajar tanggung jawab," papar Ajeng.
Yuk, Bun, kalau mau efektif mengasuh anak 'jaman now', kita ubah cara komunikasi ke mereka. Apalagi kita nggak bisa nyamain dan mengandalkan pengalaman kita dulu untuk mendidik anak di masa sekarang.
(rdn)