Jakarta -
Pernikahan di usia dini bukanlah hal baru di Indonesia. Padahal, pernikahan di usia yang terlalu dini punya dampak buat si anak.
Beberapa waktu lalu, dilansir detikNews seorang siswi SD yang masih berusia 12 tahun asal Sinjai, Sulawesi Selatan akan menikah dengan pria 21 tahun. Namun untungnya pernikahan tersebut dibatalkan lantaran tak ada satupun penghulu yang mau menikahkan mereka karena takut menyalahi hukum.
Terkait pernikahan di usia dini, menurut psikolog Novita Tandry MPsych, ada beberapa dampak yang tentunya akan merugikan anak-anak yang melakukannya.
"Hal tersebut terjadi karena nggak ada ilmu parenting dari orang tua, maunya instan, maunya cepat menikahkan anak sehingga pada akhirnya tanggung jawab pada anaknya lepas. Jadi beban secara finansial akan lepas," kata Novita Tandry MPsych saat ditemui usai acara Diskusi Media 'Perkawinan Anak' di Millenium Hotel, Kebon Sirih, Senin (6/8/2018).
Akan tetapi, Novita bilang orang tua tersebut lupa bahwa anaknya yang akan menjadi ibu nanti melahirkan anak dan akan mewariskan pernikahan anak usia dini kepada keturunannya. Akhirnya Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (PPPA) sulit menghentikan perkawinan anak.
"Dampaknya, anak akan merasa dibuang, bahwa dia merasa menjadi perempuan yang nggak sama haknya dengan laki-laki. Di sisi lain, masih ada budaya patriarki kan, masih dianggap bahwa perempuan itu di urutan kedua setelah laki-laki dalam meneruskan keturunan. 'Ah perempuan mah nggak usahlah bekerja, toh juga melahirkan dan ngurus pekerjaan di dapur'. Jadi masih ada anggapan seperti, laki-laki yang diprioritaskan. Sehingga perempuan jadi komoditas bagi orang tua," tutur Novita.
Untuk mengatasi rasa trauma anak yang menikah dini kata Novita susah banget, karena rasa percaya diri anak sudah hilang. Untuk mengembalikan kepercayaan diri anak lagi sangat sulit. Akhirnya, menurut Novita, ada dua kemungkinan antara anak itu menikah lagi dan melakukan hal yang sama atau trauma untuk menikah lagi.
"Konseling satu dua bulan nggak cukup, perlu bertahun-tahun. Kita aja diputus cinta perempuan, misal diputus lewat WhatsApp aja untuk percaya lagi dengan yang lain aja susah. Apalagi yang sudah menikah, dikawinkan dengan orang yang lebih tua," imbuh Novita.
Bagaimana kalau anak sendiri yang meminta menikah tanpa paksaan? Sebenarnya kembali lagi ke pola asuh, Bun. Anak kan dari kecil menyerap apa saja termasuk omongan dari lingkungan keluarganya.
"Kalau di usia dini itu istilahnya absorbent mind, menyerap segala suatu tanpa difilter. Kalau orang tua terus repetisi atau mengulang dan bahas tentang perkawinan, tentunya anak akan belajar dari repetisi. Misalnya, 'Nanti kalau sudah menstruasi kamu kawin aja ya Nak, biar ekonomi kita terbantu ya. Kamu kan sayang dan hormat dengan orang tua'. Kita nggak bisa pungkiri bahwa budaya itu masih ada. Secara nggak sadar, kita mempersiapkan diri untuk membalas budi," lanjut Novita.
Jadi kalau anak mau
menikah tanpa paksaan, hal itu karena tanpa disadari terbentuk sedari kecil yang terus diceritakan oleh orang tua tentang menikah di usia yang sangat muda. Jadi, untuk mencegahnya lingkungan juga sangat berpengaruh. Stigma-stigma di lingkungan perlu dihilangkan dan tentunya harus bertahap.
"Memang yang masih menjadi masalah saat ini terbatasnya teknologi di pelosok Indonesia, jadi budaya masih mengambil peran dalam mengatur setiap individu dan keluarga," kata Novita.
(rdn)