Jakarta -
Bunda masih ragu memberikan vaksin bagi si kecil? Sebaiknya pikir ulang lagi ya, Bunda. Sebab
wabah campak kian mengkhawatirkan. Saat ini saja, wabah campak sudah terjadi di berbagai belahan dunia, termasuk di Amerika Serikat (AS), Eropa, Filipina, Tunisia, dan Thailand.
Hal ini tak mengherankan jika melihat data terbaru yang dirilis oleh Dana Anak-Anak Perserikatan Bangsa-Bangsa (United Nations Children's Fund/UNICEF). UNICEF mencatat, lebih dari 20 juta anak di seluruh dunia tidak mendapatkan vaksin campak setiap tahunnya dalam kurun waktu delapan tahun terakhir.
"Virus campak akan selalu mencari anak-anak yang tidak mendapatkan vaksin," ujar Direktur Eksekutif UNICEF, Henrietta Fore seperti dikutip dari
Reuters.
Lebih detail, UNICEF melaporkan bahwa terdapat sekitar 169 juta anak tidak mendapatkan vaksin campak dosis pertama dalam kurun waktu 2010-2017 atau setara dengan rata-rata 21,1 juta anak per tahun. Akibatnya, angka infeksi campak di seluruh dunia meningkat empat kali lipat pada kuartal pertama 2019 dibandingkan periode yang sama pada 2018.
Mirisnya, pada tahun 2017, sebanyak 110.000 orang sudah meregang nyawa akibat campak dan sebagian besar adalah anak-anak. AS yang saat ini sedang mengalami wabah campak terbesar dalam 20 terakhir juga memiliki angka yang cukup tinggi dalam hal jumlah anak yang tidak divaksinasi. Di Negeri Paman Sam itu, lebih dari 2,5 juta anak tidak mendapatkan vaksin campak dosis pertama antara tahun 2010-2017. Disusul oleh Prancis dan Inggris dengan angka 600.000 dan 500.000 anak masing-masing.
Campak sendiri adalah penyakit yang tidak boleh dianggap sepele ya, Bunda. Campak sangat menular dan bisa menyebabkan kebutaan, tuli, kerusakan otak, bahkan kematian. Patut diingat, dua dosis vaksin campak sangat penting untuk melindungi anak-anak dan cakupan vaksin 95 persen juga diperlukan untuk 'imunitas kawanan' terhadap campak. Namun, sayangnya pemberian vaksin campak masih menemui banyak tantangan, seperti kurangnya akses, sistem kesehatan yang buruk, dan dalam beberapa kasus karena rasa takut dan skeptis terhadap vaksin.
 Infografis saat anak divaksin MR/ Foto: infografis |
Di Indonesia, Direktur Jenderal Pencegahan dan Pengendalian Penyakit (P2P), Kemenkes, dr. Anung Sugihantono, M.Kes mengatakan bahwa kampanye imunisasi campak-rubella dihentikan, tapi pelayanan imunisasinya tetap dilanjutkan. Keputusan tersebut berdasarkan rekomendasi sejumlah organisasi kedokteran seperti Ikatan Dokter Anak Indonesia (IDAI), dan Komisi Nasional Kejadian Ikutan Pasca Imunisasi (Komnas KIPI).
"
Statement kampanye campak dan rubella atas saran IDAI, Komnas KIPI, kita hentikan. Tapi layanan imunisasi untuk campak dan rubella tetap dilanjutkan sebagai bagian dari pelayanan," ucap Anung, seperti dikutip dari web
Kementerian Kesehatan.
Esensi dari rekomendasi tersebut adalah masuknya imunisasi campak-rubella ke kegiatan imunisasi rutin lengkap. Terkait belum tercapainya target imunisasi di luar Jawa, Anung menegaskan perlu menguatkan
surveilans penyakit yang Dapat Dicegah dengan Imunisasi (PD3I). Hasil cakupan di Jawa tampak menunjukkan kasus campak rubella menurun jauh setelah mencapai 100 persen pada 2017.
"Tapi untuk meningkatkan cakupan yang di luar Jawa,
surveilans PD3I harus ditingkatkan. Kami sekarang melakukan pemetaan risiko wilayah atau potensi wilayah yang perlu diwaspadai terjadinya PD3I. Variabelnya secara makro mencakup target imunisasi, kegiatan laporan
surveilans, dan pelaporan
surveilans pasif di RS," ujarnya.
Lebih lanjut Anung menjelaskan pelaporan pasif di RS bukan hanya soal cakupan, tapi soal Kejadian Ikutan Pasca Imunisasi (KIPI) di rumah sakit. Hal ini harus dicermati karena
congenital rubella syndrome misalnya, perlu perhatian dari beberapa dokter spesialis, yakni spesialis mata, THT, dan spesialis jantung untuk memastikan diagnosis bahwa seorang anak terkena
congenital rubella syndrome."Karena belum semua RS di tingkat kabupaten/kota mempunyai 3 spesialis ini, inilah yang jadi tantangan kami ke depan dalam mengamati atau meminimalkan kejadian yang tidak diinginkan karena anak tidak diimunisasi," tuturnya.
[Gambas:Video Haibunda]
(som/rdn)