Jakarta -
Salah satu ciri orang tua milenial adalah mudah cemas dan ingin
anak mendapatkan yang terbaik. Hal ini disampaikan oleh psikolog anak, Saskhya Aulia Prima dari Tiga Generasi. Terkait Penerimaan Peserta Didik Baru (PPDB) 2019, sebagian besar orang tua masih menginginkan anaknya masuk sekolah favorit.
Tak tanggung-tanggung, bahkan di sejumlah berita, orang tua memberikan protes tentang sistem zonasi karena tak bisa memasukkan anaknya ke sekolah favorit. Soal ini, Saskhya mengaku memang sampai sekarang sekolah favorit masih dinilai baik oleh orang tua.
"Sekolah favorit sekarang kan masih dinilai, memang kita ingin masukkan anak itu ke sekolah favorit, tapi kalau memang dia tidak punya kapasitas kognitif atau kecerdasan yang sesuai dengan sekolah itu. Dampaknya, anaknya harus usaha lebih keras," ujarnya kepada
HaiBunda.
Saskhya menambahkan, anak harus usaha lebih keras jika memang mau dan sesuai kapasitasnya. Saskhya menyarankan para orang tua untuk melihat range kemampuan anak.
"Kalau anaknya punya kemampuan rata-rata, bisa saja tapi belajarnya lebih keras. Beberapa teman lain, mungkin ada yang satu kali baca jelas tapi dia dua sampai lima kali baca jelas. Kalau dia mau enggak apa-apa asal kita mengenal kepribadian anaknya, diberitahu bahwa kita emang kerja lebih keras dan enggak boleh tengok kanan kiri," kata Saskhya.
Dampak Psikologis Anak Saat Dituntut Orang Tua Masuk Sekolah Favorit/ Foto: iStock |
Jadi sebenarnya
fine saja, Bun, asal kita punya kesepakatan sama anak. Di sekolah kan kompetitif teman-temannya, jadi beri pengertian pada anak belajar lebih banyak, lebih sering. Hal ini karena semua teman-temannya juga punya keinginan untuk berprestasi.
"
Make sure anaknya mau dan enggak stres, kalau stres anakya pasti
falling down kan. Jadi kalau anak mau oke saja, selama mereka bisa ikuti. Tapi kalau masuk akselerasi itu lain cerita, karena kelas akselerasi itu tingkatan kecerdasannya lebih tinggi dan disaring lebih detail lagi," tuturnya.
Apa lagi dampaknya jika meminta anak secara paksa masuk sekolah favorit? Menurut Saskhya, nantinya bila sudah masuk sekolah, kebanyakan mereka jadi merasa enggak bisa mengerjakan beberapa mata pelajaran.
"Misalnya kayak klienku datang, anak saya enggak bisa
ngerjain matematika sama sekali nih. Percaya diri kan jadi turun, karena merasa nilai yang dia dapat enggak lebih baik dari lainnya. Jadi dia sebenarnya enggak apa-apa belajarnya cuma kebawa stres," kata Saskhya.
Oleh karena itu, harus ada konsiderasi dari kedua belah pihak, kalau angka masuknya dan
behavior anak belajar enggak setekun untuk bisa masuk sekolah favorit, ya jangan dipaksakan.
"Sekolah soalnya sekarang udah kayak perusahaan. Bukan anaknya yang harus memiliki kemampuan, tapi
culture-nya harus fit sama anak kita. Sebenarnya anak pintar juga, cuma
culture sekolahnya enggak sesuai dengan dia maka bisa saja enggak
perform. Kita mesti lihat lagi sih sekolah ini kayak gimana," ujar Saskhya.
(aci/som)