Terpopuler
Aktifkan notifikasi untuk dapat info terkini, Bun!
Bunda dapat menonaktifkan kapanpun melalui pengaturan browser.
Nanti saja
Aktifkan

parenting

Cek Mitos dan Fakta Seputar Vaksin Anak di Masa Pandemi COVID-19 Yuk, Bun

Asri Ediyati   |   HaiBunda

Minggu, 01 Nov 2020 15:13 WIB

The doctor prepares the syringe with the cure for vaccination.
Cek Mitos dan Fakta Seputar Vaksin Anak di Masa Pandemi COVID-19 Yuk, Bun/ Foto: iStock
Jakarta -

Hingga saat ini, masih banyak mitos tentang vaksin yang beredar di masyarakat. Sayangnya gara-gara percaya mitos, masih ada masyarakat yang ragu membawa anaknya ke fasilitas kesehatan untuk vaksin. Semoga Bunda bukan salah satunya ya.

Dilansir laman resmi Satgas COVID-19, Windhi Kresnawati, dokter spesialis anak dari Yayasan Orangtua Peduli menyebutkan beredarnya mitos memang menjadi hambatan program vaksinasi sejak dahulu, Bunda. Menurutnya, ada beberapa mitos yang perlu diluruskan.

Apa saja mitos seputar vaksin anak yang beredar di masyarakat? Simak penjelasan dokter berikut ini:

1. Mitos: Penyakit infeksi bisa dihindari dengan gaya hidup sehat saja

Windhi mengatakan bahwa pola hidup sehat itu memang kebiasaan baik. Namun, faktanya ia mengingatkan, cara ini belum cukup ampuh untuk mencegah infeksi penyakit tertentu.

Fakta soal anggapan ini bisa Bunda lihat di Amerika Serikat. Saat ditemukan vaksin campak di AS pada 1963, penyakit ini berangsur-angsur hilang. Bahkan pada 1974, pemerintah AS menyatakan bahwa mereka bebas campak.

"Yang perlu digaris bawahi, pola dan gaya hidup warga AS sejak tahun 1963 hingga 1974 tidak ada perubahan. Artinya, peran terbesar atas hilangnya campak di AS adalah imunisasi atau vaksinasi. Bukan semata-mata gaya hidup yang sehat," ujarnya alam Webinar Komite Penanganan COVID-19 dan Pemulihan Ekonomi Nasional (KPCPEN), beberapa waktu lalu.

Kondisi ini kemudian mulai berubah saat di AS mulai muncul kelompok masyarakat yang meragukan vaksin MMR (campak, beguk, rubella). "Akibatnya, tahun 2018 Amerika Serikat kembali mengalami wabah campak. Ini disebabkan banyak pendatang dari negara lain yang tidak vaksin dan refuse vaksinasi tinggi," ujar Windhi.

2. Mitos: Anak yang diimunisasi tetap saja sakit

Windhi menjelaskan bahwa saat mengalami sakit, tingkat keparahan yang dialami pasien imunisasi sangat ringan. Anak-anak yang diimunisasi, bila sakit, akan terhindar dari kecacatan dan kematian.

"Dan jangan lupa, kalau Anda tidak diimunisasi dan Anda tidak sakit, berterimakasihlah kepada orang yang diimunisasi. Karena itulah herd immunity. Ketika kita berada di tengah orang-orang yang sehat, kita tidak terjangkit penyakit," ucap Windhi.

3. Mitos: Vaksin ada kandungan zat berbahaya

Windhi menegaskan bahwa hal ini mitos dan jelas keliru, Bun. Vaksin yang sudah diproduksi massal harus memenuhi syarat utama yaitu aman, efektif, stabil, dan efisien dari segi biaya. Artinya, vaksin bisa diproduksi secara massal itu sangat panjang prosesnya.

"Setelah dinyatakan aman, dipakai oleh masyarakat luas di bawah monitoring. Kalau negara kita di bawah BPOM," kata Windhi.

"Karena satu saja ada temuan efek samping yang tidak diinginkan itu bisa ditarik dan biasanya itu ketahuan di fase awal," ujarnya.

4. Mitos: Vaksin sebabkan autisme

Sebagai dokter spesialis anak, Windhi memastikan bahwa tidak ada kaitannya antara kandungan vaksin terhadap autisme pada anak, Bunda. Hal ini sudah terbukti pada penelitian mendalam dan panjang, bahkan hingga lebih dari 10 tahun.

Windhi mengatakan, Thimerosal merupakan salah satu kandungan vaksin yang sempat dituduh memicu autisme pada anak. Thimerosal ini berfungsi sebagai pengawet vaksin.

Amerika Serikat pernah menghapuskan kandungan thimerosal pada tahun 1999 karena takut bahwa kandungannya bisa memicu autisme. Tapi faktanya, kata Windhi, setelah thimerosal dihapuskan, angka autisme di Amerika Serikat tidak turun.

"Angka autis malah naik. Artinya tidak ada hubungan antara autis dengan thimerosal," papar Windhi.

Windhi mengingatkan Bunda agar tidak termakan hoaks yang beredar di internet karena vaksin tidak menyebabkan dan tidak ada hubungannya dengan autisme.

5. Mitos: Vaksin mengandung sel janin aborsi

Bunda pernah mendengar kabar ini? Windhi pun mengatakan kalau kabar ini adalah mitos. Ia menjelaskan, virus memang perlu inang berupa sel hidup untuk bisa bertahan dan berkembang biak. Misalnya, virus campak, rubella, polio, bahkan virus Corona memerlukan inang berupa sel hidup.

Nah, dalam pembuatan vaksin, virus memang akan menginfeksi sel hidup itu dan diproduksi berulang-ulang selama bertahun-tahun dengan meninggalkan sel awal. Sedangkan yang diambil sebagai komponen vaksin adalah bagian dari virus atau virusnya tersendiri.

"Jadi, kalau ada yang bilang ada sel janin yang digunakan, itu terjadi pada tahun 1960-an, di mana digunakan secara legal untuk membuat vaksin dan itu sekali saja proses yang terjadi," kata Windhi.

"Lantas apakah dalam vaksin ada sel janin? Jawabannya, hanya ada hasil produknya, yakni berupa virusnya saja," papar Windhi.

6. Mitos: Penyakit yang sudah ada vaksinnya, tak perlu vaksinasi lagi

Jangan salah kaprah dengan mitos ini ya, Bunda. Justru penyakit bisa timbul meski sudah ada vaksninya. Windhi menjelaskan bahwa banyak riset menunjukkan bahwa penurunan angka vaksinasi memicu kenaikan penyakit spesifik yang dilawan vaksin tersebut.

"Polio sempat muncul kembali di Papua, padahal kita pernah dapat bendera bebas polio dari WHO. Campak rubella masih mengancam karena banyak hoaks tadi. Jadi hati-hati, kalau angka mulai turun dan kita hadapi wabah ini sangat menderita," jelas Windhi.

7. Halal-haram vaksin

Beberapa waktu lalu, vaksin sempat diperdebatkan oleh masyarakat Indonesia perihal halal dan haramnya. Bunda mengikuti perkembangannya?

Windhi menyampaikan bahwa isu ini hanya terjadi di Indonesia. Bahkan di Timur Tengah dengan negara berpenduduk mayoritas Muslim, pro kontra terhadap kehalalan vaksin tidak terjadi. Semua masyarakat dunia pun sepakat pentingnya vaksin.

"Dan peserta haji wajib divaksin. Makanya saya bilang lucu, kenapa di kita doang. Jadi pemicunya ada Trypsin yang dipinjam dari enzim babi untuk hasilkan panen yang baik. Supaya dapat komponen vaksin," kata Windhi.

Windhi menjelaskan bahwa masyarakat perlu memahami bahwa tidak ada bagian babi yang masuk dalam vaksin. Ini karena enzim tersebut akan dimurnikan kembali sehingga komponen perantara tidak ikut masuk pada vaksin.

"Ketika dalam proses pembuatannya bersinggungan dengan enzim dari babi, pada produksi akhirnya hanya virus yang masuk dalam vaksin," katanya.

Semoga informasi ini bisa menjadi pencerahan bagi kita semua ya, Bunda. Agar tidak salah kaprah lagi dan termakan mitos-mitos yang beredar.

Jangan lupa juga untuk selalu #ingatpesanbunda atau #ingatpesanibu, untuk #pakaimasker, #jagajarak, dan #cucitanganpakaisabun. Sehingga nantinya virus COVID-19 cepat berakhir dengan penerapan disiplin kesehatan di atas.

Simak juga efek vaksin melalui penjelasan dokter berikut ini:

[Gambas:Video Haibunda]



(aci/rap)

TOPIK TERKAIT

HIGHLIGHT

Temukan lebih banyak tentang
Fase Bunda