Terpopuler
Aktifkan notifikasi untuk dapat info terkini, Bun!
Bunda dapat menonaktifkan kapanpun melalui pengaturan browser.
Nanti saja
Aktifkan

parenting

Menjelaskan Makna Kematian pada Anak yang Berduka karena Pandemi

Annisa Karnesyia   |   HaiBunda

Kamis, 08 Jul 2021 19:05 WIB

Anak menangis
Menjelaskan Kematian pada Anak yang Berduka karena Pandemi/ Foto: iStock

Lonjakan kasus COVID-19 terus terjadi di Indonesia selama beberapa pekan terakhir. Bahkan, hal itu diikuti dengan tingginya angka kematian korban COVID-19. Tak sedikit anak yang harus kehilangan orang tua atau saudaranya karena pandemi ini, Bunda.

Bagi anak yang masih kecil, tentu tidak mudah menjelaskan arti kematian. Apalagi bila anak harus kehilangan anggota keluarga tercinta secara berturut-turut dan mendadak.

Menurut Psikolog Anak dan Keluarga, Sani Budiantini Hermawan, kematian bersifat abstrak sehingga sulit untuk dijelaskan kepada anak-anak yang masih kecil. Meski begitu, orang terdekat tetap perlu memberikan penjelasan sederhana yang mudah dimengerti anak ya.

"Memberikan penjelasan kematian pada anak memang tidak mudah, karena ini sifatnya abstrak," kata Sani kepada HaiBunda, Kamis (8/7/21).

"Namun kita bisa memberikan penjelasan secara sederhana bahwa orang yang dikasihi sudah bersama Tuhan di alam yang berbeda," sambungnya.

Bunda dapat menjelaskan ke si Kecil bahwa dia masih bisa terhubung dengan orang yang sudah meninggal kok. Caranya dengan berdoa atau mendoakan orang tersebut.

"Kita masih bisa berhubungan melalui doa atau mendoakannya, sehingga anak merasa tetap terhubung dengan orang-orang terdekat yang sudah meninggal," ujar Sani.

Cara lain untuk menguatkan anak adalah dengan mendampinginya. Selama masa berkabung, Bunda sebagai keluarga atau kerabat terdekat bisa tetap mengajak anak untuk beraktivitas seperti biasa.

Jangan lupa untuk memberikan ruang pada anak untuk melakukan hal yang dia suka. Tapi, Bunda juga enggak boleh memaksa mereka untuk berhenti bersedih ya.

"Mental anak memang perlu dikuatkan salah satunya dengan mendampingi dan mengajak mereka untuk melakukan yang mereka suka. Jadi berikan mereka ruang untuk bersedih, tapi sekaligus menemani mereka dan tetap mengajak mereka berkegiatan, walaupun belum stabil karena masih ada kesedihan tadi," ungkap Sani.

Pada anak yang sudah lebih dewasa, Bunda tetap perlu memberikan pendampingan ya. Simak penjelasannya di halaman berikutnya.

Simak juga 6 panduan isolasi mandiri pada anak, di video berikut:

[Gambas:Video Haibunda]


DENGARKAN ANAK CURHAT DAN JANGAN ACUHKAN RASA SEDIHNYA

Anak menangis

Menjelaskan Kematian pada Anak yang Berduka karena Pandemi/ Foto: iStock

Kehilangan orang terdekat secara mendadak karena pandemi tentu enggak mudah. Dukungan dari anggota keluarga atau kerabat sangat dibutuhkan, Bunda.

Sani mengatakan, keluarga tidak boleh mengacuhkan rasa sedih yang dialami anak saat berduka. Apabila anak didampingi dan didengarkan kesedihannya, maka dia akan merasa tenang.

"Kita perlu membangun support system di mana keluarga atau orang terdekat senantiasa mendampingi atau mau mendengarkan curhat dan rasa sedihnya. Jangan pernah di-ignore atau denied karena perasaan dan kesedihan mereka pasti valid," ujar Sani.

"Paling penting adalah mau mendengar cerita mereka dan memvalidasi bahwa perasaan itu memang yang dirasakan. Kalau sudah tervalidasi, itu justru menenangkan perasaannya," sambungnya.

Sani juga menyampaikan, orang terdekat jangan pula mengatakan pada anak bahwa menangis atau sedih itu sama seperti tidak beragama. Kita perlu paham bahwa hal ini berbeda, karena sedih itu adalah gejala normal yang terjadi ketika seseorang kehilangan dan butuh waktu untuk move on.

Fase berkabung yang terberat ketika kehilangan orang tercinta biasanya dimulai 1 sampai 3 bulan. Di bulan ke-6, kebanyakan orang sudah bisa menerimanya, meski kesedihan masih bisa berlangsung sampai 1 hingga 3 tahun.

"Biasanya 1 sampai 3 bulan pertama adalah yang terberat, terkadang susah tidur, tidak mau makan, tidak mau melakukan kegiatan apa pun, dan kadang memiliki ciri seperti orang depresi. Saat sudah seperti itu, dianjurkan ke psikolog atau psikiatri untuk mediasi," ujar Sani.


(ank)
Loading...

TOPIK TERKAIT

HIGHLIGHT

Temukan lebih banyak tentang
Fase Bunda