HaiBunda

PARENTING

Ini yang Terjadi pada Otak Anak Jika Mengalami Trauma dan Stres

Nadhifa Fitrina   |   HaiBunda

Rabu, 09 Jul 2025 09:20 WIB
Ilustrasi/Foto: Getty Images/Jatuporn Tansirimas
Jakarta -

Tidak semua luka bisa dilihat mata. Luka di lutut atau tangan mungkin mudah dikenali, tetapi bagaimana dengan luka di hati dan pikirannya?

Anak-anak yang hidup dalam lingkungan tidak aman, bisa saja menyimpan trauma dalam hidupnya. Sayangnya, luka semacam ini sering kali tak terlihat.

Trauma bisa muncul dalam berbagai bentuk. Ada anak yang menjadi sangat tenang dan patuh. Namun, ada pula yang justru tak bisa diam, marah-marah, atau impulsif.


Si Kecil jarang sekali mengungkapkan isi hati karena terbiasa mengamati dan bertahan. Di sinilah dampak trauma bisa mulai menumpuk, tanpa kita sadari.

Maka, mengenali trauma sejak dini sangat penting. Jika tidak, luka itu bisa terbawa hingga remaja, bahkan dewasa.

Kenali ciri-ciri trauma yang sering tertukar dengan ADHD

Secara klinis, gejala seperti emosi labil dan prestasi menurun sering dikaitkan dengan Attention Deficit Hyperactivity Disorder (ADHD). Namun, tahukah Bunda? Hal ini juga bisa jadi tanda trauma pada anak.

Trauma sering kali menyerupai gangguan lain seperti ADHD. Anak yang terlalu tenang atau sangat aktif bisa jadi sedang menyimpan luka emosional. 

Menurut para ahli, kuncinya ada pada konteks. Apakah perilaku anak muncul karena otaknya berkembang berbeda sejak awal atau karena ia sedang beradaptasi dengan rasa takut yang belum selesai?

"Anak-anak ini tidak punya konteks untuk meminta bantuan," kata profesor psikiatri dari Harvard Medical School dikutip dari Child Mind Institute, dr. Rappaport, Senin (07/07/2025).

Banyak anak dengan trauma juga mengalami Adverse Childhood Experiences (ACEs), seperti kekerasan atau kehilangan. Oleh karena itu, penting memahami latar belakang mereka sebelum memberi label.

"Mereka tidak punya contoh bahwa orang dewasa bisa mengenali kebutuhan mereka dan memberikan apa yang mereka perlukan," ujarnya.

Begini trauma mengubah otak anak yang sedang berkembang

Secara sederhana, otak Si Kecil bisa diibaratkan seperti buah persik. Bagian tengahnya, yaitu sistem limbik, berperan dalam rasa takut dan reaksi bertahan hidup.

Sementara itu, bagian luarnya, korteks prefrontal, yakni mengatur kemampuan berpikir, merencanakan, dan mengendalikan emosi. Dalam kondisi normal, kedua bagian ini bekerja seimbang.

Namun, saat anak mengalami stres berkepanjangan, otak masuk ke mode darurat. Energi fokus ke sistem limbik, membuat bagian berpikir jadi kurang aktif dan anak sulit mengontrol perilaku.

Gejala trauma pada anak yang sering terlihat sepele

Trauma bisa membuat otak anak sulit berfungsi secara normal lho, Bunda. Akibatnya, anak menunjukkan berbagai gejala, seperti:

  1. Mudah marah dan tersinggung.
  2. Bertindak impulsif atau agresif.
  3. Sulit fokus dan memperhatikan.
  4. Sering lupa atau sulit mengingat informasi.
  5. Menarik diri dari lingkungan sosial.
  6. Sulit mengikuti instruksi.
  7. Prestasi akademik menurun.

Cara mendampingi anak yang mengalami trauma

Berikut beberapa cara yang bisa dilakukan untuk mendampingi anak yang mengalami trauma seperti dikutip dari berbagai sumber:

1. Ciptakan suasana aman dan tenang

Anak perlu merasa lingkungan di sekitarnya bisa dipercaya. Jangan paksa anak untuk bercerita, cukup hadir dan tunjukkan bahwa Bunda peduli.

2. Dengarkan tanpa menyela

Biarkan anak mengekspresikan perasaannya dengan bebas. Tahan keinginan untuk langsung memberi nasihat atau menyalahkan.

3. Gunakan bahasa yang sederhana dan lembut

Pilih kata-kata yang mudah dimengerti. Nada suara yang tenang membuat Si Kecil lebih mudah merasa diterima.

4. Gunakan alat bantu visual untuk rutinitas

Jadwal bergambar atau instruksi visual membantu anak merasa lebih terarah dan tenang dalam keseharian.

5. Tunjukkan contoh nyata dalam mengatur emosi

Anak belajar dari melihat orang dewasa. Saat sedang kesal, tunjukkan bagaimana Bunda merespons dengan tenang dan tidak meledak.

6. Validasi emosi anak sebelum menegur perilakunya

Mengakui perasaan anak sebelum menegur perilakunya bisa membuat mereka merasa dimengerti. Hal ini membantu anak belajar menamai emosinya dan menyalurkan dengan cara yang lebih sehat.

"Saya bisa lihat kamu benar-benar marah karena Andrew mengambil spidol yang kamu inginkan," kata Rappaport.

7. Pahami bahwa perilaku buruk bisa jadi sinyal luka batin

Rappaport juga mengingatkan bahwa perilaku buruk anak sering kali berasal dari emosi yang belum tersampaikan dengan baik. Ia menekankan pentingnya melihat di balik perilaku anak, bukan hanya reaksi luarnya.

"Ketika seorang siswa berulah di kelas, guru sebaiknya mengenali bahwa perilaku itu adalah wujud dari perasaan yang kuat-meski disampaikan dengan cara yang salah," ujarnya.

8. Hindari hukuman keras sebagai respons pertama

Daripada langsung memberi skorsing, cari tahu akar dari perilakunya. Karena sering kali, perilaku buruk adalah cara anak menyampaikan rasa sakit yang tak terucap.

"Kalau kamu salah menebak, anak biasanya akan memperbaikinya," tambah dr. Rappaport.

9. Bangun kembali kepercayaan dan koneksi sosial

Dorong anak untuk menjalin kembali hubungan dengan teman dan aktivitas yang disukai. Koneksi sosial dapat membantu proses pemulihan dan membangun kembali rasa percaya diri anak.

10. Berikan waktu dan kesabaran tanpa syarat

Pemulihan dari trauma tidak instan. Anak butuh orang dewasa yang sabar dan tidak menyerah saat mereka berperilaku sulit. Dukungan yang konsisten dapat membuat anak merasa aman untuk mulai pulih perlahan.

Bagi Bunda yang mau sharing soal parenting dan bisa dapat banyak giveaway, yuk join komunitas HaiBunda Squad. Daftar klik di SINI. Gratis!

(ndf/fir)

Simak video di bawah ini, Bun:

Ternyata, ini Alasan Mengapa Bayi Memasukkan Benda ke Dalam Mulut

TOPIK TERKAIT

ARTIKEL TERKAIT

TERPOPULER

5 Potret Terbaru Aurel Hermansyah Sukses Diet, Kini Berat Badannya 49 Kg

Mom's Life Annisa Karnesyia

5 Potret Nova Anak Gracia Indri yang Keturunan Belanda, Wajahnya Disebut Seperti Boneka

Parenting Nadhifa Fitrina

Ternyata Putri Diana Punya Nama Samaran, Dipakai saat Jelang Nikah dengan Pangeran Charles

Mom's Life Annisa Karnesyia

Benarkah Minum Kopi saat Hamil Bikin Tubuh Anak Jadi Pendek?

Kehamilan Ajeng Pratiwi & Fauzan Julian Kurnia

Cerita Haru Ikke Nurjanah saat Putri Semata Wayangnya Akan Menikah, Beri Pesan Ini

Mom's Life Annisa Karnesyia

REKOMENDASI
PRODUK

TERBARU DARI HAIBUNDA

Hindari Ucapan "Gitu Aja Takut!" ke Anak, Ini Bahaya dan Kata Pengganti Terbaik Menurut Pakar

Ternyata Putri Diana Punya Nama Samaran, Dipakai saat Jelang Nikah dengan Pangeran Charles

Ternyata Paparan Cahaya ke Perut Bunda Bisa Cegah Kebutaan pada Janin

Benarkah Minum Kopi saat Hamil Bikin Tubuh Anak Jadi Pendek?

Thariq Halilintar Tanggapi Komentar Negatif Netizen soal Keputusan Tutupi Wajah Anak

FOTO

VIDEO

DETIK NETWORK