Jakarta -
Anak-anak memang polos dan lugu. Kepolosan anak dianggap bisa memberikan masukan yang bijak dan jujur. Karena pertimbangan inilah seorang anak berusia enam tahun diajak hakim untuk memutuskan kasus hukum ibunya.
Nah, kasus melibatkan anak enam tahun dalam putusan pengadilan ini terjadi di Providence, Rhode Island, Amerika Serikat. Cerita bermula saat seorang ibu memarkir mobilnya di trotoar. Karena perbuatannya ini, ia terkena denda sekitar Rp 1,3 juta. Lalu di ibu ini menolak membayar tiket tilangnya, jadi ia terkena denda lagi sebesar Rp 1,3 juta.
Dalam persidangan, hakim menegaskan dirinya bukan hanya menegakkan hukum, tapi bersikap adil saat memeriksa keadaan seseorang. Bahkan saat pengemudi salah dan melanggar peraturan jalan, dia mempertimbangkan fakta bahwa kita manusia bisa saja membuat kesalahan.
Ketika mendengar alasan ibu tersebut, Pak Hakim merasa ada indikasi
kebohongan. Selanjutnya hakim Frank Caprio memanggil Janice, anak perempuan pertama sang ibu, untuk membantunya mendengarkan alasan sang ibu sekaligus memutuskan hasilnya.
Baca juga: Sudahkah Kita Jadi Orang Tua yang Dipercaya Anak?Hakim memberikan beberapa pilihan yang ditawarkan ke Janice yaitu pertama, memberikan semua penalti ke sang ibu dan harus membayar Rp 4 juta. Pilihan kedua, mengabaikan penalti dan ibu hanya membayar Rp 1,3 juta. Sedangkan pilihan ketiga, si ibu mendapat potongan sehingga cukup membayar Rp 670 ribu. Sementara pilihan keempat, membiarkan ibu tersebut tidak membayar apapun.
"Saya menyerah, jadi apa yang akan kamu lakukan supaya adil? Berapa yang akan kamu tagihkan ke ibumu tentang persoalan ini?" tanya sang hakim.
Ternyata Janice memilih pilihan nomor tiga yaitu membiarkan sang ibu membayar Rp 670 ribu. Setelah mengetahui jawaban Janice, hakim malah bertanya apakah Janice sudah sarapan atau belum karena mereka berada di ruang sidang semenjak pukul 8 pagi sementara pengadilan sudah berjalan 1 jam setengah.
Akhirnya sang hakim membuat suatu perjanjian yaitu hakim membiarkan sang ibu tidak perlu membayar semuanya, tapi harus mengajak anak-anaknya sarapan. Namun itu jika sang anak menyetujui. Kalau tidak si ibu akan tetap membayar Rp 670 ribu. Cerita ini lantas berakhir dengan si ibu yang membelikan mereka sarapan.
Nah Bun, cerita sederhana seperti ini menyentil kita sebagai orang tua untuk jujur dan bertanggung jawab atas kesalahan yang diperbuat. Kadang karena merasa benar, kita mengabaikan tanggung jawab untuk hal-hal kecil. Yang nggak kalah penting, kita juga jangan sampai berbohong, karena anak akan mencontoh hal itu.
Suatu penelitian dilakukan Profesor Gail Heyman, dari University of California menyurvei 130 siswa dan orang tuanya tentang kebohongan yang dilakukan orang tua. Hasilnya sungguh mengejutkan. 80 Persen orang tua berbohong meskipun pada anaknya mereka sangat keras mendidik agar si kecil tidak pernah berbohong.
Profesor Heyman khawatir jika orang tua sering
berbohong malah akan membuat anak bingung ketika menempatkan diri dalam lingkungan sosialnya. Dikatakan dia, lebih baik orang tua memberikan penjelasan yang masuk akal sehingga mengajarkan anak juga untuk berpikir nalar. Jika orang tua selalu berbohong walaupun untuk kebaikan atau menjauhi masalah, anak mungkin tidak akan pernah belajar alasan sebenarnya untuk melakukan yang diminta orang tuanya.
"Jika Anda mengatakan kepada anak-anak bahwa berbohong adalah hal yang buruk, apa jadinya jika anak tahu telah dibohongi dia mungkin akan mulai meragukan keterangan yang diberikan orang tuanya dan berpikir 'Ah jangan-jangan ibu atau ayah sedang berbohong lagi', dan tentunya buruk jika anak sampai kehilangan kepercayaan ke orangtua," katanya.
[Gambas:Youtube]
(aml)