Terpopuler
Aktifkan notifikasi untuk dapat info terkini, Bun!
Bunda dapat menonaktifkan kapanpun melalui pengaturan browser.
Nanti saja
Aktifkan

parenting

7 Kesalahan Orang Tua yang Bisa Berdampak Buruk pada Anak

Melly Febrida   |   HaiBunda

Senin, 23 Jul 2018 08:05 WIB

Kesalahan orang tua ini serius lho, Bun, bisa menyakiti anak. Simak yuk, agar kita nggak menyakiti perasaan anak.
Foto: thinkstock
Sebagai orang tua tentu kita nggak luput dari kesalahan, Bun. Tak ada orang tua yang selalu benar. Tapi ada nih kesalahan orang tua yang bisa membahayakan emosional anak.

Terapis pernikahan dan keluarga berlisensi, Rabbi Dov Heller, M.A, mengatakan rekannya dalam kelas parenting pernah bilang bahwa semua orang tua membuat kesalahan. Hanya saja, beberapa orang tua membuat kesalahan lebih besar ketimbang yang lainnya.

Berikut tujuh kesalahan serius yang sering kali tidak sengaja dilakukan orang tua dan bisa berdampak buruk pada anak-anak menurut Rabbi, seperti dilansir laman Aish:



1. Bertengkar di Depan Anak

Foto: Thinkstock

Orang tua terkadang bertengkar karena berbagai hal. Tapi, kalau orang tua rutin bertengkar itu bisa merusak kesehatan emosional anak lho.

Apalagi kalau bertengkar di depan anak-anak, itu bisa menghancurkan keseimbangan emosional mereka. Dan ketika seorang anak dipaksa untuk menanggungnya sendiri tanpa dukungan atau bantuan dalam memprosesnya, itu bisa menjadi tak tertahankan.

Orang tua bertengkar di depan anak-anak memaksa mereka untuk menghadapi rasa sakit yang tidak diinginkan. Rabbi mengatakan 'aturan' saat orang tua bertengkar itu sederhana kok, yakni jangan sampai bertengkar di depan anak-anak. Kecuali kalau orang tua secara sadar memodelkan atau menunjukkan keterampilan pemecahan masalah dan menunjukkan tak ada permusuhan atau kemarahan satu sama lain.

Simak lagi kesalahan orang tua yang nggak sengaja menyakiti anak, Bun.

2. Tidak Mau Mendengarkan Anak

Foto: Istimewa


Tugas orang tua menyelaraskan emosional kita dengan anak-anak. Berdasarkan penelitian pada bayi selama 50 tahun menunjukkan jika kita bisa mengelola emosi secara konsisten, maka itu bisa membangun rasa percaya diri yang kuat pada anak. Berbeda kalau kita nggak konsisten, malah bisa menghancurkan harga diri anak.

Menurut Rabbi, ini artinya kita mendengarkan anak sebelum memberikan saran, mengoreksi, atau mendidiknya. Misalnya saja Bun, anak pulang dari sekolah sambil menangis dan marah, 'Saya benci sama Bu A. Dia jahat, besok kakak mau laporin ke kepala sekolah'.

Kalau kayak gini, tanggapan Bunda bagaimana? Mengoreksi dulu atau mendengarkan sampai usai? Langkah yang benar, kata Rabbi, adalah mendengarkan dengan benar sebagai respons pertama.

Respons yang sesuai mungkin terlihat seperti ini: 'Wah, kakak benar-benar marah ke Bu A ya. Kakak sangat marah sampai mau melaporkan ke kepala sekolah biar kakak merasa lebih baik. Bunda tahu, bunda juga merasakan hal itu. Bunda benar-benar penasaran ingin tahu apa yang membuat kakak sangat marah padanya. Apakah kakak ingin menceritakannya ke bunda sekarang? Bunda benar-benar ingin mendengarnya'.

Kalau kita mendengarkan perasaan seseorang, maka akan menghiburnya. Beda lagi kalau menolaknya Bun, ini akan melemahkan dan memperdalam rasa sakit.

Kata Rabbi, ketika orang tua menghargai perasaan anak-anak, pada waktu yang sama orang tua menghargai dan memperkuat kepribadian anak. Jadi, cobalah belajar mendengarkan. Kesejahteraan emosional anak tergantung pada cara kita mendengarkannya, Bun.

Kita ingin dipahami, tapi sudahkah kita berusaha memahami anak. Kesalahan ini pernahkah Bunda lakukan?

3. Tidak Memahami Anak

Foto: Thinkstock

Sekolah itu untuk mensosialisasikan dan mengajarkan informasi dengan cara yang homogen. Sedangkan rumah untuk membentuk dan mengaktualisasikan keunikan anak. Pekerjaan orang tua adalah membantu anaknya memahami dirinya sendiri.

Tapi, kesalahan orang tua terjadi ketika menekan seorang anak untuk tampil di sekolah agar dapat masuk ke perguruan tinggi yang baik. Padahal nggak setiap anak cocok untuk kuliah. Beberapa anak malah akan jauh lebih baik jika berbisnis.

Rabbi bercerita ada pria yang pernah bilang kepada dirinya bahwa ayahnya telah menyelamatkan hidupnya. Jadi semua saudaranya waktu itu memilih sekolah untuk menjadi seperti Rabbi, tapi dia tidak ingin mengikuti jejak saudaranya. Suatu hari, ayahnya berbicara kepadanya. Alih-alih mendorongnya sekolah, sang ayah malah menyarankan anaknya itu mengikuti kemauannya terjun ke dunia bisnis.

"Awalnya dia minder, merasa seperti gagal karena tidak mengikuti jalur ilmiah saudara-saudaranya. Tetapi ayahnya tulus, mencintai, dan membimbingnya untuk menjadi dirinya sendiri. Akhirnya dia menjadi orang kaya dan sangat terkenal karena kemurahan hatinya," papar Rabbi.

Karena itulah, Bun, Rabbi menyarankan agar orang tua mengenal anak-anaknya dan berkomunikasi agar membantu anak menemukan keunikannya.

4. Kasar Secara Verbal

Foto: Thinkstock

Berikut adalah 5 hal umum yang membuat orang tua bisa kasar secara verbal:

-Secara konstan mengkritik anak dan kurang mengarahkan.
-Membandingkan satu anak dengan yang lain.
-Memberikan nama ejekan.
-Menekan anak menjadi sukses.
-Tidak sabar, marah, dan mengamuk pada anak.

5. Orang Tua Berantem

Foto: Thinkstock

Orang tua yang tidak saling mencintai dan memiliki masalah perkawinan bisa menciptakan ketegangan di rumah, Bun. Anak-anak bisa merasakan ketegangan ini dan mengacaukan rasa keamanan dan kedamaian batin mereka.

Orang tua harus bertanggung jawab untuk mencoba menyelesaikan masalah mereka. "Tetapi terlalu banyak pasangan yang memiliki masalah serius tapi tidak melakukan apa-apa, sementara anak-anak mereka menderita," ucap Rabbi.

6. Menuruti Kemauan Anak

Foto: Istimewa

Anak-anak membutuhkan disiplin, Bun. Penelitian juga menunjukkan anak-anak ingin disiplin. Mereka mendambakan batas-batas dan yang bisa menahan mereka. Batasan itu memberikan anak-anak rasa aman, kenyamanan, dan perlindungan.

Contoh klasik untuk membiarkan anak-anak memegang kendali itu sewaktu tidur. Anak-anak sangat membutuhkan tidur. Anak-anak tidak mau didikte ketika tidur. Dan orang tua sering menyerah karena lebih nyaman dengan tidak berargumen dengan anak.

"Orang tua sering merasa buruk ketika anak-anak mereka menangis dan memohon untuk bersama mereka sampai tertidur. Ini tidak bagus untuk semua orang. Selain itu, kita memiliki hal-hal yang lebih baik untuk dilakukan pada malam hari daripada mengikuti anak-anak," tuturnya.

Oh ya Bun, detikhealth pernah menuliskan saat mendisiplinkan anak, sering kali orang tua merasa kesal dan marah. Padahal, marah berbeda dengan tegas.

Orang tua bisa memberi anak pesan tegas sebagai bentuk disiplin. Namun jika dilakukan sembari marah, anak malah akan merasa takut kepada orang tua, bukan menyesali kesalahannya.

7. Ayah dan Bunda Tidak Sejalan

Foto: Thinkstock

Orang tua harus sejalan ketika mengasuh anak. Ketika orang tua memiliki filosofi dan pendekatan yang berbeda, anak-anak akan memilih salah satu orang tua, ayah atau ibunya saja. Ini bisa jadi bermasalah ketika salah satu orang tua lebih permisif daripada yang lain.

Oleh karena itu, Rabbi mengimbau orang tua untuk sangat berhati-hati dengan tidak saling melemahkan dan membiarkan anak-anak memanfaatkan perbedaan ini.

Saat kita dan suami nggak sejalan, dalam jangka waktu lama justru akan menyakiti anak. Duh, jangan sampai ya, Bun.




(nwy)
Loading...

TOPIK TERKAIT

HIGHLIGHT

Temukan lebih banyak tentang
Fase Bunda