Terpopuler
Aktifkan notifikasi untuk dapat info terkini, Bun!
Bunda dapat menonaktifkan kapanpun melalui pengaturan browser.
Nanti saja
Aktifkan

trending

Tingginya KTD dan Aborsi, Dampak dari Kurang Informasi & Layanan Kesehatan Reproduksi

Asri Ediyati   |   HaiBunda

Selasa, 25 Aug 2020 08:26 WIB

Mother and child. Wooden figure on brown paper background. Pregnancy, abortion or adoption concept.
Tingginya KTD dan Aborsi, Dampak dari Kurang Informasi & Layanan Kesehatan Reproduksi/ Foto: Getty Images/iStockphoto/maurusone
Jakarta -

Bunda mungkin sudah pernah mendengar kasus praktik aborsi ilegal yang terjadi di Jakarta Pusat beberapa waktu lalu. Hasil pantauan Koalisi Kesehatan Seksual dan Reproduksi Indonesia (KSRI) dari Februari sampai dengan Agustus 2020 melalui media, ada 8 kasus yang berkaitan dengan aborsi.

Pada penggerebekan di Jakarta Pusat, Aparat Penegak Hukum (APH) memperkirakan 2 fasilitas kesehatan tersebut telah memberikan layanan aborsi sebanyak ribuan kali. KSRI menilai, dalam banyak kasus lainnya, APH telah mengkriminalisasi perempuan, pendamping, orang yang merujuk (pemberi informasi), para pemberi layanan dan petugas kesehatan seperti dokter spesialis kandungan, bidan, serta perawat.

Fakta ini justru menggambarkan dengan jelas bahwa kebutuhan akan layanan aborsi aman sangat tinggi, Bunda. KSRI mengatakan dengan mengkriminalisasi petugas kesehatan artinya negara telah menutup layanan aborsi aman dan mengarahkan perempuan untuk mengakses layanan aborsi tidak aman.

Layanan aborsi selama ini terstigmatisasi dan dianggap tindak kriminal. Padahal, layanan aborsi aman merupakan bagian dari pemenuhan Hak Kesehatan Seksual dan Reproduksi (HKSR) yang juga bagian dari Hak Asasi Manusia (HAM). Dalam HKSR, setiap perempuan mempunyai hak untuk bebas dari risiko kematian karena kehamilan.

"Lalainya negara dalam pemenuhan hak kesehatan reproduksi berdampak pada perempuan yang ingin mencapai kondisi sehat yang justru mengalami kriminalisasi, stigma, atau terpaksa mencari layanan yang membahayakan nyawa dan kesehatannya," ungkap KSRI dalam keterangan tertulis yang diterima HaiBunda, Selasa (25/8/2020).

Selain itu, minimnya informasi dan layanan kesehatan reproduksi yang komprehensif menjadi salah satu akar persoalan dari tingginya angka kehamilan tidak diinginkan/direncanakan (KTD) dan aborsi, Bunda.

KSRI menyayangkan bahwa tenaga kesehatan dan penyedia layanan yang diharapkan bisa menyelamatkan nyawa perempuan atau mengurangi risiko kematian justru harus bekerja di bawah bayang-bayang kriminalisasi.

"Kondisi ini bertentangan dengan Pasal 1 dalam UU No. 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan yang menyatakan kesehatan adalah keadaan sehat, baik secara fisik, mental, spiritual maupun sosial yang memungkinkan setiap orang untuk hidup produktif secara sosial dan ekonomis," tulis KSRI.

Dalam Profil Kesehatan (2015) Kemenkes menyebutkan bahwa aborsi tidak aman menambah Angka Kematian Ibu. Kasus induksi aborsi yang tidak aman telah menyumbang 4 persen kematian ibu di Indonesia (Sensus Penduduk, 2010). Selain kematian, aborsi tidak aman juga menyumbang tingginya angka morbiditas perempuan.

Menurut KSRI, Pemerintah Indonesia seharusnya lebih tanggap dengan fakta bahwa terdapat 2 juta kasus induksi aborsi setiap tahunnya (PPK UI, 2000) dan 49,4 persen upaya inisiasi aborsi dilakukan oleh diri sendiri (Riskesdas, 2010).

Ya, lagi-lagi hal ini disebabkan oleh ketiadaan layanan reproduksi bagi perempuan yang membutuhkan, bahkan kriminalisasi terhadap perempuan dan pemberi layanan.

Young depressed womanTingginya KTD dan Aborsi, Dampak dari Kurang Informasi & Layanan Kesehatan Reproduksi/ Foto: iStock

Alasan aborsi di Indonesia beragam dan dampak pandemi COVID-19

Dalam peraturan perundang-undangan, aborsi hanya bisa dilakukan untuk dua keadaan, yakni kehamilan akibat pemerkosaan atau gawat darurat medis.

Sementara, KSRI mengungkap bahwa alasan aborsi di Indonesia itu beragam, Bunda. Laporan layanan konseling KTD selama 2000-2014 menyebutkan terdapat 118.756 kasus KTD (23 perempuan per hari mengalami KTD).

Sebanyak 40 persen di antaranya sudah pernah mengakses layanan aborsi tidak aman. Selain itu, 81 persen dari 118.756 yang datang untuk konseling KTD adalah pasangan menikah dengan alasan gagal KB dan sudah tidak ingin menambah anak. Lalu, ada pula persoalan kontrak kerja yang melarang perempuan untuk hamil juga menjadi dasar bagi perempuan untuk mengakses layanan aborsi

"Tingginya kasus KTD ini juga didukung oleh data SDKI 2017 yang menyatakan bahwa 15% kelahiran pada perempuan usia 10-49 tahun di Indonesia berasal dari kehamilan yang tidak diinginkan (SDKI, 2017)," tulis KSRI.

Dari data tersebut, KSRI menilai bahwa aborsi merupakan upaya untuk bisa mencapai kondisi sehat yang menyeluruh seperti yang diamanatkan dalam UU Kesehatan.

Bagaimana dengan situasi dan kondisi yang terjadi selama pandemi COVID-19? KSRI mengungkap bahwa pandemi COVID-19 menambah kerentanan perempuan. LBH APIK melaporkan perempuan menjadi lebih rentan terdampak kekerasan dalam rumah tangga (KDRT) pada masa pandemi COVID-19, Bunda.

Ini besar kemungkinannya berakibat pada meningkatnya angka KTD. Selain itu, pandemi COVID-19 juga berdampak pada melumpuhnya sumber pendapatan sehingga tidak memungkinkan untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari keluarga, terlebih jika harus merawat kehamilannya dengan baik.

KSRI mengatakan bahwa, beberapa lembaga yang menerima pengaduan terkait situasi kesehatan reproduksi dan seksualitas perempuan menyebutkan bahwa terjadi peningkatan kebutuhan aborsi dengan metode yang aman yang disebabkan oleh situasi mereka yang dimiskinkan dan kekerasan seksualitas yang dialami.

"Dengan memperluas akses layanan aborsi aman, AKI dan kesakitan perempuan dapat diturunkan. Sehingga ketersediaan layanan aborsi aman justru dapat menyelamatkan jiwa perempuan di Indonesia," ungkap KSRI.

Lalu, seperti apa sih layanan aborsi yang aman? Kayanan aborsi aman harus memenuhi prinsip layanan yang berpusat pada perempuan yaitu layanan yang mengedepankan hak perempuan dengan memenuhi 3 aspek penting yaitu pilihan, akses, dan kualitas.

Dalam hal ini, pemerintah wajib memastikan ketersediaan berbagai pilihan metode/pengobatan, keterjangkauan akses layanan bagi seluruh perempuan di Indonesia, serta menjaga kualitas layanan dengan menghargai perempuan, tidak menstigma, tidak diskriminatif, dan menjaga konfidensialitas.

Semoga informasi ini membuka pandangan kita lebih luas dan layanan kesehatan reproduksi di Indonesia semakin maju ya, Bunda.

Simak juga 14 ciri hamil yang jarang diketahui:

[Gambas:Video Haibunda]



(aci/som)

TOPIK TERKAIT

HIGHLIGHT

Temukan lebih banyak tentang
Fase Bunda