
trending
Tangis Putri Jenderal Ahmad Yani Saat Tahu Sang Ayah Telah Tewas
HaiBunda
Kamis, 30 Sep 2021 19:05 WIB

Di penghujung September tahun 1965, Indonesia mengalami tragedi yang sampai sekarang terus diingat sebagai peristiwa kelam pengkhianatan G30S. Sebanyak sembilan pahlawan revolusi dinyatakan gugur setelah diculik oleh para pengkhianat. Salah satunya adalah Jenderal Ahmad Yani.
Semasa hidup, Jenderal Ahmad Yani memiliki banyak kenangan di mata putra-putrinya. Dalam sebuah kesempatan wawancara dengan Ahmad Nowmenta Putra, Amelia Ahmad Yani yang merupakan merupakan putri ketiga dari delapan bersaudara, menceritakan kisah sosok sang ayah di rumah. Ia juga mengungkap kisah di balik tragedi meninggalnya sang ayah.
Amel, sapaan akrabnya, mengenang bahwa Ahmad Yani adalah sosok yang sibuk, mengingat jabatan sang ayah kala itu Panglima Angkata Darat, sehingga sering bolak-balik ke luar kota. Seminggu hanya bertemu keluarga hanya dua kali.
Namun, ketika ada kesempatan bersama keluarga, Ahmad Yani tak mau melewatkan momen tersebut. Meski saat itu rumahnya ketat oleh penjagaan dan pengawalan dengan Batalyon Polisi Militer Para, Ahmad Yani bersama istrinya, Yayu Rulia Sutowiryo selalu mengadakan makan siang bersama kedelapan anaknya di meja makan.
"Jadi waktu itu memang ada terasa karena penjagaan, pengawalan Bapak saya ditambah dengan Batalyon Polisi Militer Para, lebih seram gayanya. Kalau makan siang kita sama Bapak Ibu semua jadi satu di ruang makan," kata Amel, dilansir kanal YouTube Ahmad Nowmenta Putra.
"Ibu saya lebih banyak bicara tentang politik, Bapak saya lebih banyak diam. Bapak saya itu tidak suka bicara banyak," ucap wanita 71 tahun itu.
Meski tidak banyak bicara, Jenderal Ahmad Yani dikenal sebagai sosok yang hangat pada anak-anaknya. Ia suka guyon atau bercanda dengan anak-anaknya menggunakan Bahasa Jawa. Sementara dengan istrinya, jika berbicara rahasia agar tidak didengar anak-anak, ia menggunakan Bahasa Belanda.
Sosok yang hangat dan suka bercanda itu selamanya dikenang oleh putra-putrinya hingga sekarang, Bunda.
Masih 16 tahun
Lebih lanjut, Amel menyinggung soal Partai Komunis Indonesia (PKI). Saat itu, partai tersebut diperkirakan menjadi partai dengan pengikut terbanyak, Bunda. Bahkan, tukang jahit di rumahnya membawa bendera PKI.
"Mak, ini bawa apa, dia buta huruf sebenarnya. Jadi 'siapa saja' itu jadi anggotanya. Itu partai apa itu (mereka) enggak tahu," tutur Amel.
"Sampai kejadian tanggal 1 Oktober itu sebenarnya orang yang mengatakan Gerakan 30 September itu mereka, para pengkhianat. Saya enggak bilang pemberontak ya, karena kalau pemberontak itu masih proklamirkan diri membentuk ini, melawan ini."
"Kalau pengkhianat, itu datangnya pagi-pagi menculik, menembak, bunuh, bawa pergi. Jadi dia menusuk dari belakang."
Mantan duta besar Indonesia untuk Bosnia dan Herzegovina itu kemudian menceritakan peristiwa yang terjadi di rumahnya pada 30 September dan 1 Oktober. Saat itu usianya masih 16 tahun. Simak kisahnya di halaman berikut.
Simak juga video tentang Presiden Indonesia dari masa ke masa yang bisa dikenalkan pada Si Kecil:
PENCULIKAN JENDERAL AHMAD YANI
Anak-anak Jenderal Ahmad Yani/ Foto: Instagram @prl_indonesia
Di tanggal 30 September malam, Amel masih ingat ada telepon dua kali. Lalu, di luar rumah ada orang yang main seruling. Namun, Ahmad Yani dan keluarga, beserta pengawal tidak menaruh curiga sama sekali.
"Batalyon polisi disuruh pulang sama Bapak, ajudan disuruh pulang. Jadi kita hanya dengan pasukan Garnisun Jakarta itu 12 orang. Ibu saya lagi enggak ada, ibu saya di Taman Suropati lagi di rumah dinas," kata Amel.
Baca Juga : Tentang Anak-anak Menonton Film G30S PKI |
Tanpa menaruh curiga, ternyata keesokan paginya peristiwa kelam itu terjadi. Masih terekam jelas di ingatan Amel, saat itu tanggal 1 Oktober. Sekitar jam 4, setengah 5 pagi menjelang subuh, terdapat 200-an orang mengepung kediaman Ahmad Yani di Jalan Lembang.
"Mereka 200-an orang mungkin, ada yang tidak pakai sepatu, itu pemuda rakyat, pakai bajunya hijau semua. Tapi yang Cakra Birawa itu yang baret merah, pita-pita (di bahu). Mereka turun dari mobil, (saya tanya) 'Garnisun itu apa?' Cakra Birawa, pada takut semua, dirampas senjatanya."
"Karena kan mereka pasukan pengawal presiden, yang lain tuh ngikut di belakang, rumah tuh sudah dikepung sama mereka. Hanya untuk ambil satu orang ya. Orangnya tidur lagi, sedang ngantuk."
Jam 4.30, Ahmad Yani dibangunkan adik Amel, dia lewat pintu belakang karena pintu tak dikunci lantaran sang ibunda belum pulang dari rumah dinas Taman Suropati.
"Bapak saya bangun, terjadi dialog yang kasar, bentak-bentak Bapak saya. Terus pada dengar nih yang di dalam, saya kan tidur di belakang. Di dalam pada dengar, adik saya bangun, adik saya paling kecil ngumpet di bawah mesin jahit karena melihat dikepung rumahnya," kenang Amel.
Ahmad Yani marah, kemudian menonjok orang yang memintanya untuk tidak mengganti baju padahal diminta menghadap presiden. Begitu ditutup pintunya, para pengepung itu panik dan akhirnya menembak lewat jendela kaca. Tertembak, Ahmad Yani pun terjatuh.
"Itulah suara halilintar yang pernah saya dengar, sebuah tembakan beruntun yang kemudian saya lihat kakinya (Bapak) sedang diseret oleh mereka, di ruang makan itu. Jadi lihat Bapak itu lewat rumah depan itu, tapi matanya sudah terpejam, saya enggak tahu apakah sudah meninggal atau belum," kata Amel.
"Kami semua mengejar bapak, di belakang orang yang ditonjok tadi, kan digendong sama teman-temannya, karena enggak bisa bangun. Sampai di pintu belakang itu lah, kalau anak-anak tidak masuk semuanya (ke rumah) akan ditembak. Sudah ngokang senjata, Bapak saya diseret kakinya dan dilempar ke truk."
Kejadian mengerikan itu hanya terjadi dalam hitungan menit, namun rumah sudah berantakan. Anak-anaknya menjerit dan menangis, tapi tidak ada yang menolong. Garnisun yang menjaga hanya melihat saja, diam seperti patung.
"Akhirnya kami cari Om Bardi, ajudan yang tinggal di komplek belakang. 'Bapak di bawa kemana?' 'Di bawa ke Pasar Rumput'. Kita enggak pernah tahu kalau dibawanya sampai ke Lubang Buaya. Itu pagi yang mengerikan," ungkap Amel.
Sang ibunda begitu datang langsung menjerit-jerit hingga pingsan. Sambil menjerit-jerit, ibunda ingin Ahmad Yani segera ditemukan. "'Cari bapak cari.' Ya dicari ke mana kita juga enggak tahu di bawa ke mana tadi," tutur Amel.
"Ibu ambil darah Bapak yang segumpal itu diusapkan di badannya. 'Ibu kenapa? Ndelok opo (lihat apa)?' 'Bapakmu wis ora ono (sudah enggak ada). 'Jangan gitu Bu, yang kena cuma tangan sama kaki..'" kata Amel menenangkan ibunda.
Anak-anaknya saat itu, tidak ada yang percaya bahwa sang ayah telah tiada. Namun, ibunda sudah yakin, pagi itu juga Ahmad Yani tewas. Ia dan anak-anak dibawa ke pengungsian Pasar Minggu. Berduka atas kematian suami, Yayu sampai mengurung diri di kamar.
Baca cerita lanjutannya di halaman berikut.
MIMPI ISTRI DIDATANGI AHMAD YANI
Jenderal Ahmad Yani dan Yayu Rulia/ Foto: Instagram @prl_indonesia
Tanggal 3 Oktober, Yayu akhirnya keluar dari kamar dan minta peyek kedelai hitam. Rupanya, ia bermimpi tentang suaminya, Jenderal Ahmad Yani.
"'Kenapa Bu?', 'Bapakmu tadi datang, jaga anak-anak'. Begitu pesannya bapak secara apa ya.. karena tanggal 3 Oktober itu sumur Lubang Buaya ditemukan. Itu digali, ditemukan, Bapak (seperti) datang ke Ibu, secara.. ya kalau orang Jawa percaya ya," ungkap Amel.
Amel bersama saudara-saudarinya pun spontan menangis. Namun, ibunda berusaha tegar dan meminta anak-anaknya untuk tidak berlarut dalam kesedihan.
"Benar besok tanggal 4 Om Bardi, mata merah, keringatan, sepatu boots penuh lumpur.'Sudah ketemu Bapak Om?', 'Sudah.' Terus dia ke kamar ketemu Ibu. Kita tunggu di luar, enggak lama semua kita dipanggil Ibu. Kita semua naik ke tempat tidur, berdelapan anak. Om Bardi menunduk menangis dia," kata Amel.
"Ibu bilang, sekarang kamu harus menerima kenyataan bahwa Bapak kamu sudah tidak ada. Kita nangis, tapi Ibu, 'Sudah lah.. doa untuk Bapak. Ibu mau lihat Bapak enggak boleh sama Om Bardi. Ibu lebih baik lihat fotonya saja.'"
Sore setelah pemberitahuan dari Bardi, mereka kembali ke rumah dinas Jalan Lembang. Amel ingat sepi sekali rasanya. Lalu, malam jam 11, jenazah sang ayah dibawa ke RSPAD untuk dibersihkan.
"Padahal membersihkan dipanggil putra-putrinya. Hanya keluarga kami yang enggak lihat. Enggak tahu kenapa, terus Bapak dimasukkan ke peti," ujarnya.
"Jam 2 pagi suasana di MBAD itu seram sekali, bau kemenyan, bau mayat, penuh sekali. Tentara nangis di mana-mana, itulah kehilangan para pahlawan, kusuma bangsa yang begitu tragis."
Lautan manusia menangis sepanjang pemakaman. Di situ Amel merasa kehilangan ayahnya begitu besar.
ARTIKEL TERKAIT
HIGHLIGHT
HAIBUNDA STORIES
REKOMENDASI PRODUK
INFOGRAFIS
KOMIK BUNDA
FOTO
Fase Bunda