Terpopuler
Aktifkan notifikasi untuk dapat info terkini, Bun!
Bunda dapat menonaktifkan kapanpun melalui pengaturan browser.
Nanti saja
Aktifkan

cerita-bunda

Anak Sambungku Terlalu Dimanja, Kini Tak Mau Sekolah dan Aku Tak Bisa Apa-apa

Sahabat HaiBunda   |   HaiBunda

Jumat, 06 Sep 2024 17:05 WIB

Quarrel between an mother and an adult daughter in home kitchen
Anak Sambungku Terlalu DImanja, Kini Tak Mau Sekolah dan Aku Tak Bisa Apa-apa/Foto: Getty Images/JackF
Jakarta -

#HaiBunda, lika-liku pernikahanku ini mungkin tidak sama dengan sebagian besar rumah tangga lain. Pasalnya, aku memutuskan menikah dengan seorang duda yang telah memiliki 4 anak.

Ada dua anak laki-laki yang sudah duduk di bangku SMA dan SMP, dan dua lagi anak perempuan yang masih kecil. Mungkin Bunda semua bertanya-tanya, mengapa aku sampai mau menikah dengan duda beranak empat?

Kesediaanku menikah dengannya karena aku terlanjur jatuh hati dengan kedua anak gadisnya yang masih berumur 5 dan 7 tahun. Sejak pertama bertemu mereka, hatiku langsung terenyuh dan merasa terpanggil untuk mengasuhnya. Kedua gadis kecil itu pun dengan mudah langsung dekat dan bermain denganku.

Namun, ternyata muncul masalah pelik setelah aku menikah. Mantan istri dari suami takut jika anak-anak kelak lebih sayang ke aku daripada ke dia. Tak jarang dia meradang, bahkan sampai melabrak aku. Padahal aku merasa tak memiliki salah apa pun padanya.

Dia yang dulu meninggalkan suami dan anak-anak demi pria lain. Aku pun kenal dengan dengan ayahnya anak-anak setelah hampir dua tahun mereka bercerai.


Mantan istri suamiku itu membuat peraturan-peraturan yang tidak masuk akal. Dia membuat aturan aku tidak boleh masak untuk anak-anak, aku tidak boleh datang ke sekolah anak-anak, tidak boleh berfoto dengan anak-anak, tidak boleh bepergian semobil dengan anak-anak, bahkan tidak boleh serumah dengan anak-anak.

Yang lebih membuat sedih aku diminta suami untuk tinggal di rumah kontrakan sendiri, sedangkan ia tinggal bersama anak-anak. Aku tentu menolak hal yang tidak mungkin tersebut. Semua aturan itu pun membuat anak-anak yang tadinya dekat menjadi menjaga jarak denganku.

Meski begitu, aku tetap menyayangi semua anak-anak dari suami padahal aku juga sudah memiliki anak sendiri. Aku tetap berusaha dekat dengan mereka mengajarkan ke mereka tentang memasak hingga persiapan pubertas. Kami juga sering meluangkan waktu bersama untuk membaca, menggambar dan bermain.

Akan tetapi anak ketiga suamiku mulai berubah setelah dia dibelikan ponsel oleh ibunya. Apalagi ayahnya tidak membuat batasan penggunaan gadget sama sekali.

Sehingga kesehariannya lebih banyak berinteraksi dengan ponsel. Ia pun mulai malas mengerjakan tugas sekolah, bahkan enggan masuk sekolah, apalagi saat itu tengah pandemi COVID-19 sehingga sekolah dilakukan online. Sampai akhirnya dia tidak naik kelas.

Gurunya pun menyarankan kami untuk membawa dia ke psikolog anak untuk mencari tau kondisi sebenarnya. Namun, psikolog angkat tangan karena anakku itu sangat tertutup. Ia pun menyarankan kami untuk membawanya ke psikiater yang lebih berpengalaman.

Akhirnya, aku dan suami memutuskan untuk mengecek isi ponselnya. Betapa mengejutkan, ternyata kami menemukan chat ibunya marah-marah ke dia saat ketahuan kami pergi liburan bersama.

Setelah mengamati, aku pun membuat kesimpulan, perilakunya tersebut disebabkan banyak faktor. Selain sering mendapat tekanan dan ujaran kebencian dari ibunya, aku juga melihat dia sangat dimanja oleh ayahnya.

Tentu aku sebagai ibu sambung berada pada posisi sulit. Ketika ingin mengajarkan anak untuk lebih mandiri, ayahnya kurang mendukung. Ayahnya terlalu melayani, bahkan terkesan seperti 'pembantu' untuk anaknya. Di saat aku ingin lebih tegas agar anak disiplin, ayahnya terlalu lemah, kalah oleh kemauan anak-anaknya.

Aku sering bicara cukup keras ke suami agar dia berpikir bahwa masa depan anaknya terancam jika dibiarkan begitu terus, tapi ia terlihat tidak begitu menggubris berbagai saran dariku.

Aku hanya bisa menatap putriku itu dengan sedih. Sehari-hari ia hanya menatap layar ponsel, bahkan jika ponsel habis baterai, ia tetap menggunakannya saat di-charge.

Bahkan, karena sikapnya itu, hampir setiap hari ayahnya yang membersihkan kamar anak gadisnya itu. Untuk makan masih aku ambilkan, karena kalau tidak diambilkan, dia tidak makan.

Inilah akibat anak yang terlalu dimanja. Dia tumbuh menjadi pribadi yang rapuh. Inilah akibat anak yang tertekan, lalu mendapat pelarian, akhirnya kecanduan.

Hingga kini, kami masih terus berusaha mencari cara mengubah perilakunya tersebut. Mencoba membatasi penggunaan ponselnya. Mencoba lebih banyak bicara dengannya, bahkan mencoba membujuknya untuk mau sekolah lagi. Dan tentunya berdoa tak putus-putus kepada Allah yang Maha Kuasa..

- Bunda E, Pekanbaru -

Mau berbagi cerita juga, Bun? Yuk cerita ke Bubun, kirimkan lewat email [email protected]. Cerita terbaik akan mendapat hadiah menarik dari HaiBunda.

(pri/pri)

TOPIK TERKAIT

HIGHLIGHT

Temukan lebih banyak tentang
Fase Bunda