kehamilan
Pasal Kontrasepsi & Aborsi Tuai Kontroversi, Apa Kata Dokter?
Jumat, 27 Sep 2019 16:01 WIB
Jakarta -
Pasal tentang aborsi dan alat kontrasepsi yang tertuang di RUU Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) banyak menuai kontroversi, Bun. Hal ini karena pasal tersebut dianggap rancu dan diskriminatif.
Melansir dari detikcom, terkait tindakan aborsi, ini diatur dalam pasal nomor 251,470, 471, dan 472. Prinsipnya, semua bentuk aborsi adalah bentuk pidana dan pelaku yang terlibat bisa dipenjara. Kecuali bagi korban pemerkosaan, termasuk tenaga medisnya tidak dipidana.
Sedangkan pasal yang mengatur soal alat kontrasepsi yakni pasal 414, disebutkan bahwa setiap orang yang secara terang-terangan, mempertunjukan, menawarkan, menyiarkan tulisan, atau menunjukkan alat kontrasepsi kepada anak diancam pidana atau denda. Tercatat, perbuatan tersebut dapat dipidana paling lama enam bulan.
Terkait hal ini, dr.Boy Abidin, Sp.OG(K) menanggapi, apapun bentuk aborsi itu merupakan suatu yang bisa merusak alat reproduksi. Kalau tidak ada indikasi medis yang jelas untuk mengakhiri suatu kehamilan, dokter tidak akan melakukan aborsi.
"Kalau masalah hukum enggak paham, tapi lihat dari sisi kesehatan. Mungkin wanita tersebut gelap mata, dia lupa, takut, lalu melakukan hal ilegal. Kemudian terjadi kerusakan di organ reproduksinya. Begitu dia mau hamil beneran sudah jadi masalah, ada infeksilah, sumbatanlah, jadi enggak hamil-hamil," tutur Boy, ditemui usai mengisi sebuah acara di Jakarta baru-baru ini.
Boy pun menerangkan, ada kondisi di mana aborsi diperbolehkan, dan undang-undangnya pun sudah jelas. Yakni saat kehamilan mengancam jiwa ibu, atau ada kecacatan yang fatal pada janinnya.
"Itu bukan diputuskan pasien dan dokter, tapi diputuskan dalam tim, dan itu ada prosedurnya. Jadi kita boleh melakukan pengakhiran kehamilan, kalau memang ada indikasi medis yang jelas bukan indikasi sosial," jelasnya.
Selain itu, terkait pasal kontrasepsi, di luar setuju maupun tidaknya terhadap pasal ini, diterangkan Boy, dari dulu pun untuk menjelaskan mengenai kontrasepsi memang harus dilakukan tenaga medis. Tentu yang sudah mendapatkan pelatihan atau kompeten untuk menjelaskan jenis-jenis kontrasepsi yang ada. Hal ini biasanya disebut dengan konseling kontrasepsi.
"Enggak harus dokter, boleh bidan, perawat, tapi sudah dapat pelatihan dan kompetensi untuk menjelaskan kontrasepsi," terangnya.
"Di luar itu, pastinya enggak kompeten, takutnya disalahgunakan atau disalahkan informasinya, kemudian kalau dia dapat informasi dari orang tidak jelas kemudian terjadi hal yang tidak diinginkan, orang itu kan enggak bisa dituntut juga," sambungnya.
Simak pula komentar Dede Yusuf soal RUU KUHP ini, Bun.
(yun/muf)
Melansir dari detikcom, terkait tindakan aborsi, ini diatur dalam pasal nomor 251,470, 471, dan 472. Prinsipnya, semua bentuk aborsi adalah bentuk pidana dan pelaku yang terlibat bisa dipenjara. Kecuali bagi korban pemerkosaan, termasuk tenaga medisnya tidak dipidana.
Terkait hal ini, dr.Boy Abidin, Sp.OG(K) menanggapi, apapun bentuk aborsi itu merupakan suatu yang bisa merusak alat reproduksi. Kalau tidak ada indikasi medis yang jelas untuk mengakhiri suatu kehamilan, dokter tidak akan melakukan aborsi.
"Kalau masalah hukum enggak paham, tapi lihat dari sisi kesehatan. Mungkin wanita tersebut gelap mata, dia lupa, takut, lalu melakukan hal ilegal. Kemudian terjadi kerusakan di organ reproduksinya. Begitu dia mau hamil beneran sudah jadi masalah, ada infeksilah, sumbatanlah, jadi enggak hamil-hamil," tutur Boy, ditemui usai mengisi sebuah acara di Jakarta baru-baru ini.
![]() |
Boy pun menerangkan, ada kondisi di mana aborsi diperbolehkan, dan undang-undangnya pun sudah jelas. Yakni saat kehamilan mengancam jiwa ibu, atau ada kecacatan yang fatal pada janinnya.
"Itu bukan diputuskan pasien dan dokter, tapi diputuskan dalam tim, dan itu ada prosedurnya. Jadi kita boleh melakukan pengakhiran kehamilan, kalau memang ada indikasi medis yang jelas bukan indikasi sosial," jelasnya.
Selain itu, terkait pasal kontrasepsi, di luar setuju maupun tidaknya terhadap pasal ini, diterangkan Boy, dari dulu pun untuk menjelaskan mengenai kontrasepsi memang harus dilakukan tenaga medis. Tentu yang sudah mendapatkan pelatihan atau kompeten untuk menjelaskan jenis-jenis kontrasepsi yang ada. Hal ini biasanya disebut dengan konseling kontrasepsi.
"Enggak harus dokter, boleh bidan, perawat, tapi sudah dapat pelatihan dan kompetensi untuk menjelaskan kontrasepsi," terangnya.
"Di luar itu, pastinya enggak kompeten, takutnya disalahgunakan atau disalahkan informasinya, kemudian kalau dia dapat informasi dari orang tidak jelas kemudian terjadi hal yang tidak diinginkan, orang itu kan enggak bisa dituntut juga," sambungnya.
Simak pula komentar Dede Yusuf soal RUU KUHP ini, Bun.
(yun/muf)