Terpopuler
Aktifkan notifikasi untuk dapat info terkini, Bun!
Bunda dapat menonaktifkan kapanpun melalui pengaturan browser.
Nanti saja
Aktifkan

kehamilan

Kisah Dokter asal Bali Tinggal di Swedia saat Hamil, Naik Kereta PP 150 Km Tiap Hari

Asri Ediyati   |   HaiBunda

Rabu, 17 Nov 2021 13:50 WIB

Putu Ayuwidia Ekasari, Diaspora Indonesia di Swedia
Putu Ayuwidia Ekasari, Diaspora Indonesia di Swedia/ Foto: Instagram @diadiawidia

Merantau ke negeri orang, apalagi dalam kondisi hamil pastinya menjadi tantangan tersendiri bagi seorang bunda. Seperti pengalaman Putu Ayuwidia Ekaputri atau kerap disapa Widia yang menjadi diaspora Indonesia di Swedia. Ia adalah seorang dokter dan ahli cognitive neuroscience.

Wanita asal Bali itu menetap di Gothenburg, Swedia. Awalnya, ia ikut suami yang kala itu menempuh pendidikan S3 di sana. Di Swedia, Widia pun memiliki segudang pengalaman menarik, salah satunya yaitu pengalaman hamilnya di sana.

Satu hal yang menjadi tantangan tambahan bagi Widia saat hamil bahwa, ia kala itu juga sedang melanjutkan studi S2-nya di University of Skovde Swedia, Bunda. Ia memulai S2 di Agustus 2019 lalu setelah memutuskan untuk menunggu 'rencana' terbaik Tuhan terkait kehamilannya.

"Sebenarnya ini mungkin budaya juga di Indonesia habis nikah pengen hamil kan? Jadi walaupun saya dokter tapi pengaruh budaya segala macam, ya pengennya hamil juga," ujarnya kepada HaiBunda via Zoom, baru-baru ini.

Awalnya, Widia memang ingin hamil setelah menikah. Namun, sekitar sebulan, dua bulan menunggu, Widia dan suami akhirnya ikhlas, serta Widia memutuskan untuk melanjutkan studinya di Swedia.

Banner pola makan rumahan

"Setelah sebulan, dua bulan, tiga bulan nunggu akhirnya hamil juga. Excited dong.. tapi lucunya kenapa pas kita sudah ikhlas.. oh ya sudah sekolah dulu. Karena pas aku hitung wah, ini tuh di tengah-tengah semester."

"Jadi waktu bulan November lahirnya kan, namanya manusia cuma berencana kan. Pengennya anak lahir sebelum semester, atau setelah satu semester. Seenggaknya aku selesai deh semester," kata Widia.

Widia yang mengetahui kehamilan pertamanya di akhir bulan Maret itu semula bersemangat, tapi setelah sadar kembali bahwa hari perkiraan lahirnya (HPL) di tengah semester, ia harus kembali menata kembali rencana studinya.

Tak hanya itu, ketika hamil, ada satu cerita menarik dari Widya bagaimana ia harus bolak-balik kampus ke tempat tinggalnya selama menyelesaikan studi. Ia harus naik kereta api pulang pergi dengan jarak tempuh 150 km tiap harinya.

Baca kelanjutannya di halaman berikut.

Bunda hamil simak juga daftar isi tas RS menjelang persalinan di video berikut:

[Gambas:Video Haibunda]




NAIK KERETA PP 150 KM TIAP HARI SAAT HAMIL

Putu Ayuwidia Ekasari, Diaspora Indonesia di Swedia

Putu Ayuwidia Ekasari, Diaspora Indonesia di Swedia/ Foto: Instagram @diadiawidia

Menempuh S2 saat hamil tampaknya menjadi pengalaman tak terlupakan bagi Widia. Pasalnya, ia harus naik kereta api pulang pergi dengan jarak tempuh 150 km di Swedia tiap harinya. Kok bisa?

Ini bermula ketika Widya ingin mengambil jurusan sesuai dengan minatnya yaitu mempelajari otak manusia yang kaitannya dengan perilaku, kognitif. Kebetulan jurusan tersebut hanya tersedia di kampus yang berada di luar kota tempat tinggalnya.

"Aku ingin kuliah yang dekat dengan suami, enggak kayak teman-teman lainnya yang mungkin ingin kuliah di Harvard, universitas top. Aku ingin dekat sama suami saja. Nah, jadi waktu itu pilihannya ada kampus yang satu kota dengan suami di Gothenburg, tapi ada di kota lain yang anggaplah seperti di Bandung kalau kita ngomong Jakarta."

"Itu sih akhirnya aku pengen beda, karena melihat goals ke depannya. Jadi pilih yang di luar kota saja dan putuskan untuk PP. Karena aku akhirnya putuskan iya, karena meskipun jaraknya seperti Jakarta-Bandung, tapi dengan teknologi di Swedia, ada kereta cepat bisa ditempuh dalam waktu 2 jam," ujar alumni FKUI ini.

Melihat dari pengalaman teman-temannya sewaktu S1 saat itu ada yang menempuh 2 jam perjalanan karena macet, Widia pun termotivasi untuk bisa melakukan pulang pergi selama 2 jam naik kereta api.

"Jadi aku mikir, oh berarti sebenarnya bisa. Walaupun jaraknya jauh, tapi kan waktu tempuhnya 2 jam, yang mana itu orang Indonesia biasa melakukannya. Jadi, walau kuliahnya jauh itu sebenarnya masih bisa diatasi," ujarnya.

Dalam kondisi hamil, Widya mengaku tetap jalani rutinitasnya seperti biasa selama tidak ada kendala berarti selama menjalaninya.

Widya juga kala itu bertekad untuk menyelesaikan setidaknya satu semester karena anaknya sendiri diperkirakan lahir di akhir November, sementara semesternya berakhir di Desember.

"Ngotot tuh, padahal dosennya pada bilang enggak apa-apa kok ambil cuti. Benar, akhirnya mencoba, jadi pas anak sudah lahir, aku mencoba. Aku kerjain tugas ternyata nilainya jelek, ya mungkin karena fokus sudah enggak ke sana ya. Terus akhirnya aku bilang ke dosennya, oh ya sudah deh cuti aja. Mundurnya bertanggungjawab, bukan kabur atau gimana," kata Widia.

Selain tentunya dukungan dari suami dan teman-teman Indonesianya, para dosen di kampus Widya juga mendukung dan menghargai haknya saat hamil.

Baca kelanjutannya di halaman berikut.

'LAGOM' & KEBIJAKAN UNTUK IBU HAMIL DI SWEDIA

Putu Ayuwidia Ekasari, Diaspora Indonesia di Swedia

Putu Ayuwidia Ekasari, Diaspora Indonesia di Swedia/ Foto: Instagram @diadiawidia

Widia menceritakan, ada sebuah gaya hidup di Swedia istilahnya Lagom. Itu artinya not too much, not too little, tapi just right amount. Simpelnya, semuanya cukup, tidak ada yang berlebihan ataupun kekurangan, Bunda.

"Enggak selalu di tengah-tengah, misalnya kita ngomongin kekayaan seseorang. Enggak perlu terlalu kaya, terlalu miskin, just right. Cukup gitu. Lagom antara saya dan kamu bisa berbeda," kata Widia.

Nah, istilah Lagom ini juga diterapkan sehari-hari, juga di perkuliahan. Pada saat kuliah, Widia beruntung sebab betapa orang Swedia itu sangat menghargai namanya waktu bersama keluarga.

"Makanya ketika saya bilang saya ingin selesaikan kuliah satu semester pun, mereka bukan meremehkan. Orang Swedia juga bukan tipikal yang mau menasihati kita ya, semua keputusan ada di tangan kita," ceritanya.

"'Oh ya kamu bisa kok kuliah tapi kamu tahu kan bahwa kamu berhak cuti'. Jadi kata-katanya tuh halus banget, jadi mereka bukan judgemental banget."

Soal cuti melahirkan, Widia pun mengaku bahwa mengajukan cuti melahirkan di Swedia sangat mudah. Ia hanya ke bagian administrasi kampus, mengisi satu surat keterangan, dan langsung diizinkan. Lama cuti melahirkan pun jumlahnya tak tanggung-tanggung yaitu 480 hari per anak.

"Terserah, suami 240 hari istri 240 hari, istri 360 hari, suami 120 hari. Tapi minimal mereka ambil 90 hari 90 hari. Karena untuk kesetaraan gender, anak enggak cuma butuh sosok ibu tapi juga ayah. Itu membantu saya juga, suami cuti 3 bulan."

Widia mengungkap bahwa Swedia itu negara yang sangat tidak ribet dengan administrasi, Bunda. "Bahkan mereka tuh sangat percaya dengan orang lain, mereka percaya dengan sistem yang ada. Jadi harus menjaga kepercayaan," katanya.

Menariknya lagi, begitu sudah punya anak pun mereka menghargai yang sudah punya keluarga, Bunda.

"Dosenku pernah membatalkan kelas karena anaknya sakit, mereka benar-benar menjaga keseimbangan antara kerjaan dan keluarga. Tapi bukan berarti dosennya kabur enggak ajari, mereka bertanggungjawab, reschedule, tanya muridnya," kata wanita 29 tahun ini.

"Jadi itu sih yang menurutku sistemnya membantu banget untuk orang berkeluarga. Karena menurutku ini suatu hal yang mewah, karena enggak semua universitas atau kampus memberlakukan aturan yang sama."

Setelah punya anak, Widia berhasil menyelesaikan studi itu tidak terlepas dari support system di sana, bukan suami saja. Akan tetapi sistem di negara juga membantu. Salah satunya adalah preschool yang diperuntukkan balita.

"Di Swedia, anak-anak itu dititipkan ke preschool, seperti daycare. Sejak usianya satu tahun, udah sekolah. Bukan masalah ingin pintar, pendidikan anak terbaik memang pada orangtuanya, tapi karena aku lagi sekolah, kita enggak punya pilihan. Jadi anak berada di sekolah adalah pilihan terbaik," tutur Widia.

Terlepas dari pengalamannya di sana, Widia pun memiliki pesan untuk para bunda yang ingin bersekolah lagi atau menempuh pendidikan lainnya.

"Kalau menurut saya, harus clear dulu golnya belajar untuk apa. Karena kalau ikut orang lain, itu bukan suatu hal yang tepat. Enggak mesti S2, banyak pendidikan lain, lebih menambah wawasan, semakin ibu itu bagus kepercayaan dirinya, dia justru memberikan pengaruh keluarganya juga bagus," ujarnya.

"Sebagai perempuan harus tetap belajar, setelah belajar harus bekerjasama dengan banyak pihak. Diskusi sama suami, mertua, cari sekolah. Lalu, turunkan ekspektasi, dulu waktu kuliah saya mungkin target harus dapat A, tapi kalau sudah punya anak harus pilih yang prioritas."

Setelah lulus S2 di 2021 ini, Widia kini masih menetap di Swedia bersama suami dan anaknya, Bunda. Di samping menjadi seorang bunda, kini ia juga mengikuti les Bahasa Swedia agar memudahkannya dalam mencari pekerjaan.

Semoga sukses ya Bunda Widia!


(aci/fir)
Loading...

TOPIK TERKAIT

HIGHLIGHT

Temukan lebih banyak tentang
Fase Bunda