moms-life
Begini Cara Hadapi Frenemy Alias Teman Sekaligus Musuh, Bun
Senin, 20 Aug 2018 14:56 WIB
Jakarta -
Di lingkungan kerja atau pertemanan, Bunda merasa nggak ada seseorang yang jadi frenemy alias friend and enemy? Di depan kita si teman bertingkah baik layaknya teman pada umumnya, tapi di belakang dia 'menusuk' seperti musuh atau enemy. Sosok frenemy memang nggak melulu teman atau rekan kerja tapi bisa juga orang lain yang memiliki hubungan keluarga dengan kita.
Ketika dihadapkan dengan sosok frenemy, apa sih yang mesti kita lakukan? Menanggapi hal ini, psikolog klinis dewasa dari Psychological Service Centre and Laboratory Bina Nusantara University, Pingkan Rumondor mengatakan teman sebenarnya merupakan sumber daya sosial. Ada teman di kantor, pekerjaan jadi lebih mudah. Kemudian, jika ada teman di sekolah anak, informasi soal kegiatan sekolah anak pun lebih gampang didapat.
"Nah, kalau frenemy, biarpun dia friend sekaligus enemy kadang kita masih butuh dia. Kalau nggak butuh sekalian aja jadi enemy misalnya kan. Secara evolusionary kita masih butuh dia dan karena kita adalah makhluk sosial, frenemy ini pernah jadi teman dan ada support-nya memang sulit buat kita cut off 100 persen," papar Pingkan saat ngobrol dengan HaiBunda.
Apakah kita mesti mempertahankan hubungan ini dengan si frenemy? Menurut Pingkan kita mesti lihat tiga kemungkinan nih, Bun.
1. Si Teman adalah Sosok yang Penting
Pingkan bilang pertama lihat dulu si teman ini sepenting apa. Apakah dia teman kerja yang secara struktural dan mau nggak mau kita akan terus kerja bareng dia dan jika nggak kerja bareng dia maka pekerjaan nggak beres. Jika seperti itu Pingkan menyarankan baiknya kita bicara dengan terbuka pada si teman.
"Pakai I-message. Misal katakan 'Saat kamu menyebarkan hal yang confidential itu ke orang lain aku kesal. Bisa nggak lain kali nggak kayak gitu karena menurut aku pertemanan kita penting lho senggaknya untuk kerjaan'. Put it on the table, bicarakan secara terbuka bahwa nanti ada risiko kalau hubungan kita rusak walaupun sebenarnya udah rusak juga. Daripada kita simpan, lebih baik terbuka juga," tutur Pingkan.
2. Si Teman Nggak Terlalu Penting
Kalau misalnya dia teman yang nggak penting-penting amat dan kita bisa dapat support lain dari orang lain, Pingkan menyarankan cut off saja hubungan kita dengan si teman, Bun. Pingkan bilang buat apa berteman dengan orang yang memberi support banyak tapi di belakang kita dia malah bikin kesal dan suka melanggar perjanjian.
"Kalau teman ini kebetulan beda divisi ya hubungannya ala kadarnya. Bersikap profesional bahwa kita juga harus mengatur ekspektasi. Kita tahu dia ada toksiknya tapi dia suportif berarti kita anggap support-nya dia support profesional. Jangan anggap dia teman yang intim dan personal. Dia dekat ya karena dekat di kerjaan. Ada hal personal nggak perlu cerita ke dia apalagi kita tahu dia orangnya 'ember'," tutur Pingkan yang juga praktik di Tiga Generasi ini.
3. Jangan-jangan Kita yang Frenemy?
Kata Pingkan bukan nggak mungkin justru kita yang jadi frenemy lho, Bun. Misalnya justru kita yang baik di depan teman tapi di belakang mereka kita 'menusuk'nya. Dalam hal ini, kata Pingkan perlu refleksi diri mengapa kita bisa jadi frenemy untuk si teman.
"Misal ternyata kita iri sama teman ini karena suaminya naik jabatan sehingga kita ngomongin dia di belakang. Refleksi diri lagi ke dalam kenapa kita bisa iri? Beresin isu itu sehingga bisa netral lagi," kata Pingkan. (rdn)
Ketika dihadapkan dengan sosok frenemy, apa sih yang mesti kita lakukan? Menanggapi hal ini, psikolog klinis dewasa dari Psychological Service Centre and Laboratory Bina Nusantara University, Pingkan Rumondor mengatakan teman sebenarnya merupakan sumber daya sosial. Ada teman di kantor, pekerjaan jadi lebih mudah. Kemudian, jika ada teman di sekolah anak, informasi soal kegiatan sekolah anak pun lebih gampang didapat.
"Nah, kalau frenemy, biarpun dia friend sekaligus enemy kadang kita masih butuh dia. Kalau nggak butuh sekalian aja jadi enemy misalnya kan. Secara evolusionary kita masih butuh dia dan karena kita adalah makhluk sosial, frenemy ini pernah jadi teman dan ada support-nya memang sulit buat kita cut off 100 persen," papar Pingkan saat ngobrol dengan HaiBunda.
Apakah kita mesti mempertahankan hubungan ini dengan si frenemy? Menurut Pingkan kita mesti lihat tiga kemungkinan nih, Bun.
![]() |
1. Si Teman adalah Sosok yang Penting
Pingkan bilang pertama lihat dulu si teman ini sepenting apa. Apakah dia teman kerja yang secara struktural dan mau nggak mau kita akan terus kerja bareng dia dan jika nggak kerja bareng dia maka pekerjaan nggak beres. Jika seperti itu Pingkan menyarankan baiknya kita bicara dengan terbuka pada si teman.
"Pakai I-message. Misal katakan 'Saat kamu menyebarkan hal yang confidential itu ke orang lain aku kesal. Bisa nggak lain kali nggak kayak gitu karena menurut aku pertemanan kita penting lho senggaknya untuk kerjaan'. Put it on the table, bicarakan secara terbuka bahwa nanti ada risiko kalau hubungan kita rusak walaupun sebenarnya udah rusak juga. Daripada kita simpan, lebih baik terbuka juga," tutur Pingkan.
2. Si Teman Nggak Terlalu Penting
Kalau misalnya dia teman yang nggak penting-penting amat dan kita bisa dapat support lain dari orang lain, Pingkan menyarankan cut off saja hubungan kita dengan si teman, Bun. Pingkan bilang buat apa berteman dengan orang yang memberi support banyak tapi di belakang kita dia malah bikin kesal dan suka melanggar perjanjian.
"Kalau teman ini kebetulan beda divisi ya hubungannya ala kadarnya. Bersikap profesional bahwa kita juga harus mengatur ekspektasi. Kita tahu dia ada toksiknya tapi dia suportif berarti kita anggap support-nya dia support profesional. Jangan anggap dia teman yang intim dan personal. Dia dekat ya karena dekat di kerjaan. Ada hal personal nggak perlu cerita ke dia apalagi kita tahu dia orangnya 'ember'," tutur Pingkan yang juga praktik di Tiga Generasi ini.
![]() |
3. Jangan-jangan Kita yang Frenemy?
Kata Pingkan bukan nggak mungkin justru kita yang jadi frenemy lho, Bun. Misalnya justru kita yang baik di depan teman tapi di belakang mereka kita 'menusuk'nya. Dalam hal ini, kata Pingkan perlu refleksi diri mengapa kita bisa jadi frenemy untuk si teman.
"Misal ternyata kita iri sama teman ini karena suaminya naik jabatan sehingga kita ngomongin dia di belakang. Refleksi diri lagi ke dalam kenapa kita bisa iri? Beresin isu itu sehingga bisa netral lagi," kata Pingkan. (rdn)