Jakarta -
Bicara soal
bullying, anak sejatinya nggak cuma berisiko jadi korban aja, tapi juga pelakunya, Bun.
Tapi si kecil di rumah anteng-anteng aja kok. Masa sih dia melakukan bullying? Nah, sebagai orang tua kita juga perlu nih mengetahui berbagai faktor yang bisa bikin anak melakukan bullying. Apa aja? Simak pemaparannya seperti diungkapkan psikolog anak dan remaja, Yasinta Indrianti yang akrab disapa Sinta.
1. Karakter Penyebab bullying/ Foto: thinkstock |
Sinta mengatakan, karakter anak yang ingin berkuasa, selalu ingin jadi nomor satu dan selalu ingin lebih hebat merupakan salah satu faktor yang membuatnya jadi pelaku
bullying.
"Ketika anak ingin menjadi yang terkuat artinya di situ anak akan menganggap orang lain haruslah di bawah dia," papar Sinta.
Kita perlu tahu, Bun, karakter berada di bawah sadar manusia. Misal, ketika ada anak yang punya karakter kompetitif belum tentu dia kuat secara jiwa. Walaupun memang ada anak yang berkarakter kompetitif dan secara jiwa kuat, ketika dibully itu tidak terlalu berefek.
"Ada pula anak yang kompetitif karena itu sebagai kompensasi kelemahannya. Kemudian, ada anak yang kompetitif namun ketika harga dirinya kesentil, dia bisa langsung drop," tambah Sinta.
2. Keluarga
 Penyebab bullying/ Foto: thinkstock |
Ketika anak sudah punya karakter ingin berkuasa, ditambah di keluarganya perilaku anak ingin berkuasa nggak sengaja 'dipupuk' dan terfasilitasi, risiko anak jadi pelaku bullying meningkat.
"Dipupuk di sini tuh maksudnya lebih ke pola asuh dalam keluarganya. Jika anak memiliki pola asuh yang satu otoriter dan satu permisif rumahnya maka bisa jadi anak tersebut menjadi pelaku bullying," papar Sinta.
Perilaku otoriter yaitu anak cenderung dikekang dan diminta untuk mengikuti kata orang tua. Sementara pada pola asuh permisif, orang tua jenis cenderung mengikuti kemauan anak. Alhasil, kalau ada beda pola asuh seperti ini, anak bisa dibiarkan menyerap yang ia dapat dari pola asuh otoriter hingga tumbuhlah benih ingin melakukan bullying.
"Nggak cuma itu, jika satu keluarga otoriter juga nggak baik. Anak nggak bisa mengekspresikan diri, maka bisa aja anak akan cenderung nyari pelampiasan di luar dirumah," lanjut Sinta.
Anak nantinya akan berpikir, 'Oh saya dituntut banyak nih di rumah, saya juga mau nuntut (menekan) orang ah di luar', otomatis anak akan merasa di luar dia bisa mengintimidasi orang lain. Menjadi orang tua yang permisif juga nggak baik lho, Bun.
Dengan membiarkan apapun yang anak lakukan dan terima, bisa membuatnya berpikir 'Toh saya di rumah atau di manapun melakukan ini (bullying) didiamkan berarti saya bebas dong mau ngapain'. Makanya, bisa jadi karena pembiaran tersebut anak merasa apapun yang ia lakukan tidak pernah salah.
3. Lingkungan
 Penyebab bullying/ Foto: Thinkstock |
Berada di lingkungan ketika perilaku bullying dianggap normal bisa juga memicu anak jadi pelaku bullying. Lingkungan yang kayak apa sih? Misalnya, anak ditontoni bahkan disoraki saat mengintimidasi orang lain atau dia dianggap keren saat mem-bully . Karena anak merasa apa yang dilakukan baik-baik saja, bukan nggak mungkin dia akan melakukan bullying terus-terusan.
4. Jadi Korban Bullying
 Penyebab bullying/ Foto: Thinkstock |
Ini termasuk salah satu akibat dari efek
bullying sebenarnya, Bun. Ya, ada beberapa anak yang jadi korban bullying kemudian tidak diatasi dengan tepat, alhasil ia merasa dendam lalu membalas dendamnya dengar menjadi pelaku bullying nantinya.
"Pasti anak akan berpikir, 'Toh gue dulu digituin (bully), berarti sekarang bisa dong gue giniin orang'," kata Sinta. Apalagi, jadi korban bullying bisa berimbas ke kepirbadian anak saat dewasa.
"Tidak ada yang nggak mungkin, agar itu tidak terjadi maka kita perlu bentengi anak dan segera atasi bullying yang terjadi secara langsung maupun tidak langsung. Jangan diam saja," papar Sinta.
5. Anak Jadi Saksi Tindakan Bullying
 Penyebab bullying/ Foto: thinkstock |
Jika anak melihat perilaku bullying dan saat itu orang-orang merasa tidak ada masalah dengan tindakan tersebut atau diam saja, akan terbentuk pola pikir anak kalau bullying wajar.
"Secara nggak sadar suatu saat ketika anak menghadapi kasus yang sama, anak akan langsung teringat 'Toh waktu itu kayak gini (bullying) nggak masalah, nggak ada yang protes,'. Ya karena dia melihat bahwa semua diam saja," papar Sinta.
Dalam kajian psikologi, ada yang namanya long term memory yaitu merupakan proses retrieval atau pemanggilan kembali alam bawah sadar dan ini berkaitan dengan pengalaman masa lalu.
"Hal paling gampang ketika pemicunya sama, misal ketika anak menghadapi situasi di mana mengintimidasi itu didiamkan atau dianggap wajar ya maka dia akan merasa aman saja untuk mengintimidasi orang. Orang itu cenderung mudah melakukan hal yang sama apalagi anak," kata Sinta.
Namun ada pengecualian, Bun. Kalau anak melihat perilaku bullying atau jadi saksi bullying dan di situ pula ia melihat orang yang melakukan bullying diberi pendisiplinan atau hukuman, anak tentu tidak akan melakukan bullying karena ia tahu konsekuensinya jika melakukan.
"Kadang dukungan sosial itu lebih kuat, karena itu peran orang tua penting banget. Ajarkan anak bahwa perilaku bullying itu tidak baik dan efeknya bisa hingga anak dewasa," pungkas Sinta.
(aml)