Toronto -
Banyak orang tua yang bilang
anak-anak 'jaman now' itu nggak sabaran, gampang bosan, nggak punya teman, dan sulit fokus. Padahal, kondisi emosi anak-anak ini bisa merusak diri mereka, Bun.
Kata Victoria Prooday, okupasi terapis lulusan Medical School di University of Toronto dan Bachelor of Science di Kinesiology and Health Science, York University, ini semua bisa dipengaruhi banyak faktor gaya hidup. Victoria bilang, kondisi tersebut telah menyebar dan mengkhawatirkan. Katanya, ia melihat telah terjadi penurunan fungsi sosial, emosional, dan akademik anak-anak, serta peningkatan tajam dalam ketidakmampuan belajar dan diagnosis lainnya.
Duh, kok serem ya, Bun. "Seperti diketahui, otak itu lunak. Melalui lingkungan, orang tua bisa membuat otak 'lebih kuat' atau membuatnya 'lebih lemah'. Saya benar-benar percaya, terlepas dari semua niat, sayangnya orang tua melunakkan otak anak-anak ke arah yang salah," kata Victoria seperti dilansir situs Deeprootsathome.
Sebenarnya apa yang membuat sikap anak-anak menurun dalam berbagai faktor? Victoria menjelaskan beberapa alasannya:
1. Anak-anak Gampang Mendapatkan yang Mereka MauKita tentu sering mendengar kata-kata ini meluncur dari mulut mungil anak-anak. "Aku Lapar!" "Aku Haus!", "Aku bosan!", "Aku ingin menggunakan ponselku!"
Biasanya saat anak-anak berteriak seperti itu, orang dewasa cenderung segera memenuhi permintaannya. Kalau orang tua selalu menyediakan apa yang anak inginkan, menurut Victoria, anak-anak jadi kurang siap menghadapi stres meski itu ringan. Nah, akhirnya hal ini menjadi hambatan besar untuk kesuksesan anak-anak.
"Orang tua berniat membuat anak bahagia. Sayangnya, orang tua membuat mereka bahagia saat ini tetapi sengsara dalam jangka panjang," ujar Victoria.
Karena itu Victoria menyarankan untuk menunda memberikan semua hal yang anak inginkan. Cara itu bisa menjadi salah satu faktor kunci kesuksesan di masa depan.
"Ketidakmampuan untuk menunda kepuasan sering terlihat di ruang kelas, mal, restoran, dan toko mainan saat anak itu mendengar kata 'tidak'. Karena orang tua telah mengajari otak anak mereka untuk segera mendapatkan apa yang diinginkannya," lanjutnya.
2. Interaksi Sosial TerbatasKesibukan orang tua membuat anak diberi gadget agar mereka tidak mengganggu. Padahal, anak-anak seharusnya bermain di luar, di lingkungan alam dan mempraktikkan keterampilan sosial mereka.
"Sayangnya, teknologi menggantikan waktu outdoor. Teknologi juga membuat orang tua kurang berinteraksi secara sosial dengan anak mereka. Tentunya, anak-anak akan tertinggal," papar Victoria.
Kata Victoria, gadget akhirnya mengambil alih fungsi pengasuh anak tapi tidak dilengkapi kemampuan yang bisa membantu anak-anak mengembangkan keterampilan sosialnya, Bun. Padahal, kebanyakan orang sukses memiliki keterampilan sosial yang bagus.
"Otak itu seperti otot yang bisa dilatih kembali. Jika ingin anak dapat bersepeda, orang tua harus mengajari keterampilan bersepeda. Jika ingin anak dapat menunggu, maka perlu mengajarkan kesabaran pada anak. Jika ingin anak dapat bersosialisasi, maka perlu mengajarinya keterampilan sosial. Hal yang sama berlaku untuk semua keterampilan lainnya. Tidak ada perbedaan," ucap dia.
3. Berada dalam 'Dunia Buatan' yang MenyenangkanOrang tua seakan menciptakan dunia buatan yang menyenangkan untuk anak-anaknya. "Saat suasana menjadi tenang, orang tua berlari untuk menghibur mereka. Karena jika tidak, maka orang tua merasa tidak mengasuh anak. Anak dan orang tua hidup di dua dunia yang terpisah. Mereka memiliki dunia 'menyenangkan' dan orang tua memiliki dunia 'kerja" jelas Victoria.
Anak-anak tidak diminta membantu di dapur, menyuci atau merapikan mainannya. Padahal, itu adalah pekerjaan dasar yang melatih otak bekerja dan berfungsi di bawah kebosanan, sama dengan otot yang diperlukan untuk belajar di sekolah.
"Ketika mereka datang ke sekolah dan sudah waktunya untuk menulis tangan, jawaban mereka adalah 'Saya tidak bisa. Itu terlalu sulit. Terlalu membosankan'. Mengapa? Karena otot yang bisa diterapkan tidak dilatih," papar Victoria.
4. Diasuh dan Dimanjakan TeknologiMenurut Victoria, teknologi dewasa ini sudah seperti layanan pengasuhan anak gratis. Anak yang tadinya rewel jadi anteng gara-gara
gadget."Kadang-kadang orang tua suka kasih gadget ke anak biar si anak diam dan untuk nenangin mereka padahal itu hanya bersifat sementara dan dampaknya sendiri bisa jangka panjang," ujar psikolog anak dan keluarga, Amanda Margia Wiranata.
Nyatanya, itu nggak 'gratis' sama sekali, Bun. Kita hanya menunggu bayarannya. Sayangnya, bayarannya bukan uang melainkan sistem saraf anak-anak, perhatian mereka, dan kemampuan anak-anak menunda kesenangan.
"Dibandingkan dengan realitas virtual, kehidupan sehari-hari terlihat membosankan," jelasnya.
Victoria mencontohkan ketika anak-anak di kelas mereka hanya terpapar suara manusia dan stimulasi visual, ini berbeda banget dengan yang ada di layar gadget. Ya, layar gadget menyajikan grafis dan efek khusus.
Setelah berjam-jam melihat realitas virtual, lanjut Victoria, anak akan kesulitan memproses informasi di ruang kelas karena otak mereka mulai terbiasa dengan tingkat stimulasi tinggi yang disediakan oleh game di video.
"Ketidakmampuan untuk memproses tingkat stimulasi yang lebih rendah membuat anak-anak rentan dengan tantangan akademis. Teknologi juga memutus hubungan secara emosional dari anak-anak dan keluarga," ujarnya.
Sebenarnya, ketersediaan emosional orang tua itu menjadi nutrisi utama untuk otak anak, Bun. Sayangnya, orang tua secara bertahap merampas gizi otak anak-anak.
 Foto: Thinkstock |
5. Anak Atur DuniaVictoria sering banget mendengar orang tua mengatakan, "Anak saya nggak suka sayur", "Dia nggak suka tidur lebih cepat", "Dia nggak mau berpakaian sendiri", "Dia malas makan sendiri".
"Sejak kapan anak-anak mendikte bagaimana menjadi orang tua mereka?" tanyanya.
Katanya, kalau orang tua menyerahkan semuanya ke anak-anak, maka anak hanya mau makan makanankesukaan mereka sajaatau sibuk dengan gadget mereka. Ya, mungkin mereka hanya akan selalu makan keripik kentang, sementara makanan utama yang penuh gizi sama sekali nggak disentuh. Kalau anak dibiarkan memegang kendali tanpa batasan, maka anak akan bebas tidur larut dan bangun siang, sesuai kehendak mereka.
"Tanpa nutrisi yang tepat dan tidur malam yang nyenyak, anak-anak datang ke sekolah dengan mudah marah, cemas, dan lengah," kata Victoria.
Kalau anak terbiasa mengatur tanpa batasan, mereka jadi belajar bisa melakukan apapun yang mereka inginkan. Sebaliknya mereka tidak melakukan apa yang tidak mereka inginkan. Mereka nggak punya konsep bahwa ada sesuatu yang 'perlu dilakukan'.
Untuk membantu anakmencapai sasaran dalam hidup, orang tua harus mendorong apa yang perlu dilakukan anak. Tapi orang tua juga perlu memberi pengertian bahwa mungkin hidup tidak selalu seperti yang diinginkan. Teorinya, jika seorang anak ingin menjadi siswa berprestasi secara akademis, ia perlu belajar dengan giat. Jika dia ingin menjadi pemain sepakbola yang sukses, dia perlu berlatih setiap hari. Namun kadang nggak semua hal berjalan mulus. Kadang ada hal yang mengecewakan meskipun kita sudah berusaha keras. Kenapa? Karena kita cuma bisa berusaha dan tidak bisa mengatur dunia.
"Anak-anak tahu betul apa yang mereka inginkan, tetapi mereka kadangsangat sulit melakukan apa yang diperlukan untuk mencapai tujuan itu. Ini membuat tujuan tidak dapat dicapai dan anak-anak jadi kecewa," tutur Victoria.
(nwy)