Jakarta -
Orang tua mana yang tak bangga kalau anak sukses melakukan sesuatu? Termasuk saat si kecil sukses belajar puasa apalagi sampai sehari penuh, pasti Ayah dan Bunda bangga banget kan? Atau, ketika anak bisa puasa sebulan penuh.
Dalam situasi seperti ini, umumnya orang tua memberi
reward ke anak. Menanggapi hal ini, psikolog anak dan remaja dari RaQQi Human Development and Learning Centre, Ratih Zulhaqqi, mengatakan bahwa
reward atau hadiah boleh saja diberikan. Sebab, dalam pembentukan perilaku kita perlu mengapresiasi pencapaian mereka.
"Tapi, enggak disarankan memberi
reward dalam bentuk uang, itu
the last choice, kalau udah enggak ada pilihan
reward," kata Ratih ketika berbincang dengan
HaiBunda.
Kenapa tak disarankan memberi hadiah anak atas pencapaiannya berupa uang? Menurut Ratih, orang tua enggak boleh membentuk pola pikir
anak bahwa puasa menghasilkan uang. Justru, kita mesti tanamkan ke anak bahwa puasa adalah kewajiban yang memang harus dilakukan.
"Saat dia melakukan kewajiban, kita mau beri apresiasi ya enggak apa-apa. Tapi memang untuk pembentukan perilaku, ibaratnya kita kasih bahan bakarlah supaya anak ini terus semangat, salah satunya
reward itu," tambah ibu dua anak ini.
Ilustrasi memberikan hadiah untuk anak. (Foto: shutterstock) |
Kata Ratih,
reward bisa berupa tindakan kita pada anak kok. Misalnya memberi si kecil pelukan, ucapan yang sifatnya positif, serta barang yang dia butuhkan. Ingat, Bunda, beri si kecil barang yang dibutuhkan ya, bukan diinginkan.
"Menurut saya, ketika orang tua memberi apa yang diinginkan anak dibanding yang dibutuhkan, itu hanya karena orang tua enggak paham dengan apa yang dibutuhkan anak, enggak mau berpikir lebih sulit," ucap Ratih.
Bila Bunda dan Ayah ingin men-sounding soal
reward puasa ke anak, enggak masalah. Misalnya dengan mengatakan, 'Kalau Kakak puasanya
full sebulan, nanti ada hadiah dari Ayah sama Bunda'.
"Memberi info sebelumnya enggak apa-apa. Yang penting jangan dikasih
reward-nya di awal. Menang banyak dong anaknya. Itu namanya iming-iming, enggak bisa jadi bahan bakar," ujar psikolog yang juga berpraktik di Klinik Kancil Duren Tiga ini.
[Gambas:Video 20detik]
(rdn/som)