Jakarta -
Belajar seharusnya menjadi kegiatan yang menyenangkan bukan membuat anak tertekan. Itu lah yang menjadi perhatian Ketua Lembaga Perlindungan Anak Indonesia (LPAI) Seto Mulyadi, atau yang akrab disapa Kak Seto. Psikolog anak itu menyarankan agar Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Nadiem Makarim memperhatikan kebutuhan dan karakteristik anak dalam penggodokan kurikulum pendidikan yang baru.
Kak Seto bilang seharusnya kurikulum untuk anak, bukan anak untuk kurikulum.
Selama semua itu muaranya ke anak, demi kepentingan terbaik anak dan pemenuhan hak belajar anak. Jadi semua anak senang belajar, Bunda.
Kak Seto mengacu pada lingkungan belajar di sekolah formal yang belum mendorong keinginan belajar anak. Yang ia lihat, sekolah formal kebanyakan justru membuat anak tertekan dan menjadikan mereka enggan belajar.
Menurutnya setiap anak pasti punya karakter dan kebutuhan yang berbeda. Jadi kurikulum pendidikan yang diterapkan harusnya disesuaikan dengan kebutuhan masing-masing anak.
Konsep sekolah formal, non-formal, dan informal yang dimaksud Kak Seto itu sesuai dengan Undang-undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional.
Berdasarkan pengalaman, Kak Seto bilang sekolah non-formal yang ia kelola justru menghasilkan lebih banyak lulusan yang unggul. Di sekolah non-formalnya ia menerapkan waktu belajar hanya tiga hari dalam seminggu, selama tiga jam setiap harinya.
"Lulusannya (dari sekolah non-formal) untuk sisi akademik banyak yang diterima di kedokteran, ada di lima PTN. Ada yang diterima di UI, UGM, UNHAS, ITB sampai IPB. Untuk non akademik ada yang jadi sutradara, chef, artis," kata Kak Seto.
"Mereka bisa jadi dirinya masing-masing, (akhirnya bisa) sukses. Karena sekolah mengasyikan, menyenangkan, tidak stres," ujarnya dilansir
CNNIndonesia.com.
Kak Seto lalu juga membandingkan penerapan kurikulum ini dengan kondisi di sekolah formal lain. Baru-baru ini, ia berkunjung ke Mapolres Metro Jakarta Utara untuk menengok tiga orang yang menjadi tersangka karena tawuran berujung maut di Jalan Sunter Kangkungan, Tanjung Priok.
Ilustrasi anak sekolah dan orang tua/ Foto: iStock |
"Kemarin di Jakarta Utara ada anak-anak tawuran. Katanya sambil bermain gembira, tapi ada bacok-bacokan. Kenapa begini? Karena anak stres di sekolahnya. Kurikulum terlalu padat, PR bertumpuk," kata Kak Seto.
Ia melanjutkan, jalur pendidikan itu ada tiga dan semuanya diakui pemerintah. Anak yang cocok sekolah formal jangan dipaksa home school (non-formal atau informal). Namun, anak yang tidak cocok sekolah formal sering dipaksa sekolah formal. Kak Seto menganggap emaksaan ini yang membuat anak jadi tidak merdeka.
Selain soal perubahan kurikulum, Kak Seto juga menekankan bahwa pelatihan terhadap guru sebagai pengajar juga amat penting. Guru-guru harus dibimbing agar bisa mengajar dengan cara-cara yang kreatif dan memahami betul materi pelajaran. Ya, supaya anak semangat belajar dan tak merasa tertekan dengan pelajaran, Bunda.
Nah, bagaimana dengan sekolah formal di negara lain? Kita mengambil contoh dari Finlandia yang disebut-sebut memiliki sistem pendidikan terbaik di dunia. Murid-murid Finlandia menghabiskan sedikit waktu di sekolah dibandingkan dengan negara-negara OECD (Organisation for Economic Cooperation and Development) lainnya.
Pada 2014, anak-anak SD di Finlandia menghabiskan rata-rata 632 jam selama setahun. Mereka menghabiskan 187 hari bersekolah dalam setahun dan 5 hari sekolah dalam seminggu.
Sementara itu di Korea Selatan, untuk anak usia SD menghabiskan rata-rata 648 jam di sekolah selama setahun. Anak SD di Korea Selatan memiliki 190 hari sekolah selama setahun dan 5 hari sekolah dalam seminggu.
Lalu di Jepang, anak SD menghabiskan rata-rata 762 jam. Mereka menghabiskan 200 hari sekolah dalam setahun dan 5 hari sekolah dalam seminggu.
Kemudian, di Amerika Serikat cukup banyak yakni 967 jam selama setahun. Dari segi jam memang banyak, namun mereka hanya bersekolah selama 180 hari dalam setahun dan 5 hari dalam seminggu. Demikian dikutip dari
Education at a Glance 2014: OECD Indicators.
Simak juga video tentang gadget yang sebaiknya tidak digunakan sebagai media belajar:
(aci/som)