Terpopuler
Aktifkan notifikasi untuk dapat info terkini, Bun!
Bunda dapat menonaktifkan kapanpun melalui pengaturan browser.
Nanti saja
Aktifkan

parenting

Wacana Sekolah Dikenakan PPN, Ini Tanggapan Federasi Serikat Guru Indonesia

Tim HaiBunda   |   HaiBunda

Minggu, 13 Jun 2021 14:51 WIB

Elementary schoolgirl enters the school cafeteria. She pauses while looking for a friend.
ilustrasi sekolah/ Foto: iStock

Pemerintah dalam hal ini Kementerian Keuangan memiliki wacana memungut pajak pertambahan nilai (PPN) pada jasa pendidikan. Hal ini tertuang dalam draf Rancangan Undang-Undang Revisi UU No 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan, Bunda.

Dalam draf, rencana pemungutan PPN dalam jasa pendidikan tertuang dalam Pasal 4A. Pasal tersebut menghapus jasa pendidikan sebagai jasa yang tidak dikenai PPN.

Bunda mungkin bertanya-tanya dan heran mengapa ada wacana seperti itu? Untuk mengulas hal ini, HaiBunda bertanya langsung dengan Sekjen Federasi Serikat Guru Indonesia (FSGI) Heru Purnomo.

Heru mengatakan, berdasarkan UU No.6 Tahun 1983, jasa pendidikan itu bebas dari Pajak Pertambahan Nilai (PPN). Jasa pendidikan yang bebas dari PPN tersebut di antaranya PAUD, SD, SMP, SMA, SMK, Perguruan Tinggi, termasuk juga Pendidikan Luar Sekolah (PLS).

Menurutnya, mengenai jasa pendidikan yang bebas, setelah dipelajari jauh oleh pemerintah ternyata ini tidak menimbulkan keadilan untuk saat ini, filosofis yang mendasarinya. Sementara, pemerintah di dalam melihat ketidakadilan ini akhirnya jasa apa saja yang akan dikenakan, Bunda.

"Tapi, sebelum ke arah sana, kelihatannya, mengenai UU No.6 tadi. Kelihatannya nanti sudah tidak sejalan dengan UU Cipta Kerja. Nyambung dengan sana, UU Cipta Kerja yang bulan Oktober/November lalu menjadi pembicaraan hangat itu kan di antaranya membicarakan tentang pasal 65 paragraf ke-12 dimulai dari ayat 1," kata Heru kepada HaiBunda lewat sambungan telepon, Sabtu (12/6/2021).

Lebih lanjut, Heru mengatakan pasal Ciptaker tentang pendidikan itu bahwa pelaksanaan perizinan pada sektor pendidikan dapat dilakukan melalui perizinan berusaha. Sebagaimana dimaksud dalam pasal itu.

Jadi artinya pasal 65 di situ, pemerintah mengakomodasi keinginan masyarakat yang ingin mendirikan sekolah seperti sekolah yang selama ini tidak mampu difasilitasi oleh negara, Bunda.

"Maksudnya begini, masyarakat-masyarakat kalangan ekonomi mampu, mempunyai tuntutan kepada pemerintah sekolahnya kok sarananya seperti itu. 'Perbaiki dong sekolahnya agar menjadi lebih baik,'" ucapnya.

"'Kalau bisa sarananya yang update dengan teknologi digital pada saat ini agar anak-anak itu di dalam belajar itu cepat sekali penyesuaian dengan kemajuan teknologi.' Itu kata orang-orang yang punya uang."

Sementara itu, antara keinginan masyarakat dengan ekonomi cukup itu belum bisa 'bertemu' dan sesuai dengan anggaran negara. Untuk itu, lewat UU Cipta Kerja, pemerintah memberikan jalan bagi mereka yang ingin sekolah dengan fasilitas yang menunjang.

Baca kelanjutannya di halaman berikut.


WACANA SOAL SEKOLAH DIKENAKAN PPN? TERNYATA INI DASARNYA

empty classroom view

Foto: iStock

Heru Purnomo mengatakan ada sejumlah masyarakat dengan ekonomi cukup yang ingin anaknya menempuh pendidikan di sekolah dengan fasilitas terbaik.

"Tetapi kata negara bilang begini, ini perumpamaan, analoginya, 'Kami tidak punya biaya sebanyak itu untuk membiayai, tapi kami bisa memenuhi kebutuhan dasar akan pendidikan yang dilaksanakan negara, karena ini kewajiban negara,'" tutur Heru.

"Nah, kalau seandainya sekelompok masyarakat, berikanlah anak-anak yang mampu secara ekonomi itu dengan kualitas yang tinggi. Akhirnya pemerintah dengan UU Cipta Kerja itu memberikan jalan keluar."

UU Cipta Kerja memberi jalan keluar kepada masyarakat yang melakukan tuntutan agar fasilitas pendidikan jauh lebih baik melalui pasal 65, paragraf 12, ayat 1, Bunda. Bahwa perizinan usaha di sektor pendidikan dapat dilakukan melalui perizinan berusaha.

"Kalau ada perizinan berusaha, di situ tentu saja kan akan kena pajak. Karena mereka merasa sebagai sekolah yang mampu memfasilitasi pendidikan baik," ucap pria yang juga menjabat sebagai Kepala Sekolah SMPN 52 Jakarta ini.

Heru menilai sekolah dengan perizinan berusaha itu orientasinya adalah mencari keuntungan, profit making. Jadi menurut Heru, saldo mereka bukan nol, tapi kelebihan saldo. Sekolah dengan perizinan berusaha itu 'mengeksploitasi' di bidang pendidikan dengan berbiaya.

"Itu alur mengapa sekolah dikenakan PPN," ujarnya.

Lantas bagaimana dengan sekolah yang disubsidi pemerintah? Baca kelanjutannya di halaman berikut.

NASIB SEKOLAH DISUBSIDI PEMERINTAH, BAKAL KENA PPN JUGA?

Elementary schoolgirl enters the school cafeteria. She pauses while looking for a friend.

Foto: iStock

Heru Purnomo mengatakan bahwa sekolah yang selama ini difasilitasi oleh negara adalah subsidi atau nirlaba. Jadi sekolah yang disubsidi atau nirlaba, dibiayai negara, dari PAUD, SD, SMP, SMA, SM, perguruan tinggi sampai PLS tidak dikenakan PPN.

"Tentunya sekolah-sekolah yang dibiayai oleh negara, sekolah ini nirlaba, apakah pantas, apakah layak kalau seandainya dikenakan PPN?" kata Heru.

"Enggak berani negara memberi mereka kemudian mereka untuk bayar pajak negara, artinya itu jeruk makan jeruk. Maka dari itu sekolah yang nirlaba, yang disubsidi oleh pemerintah, yang ditanggung pembiayaan oleh pemerintah, tentunya tidak dikenakan PPN."

Kalau sudah seperti itu, kata Heru, kenapa pemerintah menyampaikan ada RUU tentang PPN terhadap sekolah ini tentunya adalah upaya untuk keadilan. Jadi menurut Heru, ini orientasinya untuk keadilan, Bunda.

Maksud Heru, bahwa masyarakat yang mampu membiayai sekolahnya dengan biaya tinggi maka sudah sepantasnya dikenakan PPN.

"Jadi tidak adil jika golongan masyarakat yang tidak mampu, membiayai pendidikannya itu dikenakan PPN. Kemudian tidak adil jika orang-orang yang mempunyai kemampuan biaya pendidikan yang tinggi kemudian bebas dari PPN," kata Heru.

"Ini jadi unsurnya adalah unsur keadilan, sebenarnya dalam hal ini pemerintah adalah Kementerian Keuangan. Supaya masyarakat bisa memahami, sebenarnya ini bisa menimbulkan kekisruhan atau ingin mewujudkan keadilan?"

Kalau dilihat dari alur yang disampaikan pemerintah, dalam hal ini Kementerian Keuangan, dengan PPN tersebut tentunya tidak semua sekolah.

"Memang bunyinya 'sekolah', tapi di undang-undang mesti dicermati, betul enggak draf itu yang dilakukan pemerintah itu seperti itu filosofisnya untuk keadilan."

Meski baru wacana, Heru berpesan agar masyarakat lebih kritis dengan undang-undang yang dirancang oleh pemerintah agar tidak terjadi kesalahpahaman. "Jangan sampai setelah ini, masyarakat memahami, kemudian muncul di dalam rancangan yang disahkan dalam undang-undang ya berbeda. Ini masyarakat memang harus kritis."

Heru menekankan, yang perlu digarisbawahi adalah prinsip keadilan. Jika benar RUU ini disahkan, kata Heru, para bunda dan orang tua murid di sekolah bonafit harus bersiap-siap dan tak perlu terkejut apabila kena PPN.

"Jadi bukan mendengar, 'Wah sekolah jadi makin mahal ini, makin mencekik. Kalau sudah seperti itu ya perasaan yang luar biasa sensoriknya (mudah tersulut)," ucap Heru yang juga berpesan agar orang tua kritis dengan RUU dari pemerintah.


(aci/som)
Loading...

TOPIK TERKAIT

HIGHLIGHT

Temukan lebih banyak tentang
Fase Bunda