PARENTING
Belajar dari Kasus Penculikan Bilqis, Ini Cara Ajarkan Anak Melindungi Diri Menurut Psikolog
Nadhifa Fitrina | HaiBunda
Sabtu, 15 Nov 2025 12:10 WIBKasus penculikan anak kembali menjadi perhatian publik setelah peristiwa yang menimpa seorang anak bernama Bilqis di Makassar, Sulawesi Selatan. Kejadian ini tentu membuat banyak orang tua merasa waswas.
Bilqis yang sempat dibawa kabur oleh pelaku akhirnya ditemukan di Sukoharjo. Menilik dari detikcom, saat ini, ia sedang menjalani proses trauma healing untuk membantu pemulihan kondisi psikologisnya, Bunda.
Melihat kasus seperti ini, wajar saja jika orang tua merasa khawatir. Situasi tersebut jadi pengingat kalau ternyata anak-anak perlu dibekali kemampuan untuk melindungi dirinya.
Bicara soal melindungi diri, Psikolog Pendidikan di St. Ursula Jakarta, Madeline Jessica, M.Psi., Psikolog, menjelaskan pentingnya pendampingan orang tua dalam mengajarkan keamanan diri pada anak.
Meski hingga kini kasus penculikan anak masih terus terjadi, setidaknya sebagai orang tua, Bunda mulai bisa mengenalkan cara-cara yang bisa membantu anak untuk melindungi dirinya.
Cara ajarkan anak melindungi diri menurut psikolog
Tak semua anak tahu, Bunda, bagaimana cara melindungi dirinya ketika sedang menghadapi situasi yang membuat mereka tidak nyaman. Di sinilah peran Bunda penting untuk membantu anak memahami cara melindungi diri dengan tepat.
1. Ajarkan skrip keselamatan yang mudah diingat oleh anak
Bunda bisa mulai dengan mengenalkan skrip keselamatan yang mudah diingat anak. Skrip ini nantinya yang membantu mereka tahu apa yang harus dilakukan ketika sedang merasa tidak aman.
"Karena anak mengingat dengan aturan singkat dan tindakan yang dapat dihafal. Skrip memberi struktur sehingga anak tidak bingung saat panik," kata psikolog Madeline.
Selain itu, Madeline juga menyarankan Bunda untuk mencontohkan skrip seperti, stop (berhenti), get away (menjauh atau lari ke area aman), shout (teriak, misalnya "Tolong! Ini bukan Ayah/Bunda saya!"), dan tell (lapor ke orang dewasa yang dipercaya atau polisi). Dengan begitu, anak akan tahu tindakan apa yang perlu dilakukan saat tengah menghadapi bahaya, Bunda.
"Latihan lebih sering untuk mengucapkan hal tersebut dan pakai permainan agar anak mudah menghafal," tuturnya.
2. Ajarkan konsep "tubuhku milikku"
Selanjutnya, Bunda bisa mengenalkan konsep "tubuhku milikku" sejak anak masih kecil. Dengan cara ini, anak akan lebih mudah memahami mana yang boleh disentuh dan mana yang tidak.
Menurut psikolog Madeline lewat teori perkembangan moral dan otonomi (self-agency) bahwa anak yang memahami batasan tubuhnya cenderung lebih berani menolak sentuhan yang membuatnya merasa tidak nyaman, Bunda.
"Edukasi tentang consent/otonomi mengurangi risiko dan meningkatkan kemungkinan pengungkapan bila terjadi hal buruk," katanya.
Lebih lanjut, Bunda dapat menjelaskan kepada anak kalau tubuh mereka itu tidak boleh disentuh, diajak pergi, atau dipaksa melakukan sesuatu tanpa adanya izin.
"Anak perlu memahami bahwa tubuhnya adalah miliknya sendiri dan tidak boleh disentuh atau diajak pergi tanpa izin," ujar Madeline.
Lantas, bagaimana cara Bunda mengucapkan kalimatnya kepada Si Kecil? Dalam hal ini, Bunda bisa menggunakan kalimat yang ringan supaya anak mudah memahaminya.
"Gunakan bahasa sederhana seperti, 'kalau ada yang menyentuh kamu dan kamu tidak nyaman, bilang tidak dan cari Ayah atau Bunda'. Ajak anak mempraktikkan cara mengatakan "tidak" dengan tegas namun sopan," jelasnya.
3. Berikan edukasi tentang risiko digital pada anak
Di era yang serba online ini, Bunda perlu lho mengajarkan anak tentang bahaya di dunia digital. Banyak pelaku yang kini memulai aksinya lewat internet, sehingga Si Kecil perlu tahu apa saja yang sebaiknya harus dihindari.
"Banyak kasus penculikan bermula dari informasi di media sosial. Orang tua perlu membatasi unggahan yang menampilkan lokasi dan rutinitas anak," tutur Madeline.
"Riset terbaru menunjukkan bahwa kurangnya kesadaran orang tua terhadap risiko online meningkatkan peluang eksploitasi, karena banyak pendekatan penculikan kini dimulai lewat ruang digital sehingga anak perlu keterampilan mengenali ancaman online (catfishing, pesan yang mencurigakan) dan aturan bertemu orang dari internet," tambahnya.
Berkaitan dengan hal ini, Bunda bisa memberi tahu Si Kecil kalau tidak semua orang di internet itu baik. Jelaskan pada mereka bahwa ada orang yang berpura-pura ramah untuk mendekati anak.
Tak hanya itu saja, Bunda juga bisa memberi aturan saat mereka mulai memakai gadget. Misalnya saja tidak boleh memberikan alamat, nomor telepon, atau foto tanpa izin.
"Ajarkan anak tidak bertemu orang baru dari internet tanpa izin orang tua, tidak memberi alamat/nomor, dan segera tunjukkan pesan mencurigakan kepada orang tua. Atur pengawasan dan aturan penggunaan gadget sesuai usia," katanya.
4. Ajarkan konsep "orang dewasa aman"
Dengan mengajarkan Si Kecil untuk mengenali siapa saja orang dewasa yang aman sangat membantu mereka saat menghadapi situasi yang berisiko, Bunda. Nantinya, anak jadi tahu kepada siapa ia bisa meminta pertolongan.
"Lingkungan terdekat (keluarga, sekolah, komunitas) membentuk risiko dan proteksi. Anak perlu tahu siapa yang boleh menolong (misalnya guru, petugas keamanan, tetangga yang dikenal)," ucap Madeline.
Bunda bisa mulai dengan menyebut beberapa orang yang aman di sekitar rumah atau sekolah. Jelaskan bahwa merekalah orang dewasa yang bisa dipercaya ketika anak sedang membutuhkan bantuan.
"Tetapkan kode keluarga untuk penjemputan, kenalkan anak dengan beberapa "trusted helpers" di lingkungan (satpam, guru)," jelasnya.
Itulah penjelasan mengenai cara mengajarkan anak melindungi diri menurut psikolog. Bunda sudah terapkan pada Si Kecil?
Bagi Bunda yang mau sharing soal parenting dan bisa dapat banyak giveaway, yuk join komunitas HaiBunda Squad. Daftar klik di SINI. Gratis!
(ndf/ndf)