Jakarta -
Dalam hati berjanji nggak akan
memukul pantat anak ketika mereka bertingkah. Tapi ketika emosi nggak kekontrol bukan nggak mungkin diri ini lepas kendali dan 'plak'! Sebuah pukulan mendarat di pantat si kecil. Setelah itu, hanya penyesalan yang bunda rasakan.
Ya, ini dialami bunda dua anak, sebut aja namanya Tina. Di keluarga besar Tina, memukul pantat memang jadi sesuatu yang lumrah untuk menghukum anak-anak. Tapi saat putra pertama Tina lahir, dia berjanji nggak akan melakukan itu. Hingga saat si kecil berumur 3 tahun dan dia lagi bertingkah, Tina pun memukul pantatnya. Kala itu, kata Tina, si anak memandang bundanya.
"Saya jelas melihat tatapan marah, sedih, sekaligus memberontak di mata anak saya. Setelah itu, saya diam dan semuanya berjalan seperti biasa. Hingga suatu hari, putra saya
memukul pantat adiknya yang kebetulan sedang bertingkah," kata Tina.
Melihat apa yang dilakukan si jagoan cilik, Tina lantas marah dan bilang kalau di keluarganya nggak ada yang namanya memukul pantat. Tapi tahu apa jawaban putra Tina, Bun?
"Tapi Bunda waktu itu memukul pantat aku," ujarnya. Seketika, Tina merasa terhenyak, Bun. Dia diam dan saat itulah dia menyesal sudah mengingkari janjinya. Di sore harinya, saat sang suami pulang, Tina membicarakan hal ini dari hati ke hati. Setelah beberapa lama, mereka sepakat kalau di keluarga kecilnya nggak boleh ada lagi yang namanya memukul pantat sebagai bentuk hukuman.
Tina pun ke kamar sang anak. Dibelainya rambut keriting si kecil yang sudah terlelap. "Persis saat saya menggendongnya ketika bayi dan mengucapkan janji saya padanya. Saya katakan pada dia kalau saya nggak akan lagi memukul pantatnya dan itulah janji saya sebagai seorang bunda untuknya," ujar Tina.
Masing-masing keluarga memang punya cara sendiri untuk mendisiplinkan anaknya. Tapi, kalau ngomongin soal memukul pantat anak sebagai cara mendisiplinkan mereka, ini sejatinya nggak direkomendasikan, Bun. Studi yang diterbitkan di jurnal El Sevier menganalisis efek jangka panjang terhadap kesehatan dari kekerasan fisik dan emosional terhadap 8.000 orang umur 19-97 tahun. Data ini dipakai untuk menganalisis efek 'Adverse Childhood Experiences' atau ACE.
Saat melihat datanya, ternyata peneliti menemukan memukul pantat yang nggak termasuk dalam ACE juga punya dampak buruk seperti kekerasan yang dialami anak. Di studi ini, responden ditanya selama 18 tahun pertama kehidupannya pernah dipukul pantatnya atau nggak. Kalau mereka nggak pernah mengalami atau hanya maksimal dua kali dipukul pantatnya dalam setahun, itu masuk dalam kategori nggak pernah.
Sedangkan, kalau mereka dipukul pantatnya lebih dari dua kali setahun, masuk kategori mengalaminya. Nah, anak yang sering dipukul pantatnya punya risiko lebih besar mengalami masalah kesehatan mental seperti depresi yang berujung pada keinginan bunuh diri, jadi peminum berat, dan memakai obat-obatan terlarang.
"Memukul pantat nggak cuma bisa jadi bentuk pelecehan seksual tapi juga kekerasan pada anak, Bun. Maka dari itu, bagi orang tua ditekankan banget untuk nggak lagi
memukul pantat anak sebagai bentuk hukuman saat mereka melakukan kesalahan," kata peneliti dalam laporannya dikutip dari Men's Health.
(rdn)