Jakarta -
Kapan datangnya maut tak ada yang tahu. Setelah mendengar berita kerusuhan di Mako Brimob dengan adanya korban, saya berpikir kalau korban dalam peristiwa itu punya
anak, hiks pastinya si kecil sedih ya tahu ayahnya meninggal dalam kejadian itu.
Tapi namanya kenyataan kan nggak bisa terus-terusan disembunyikan ya, Bun. Jadilah saya berpikir gimana ya cara ngasih tahu ke anak kalau ayahnya jadi korban dalam sebuah peristiwa kayak gitu? Soal ini, psikolog anak dari Tiga Generasi Anastasia Satriyo yang akrab disapa Anas bilang anak perlu tahu berita meninggalnya orang tuanya. Namun kalau kondisi si ayah atau ibu masih berdarah-darah misalnya, jangan diajak melihat, Bun.
"Tapi kalau jenazah sudah dibersihkan, dikafani atau dimasukkan ke peti anak boleh diajak lihat sambil dijelaskan. Jelasin dengan sederhana misalnya kan tanda kita hidup itu kalau masih bernapas. Ada udara yang masuk ke paru-paru. Kita bisa coba praktikkan dengan nutup hidung beberapa detik dan nggak bisa napas," kata Anas waktu ngobrol sama HaiBunda.
Lalu bisa kita jelaskan ke anak bahwa ayah atau kerabat yang meninggal sudah tidak bernapas lagi dan jiwanya sudah tidak di dalam badan sehingga badannya kita kubur atau bakar, menurut kepercayaan masing-masing. Lalu, yang bersangkutan memang secara fisik mereka sudah tidak bersama kita lagi tapi kita bisa tetap mendoakan.
Terus, perlu nggak sih kita jelaskan ke
anak penyebab sebenarnya ayahnya meninggal? Anas bilang jelasinnya seperlunya aja, Bun. Makanya emosi kita perlu udah lebih tenang dan stabil juga. Misalkan kita jelaskan bahwa ayahnya meninggal saat bertugas.
"Cuma kan orang dewasa di sekitar anak suka nggak aware ya. Kadang hal-hal detail misal lehernya ayah diapain gitu. Nah guideline-nya itu lebih ke ceritakan yang nggak harmful ke anak. Soalnya bayangin jadi anak kecil yang tahu bapaknya meninggal lehernya dilukai orang lain misalnya malah bikin rasa marah dan dendam," tutur Anas.
Nah, nanti kalau anak udah lebih dewasa bisa pelan-pesan diceritakan yang sebenernya. Dengan kata lain menceritakan kondisi tragis juga perlu bijak dan sebisa mungkin didampingi ahli. Soalnya, kalau terkait anak kita juga harus ngukur kemampuan pemahaman anak secara kognitif dan kematangan emosinya.
"Penjelasan kayak gitu sudah bisa dikasih ke anak dari umur 2-3 tahun. Terus bikin suasana ngobrol dua arah. Nanti kan anak yang udah paham biasanya nanya 'meninggalnya kenapa?', nah kita jelasin umum dulu. 'Bapak pagi menyelamatkan orang-orang yang ditahan lalu ada yang bawa senjata jadi bapak kena,'. Kalau penjelasan segini cukup, dia nggak perlu tahu lebih detail," kata Anas.
Anas menambahkan wajar banget, Bun, saat anak merasa kehilangan karena ada rutinitas yang berubah. Misal yang meninggal ini biasanya nemenin dia makan atau antar jemput sekolah, sekarang si orang itu nggak ada lagi. Ditambah ada perasaan sedih dan kehilangan dari yang dia serap dan tangkap dari orang-orang sekitarnya.
Jadi dalam menghadapi anak yang sedang berduka, Anas pesan gunakan verbalisasi emosi dalam obrolan. Misal, 'Bunda merasa sedih nenek sudah meninggal. Kamu ngerasa gimana? Sedih juga nggak?'. Dan perlu diingat orang dewasa perlu paham kalau memahami sedih dan kehilangan butuh proses bukan seperti minum air segelas langsung hilang.
"Kita aja orang dewasa untuk move on butuh waktu kan. Jadi berikan
anak kesempatan mengekspresikan perasaan atau emosi yang dirasakan lewat menggambar, main figur atau boneka tertentu. Amati juga apakah ada perubahan perilaku dan emosi anak pasca kehilangan. Ini bukan untuk dimarahin tapi untuk dimengerti," pungkas Anas.
(rdn)